7- Hamil

Kangmas Bejo nampak menghawatirkankku terlihat wajahnya begitu panik dua hari ini aku tak enak badan, terus terusan memuntahkan isi makanan.

"Apa kamu keracunan, tha. Dek?"

Aku menggeleng lemah, "gak mas, aku jaga badan kok, masa aku sakit parah, masuk angin paling."

Mas Bejo menuntunku ke papan kayu, selama ini menjadi kasur kami berdua tidur.

"Mas pijetin ya, kamu jangan nolak."

Aku menganggu saja, ma Bejo pergi ke dapur kami yang luasnya tak seberapa dia datang dengan membawa air jahe dengan piring kecil sudah di bubuhi air limau dengan minya kelapa, bisa kucium bawang merah juga ada di sana sebagai penghangat.

"Minum dulu pelan pelan, tak pijet ya." Katanya sembari setengah berdiri di belakangku, memijat pundaku terasanya nyaman luar biasa.

Ku sedikit mendongak melihat wajah lelahnya, kantung mata merajai di sana, kerutan halus di sudut mata terlihat jelas.

Kuingat usia masih menginjak 20 an, ku berpikir keras, bagaimana cara membuat kehidupan kami menjadi layak dan tentram, aku juga inggin hidup enak bersama Mas Bejo, tak tegaku melukai pria ini.

"Kamu kenapa tho, liatin aku terus. Nyapo?" guraunya mesem padaku.

Bersuara manja ku balas kembali dirinya, "kok sampean tua ya." Kelakarku hanya membuat dia geli.

"Gini gini, kamu mau tho tak nikahi."

Aku megangguk, benarjuga. Aku juga mau dinikahi dengan dirinya begitupun dia yang memilih aku dan aku sukuri.

"Mas, bentar." Kataku menahan tangannya, "kok aku tambah pusing ya? Aku makin cuapek, O." Selama merasakan sakit, belum pernah aku merasakan begini tak nyamannya dengan tubuhku, ini itu serba salah.

"Mending, kamu tidur. Aku tak kelua rumah nyari mbah Kati, kamu istrirahat dulu, ya." Nampak di ajuga panik. Melihatku sudah lemas seperti ikan di pinggir pantai.

Mbah Kati itu dukung desa kami, beliau sudah tua rentan namun ahli pengobatan tradisional. Sungguh mas Bejo sampai melopat dari dipan mencari mbah Kati ruamhnya di bawah bukit, mungkin akan memakan waktu lama.

Tubuhku hanya tergolek, melihat daun daun kelapa kering menjadi atap rumah, celah cahaya terlihat dari sana.

Sungguh ku sadari begitu menyedihkan jika rumah kami kena anggin, mas Bejo harus direpotkan lagi membuat rumah kami hampir oboh jika musim penghujan dengan angin besar melanda.

Suara mas Bejo terdengar bersama orang lain membuatku tahu jika mas Bejo berhasil membawa mbah Kati kemari.

"Ini istri saya, mbah... ." beritahu mas Bejjo sembari mengangkat diriku setngah duduk, bersandar ke bahunya.

Mbah Kati hanya menyipitkan mata keripunya memandangiku lebih dekat, nampaknya ia tahu sesuatu hingga hanya mengangguk angguk sambil memegang pergelangan tanganku, dengan suara tuanya di abicara.

"Biarkan istrimu baring, Le." Suruhnya pada suamiku, mbah Kati telaten memegang perutku

"Kamu udah bulanan?" tanyanya.

"Udah mbah," sahutku memberitahu.

"Terakhir kapan bulanannya, lancar nga?"

Aku kembali teringat, belakangan ini aku belum merasakan pendarahan secara teratur. Aku menggeleng mengiyakan.

"Belum mbah," jawabku lirih.

Suamiku makin panik, ingin sekali mulutnya menyerobot nenek ini segera bertanya, tapi aku tahu ia tengah menahannya.

"Kenapa, mbah? Apa istri saya," serobotnya kahirnya tak sabar.

Mbah Kati hanya berucap pelan, "Selamat, Le...istrimu gak sakit, tapi dia lagi hamil anak kalian." Akunya membuat kami terdiam.

Aku tak kuasa menangis, "Ma..mas, aku isi?" lirihku memeluk dirinya.

"Ini beneran kan?" ia masih tampah tak percaya. mbah Kati mengangguk.

"Aku iki wes pengalaman, kok isek kamu tayai," canda mbah Kati tertawa, nampak giginya merah kebiasaan sirih kapur


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top