10-Kecewa

Bejo berjalan luntang lantung menuju rumahnya, tubuhnya sudah remuk. Upah bayarannya pun tak ia dapat, sejauh ia melihat rumah kecilnya terlihat jelas, tapi kali ini sepi sama sekali tak ada Ningsih di beranda depan rumah menunguinya di lincak.

Sore hari dengan warna jingga bergelayutan dilanggit membuat ruamh Bejo belum di terangi lentera kian membuatnya panik.

Sepi, senyap. Itu kondisi rumahnya kini.

Ningsih ia temukan sosoknya di atas dipan kasur tengah tidur menyamping, perasaan lega pun ia rasakan .

Duduk menyamping sambil menepuk bahu sang istri.

"Sih, Ningsih... ." panggilnya halus, di tengah remang Nigsih mulai terbangung, tubuhnya terasa pegal sana sini.

'Matih, aku belum masak' ingatnya pada bahan minim tadi ia abaikan.

Samar di suasana minim pencahayaan sosok siluet suaminya menegurnya, "kecapekan ta?" tanyanya lembut.

"Mas, maaf ya. Aku belum masak," sesal Ningsih memeluk lengan suaminya takut takut.

Usapan penuh kasih ia rasakan membelai kepalanya.

"Ya wes kita makan buah ae gimana?" tawar Bejo memberi solusi.

Ningsih memang tak bisa melihat secara jelas, tapi tak tercium juga bau buah yang ia kenal dari penciumannya tengah Bejo bawa.

"Mas beli atau metik buah ta?"

"Ngak, kita kan punya pohon pisang di belakang sama pohon mangga di depan rumah, tak ambilkan buatmu." Kata Bejo memberikan pengertian.

"Kamu nyalakan aja lentera, buat rumah. Mangga sama pisang tak ambilkan buat makan kita, kayaknya udah masak, soalnya kemarin udah mas incer ada yang mateng."

Ningsih girang, "iya mas... tak nyalakan lentera buat rumah." Jawab Ningsih nurut.

Bejo masih dengan tubhnya terasa remuk ia paksa mengambil galah yang panjang, untuk manjat pohon tentu dia malas dalam kondisi menuju malam sudah harus naik pohon.

Beberapa buah mangga jatuh ketanah, dengan debuman keras.

"Wes dapet," kata Beo menaruh buah tadi di depan rumah, kini langkahnya menuju belakang rumah mengambil pisang, buah pisang tak terlalu tinggi dahanya bisa ia raih mengambil satu tandan pisang.

"Mas, mas?" Ningsih celingukan melihat pelataran depan rumahnya kosong, nampak buah mangga di taruh begitu saja, ia sudah menyapkan wadah serta pisau untuk memakan si manga tadi.

"Ini kemana orang'e?" bingung Ningsih celingukan. "apa tak makan dulu aja ya?" ujar Ningsih kelaparan.

Ia mengupas buah manga masak itu segera, menciumi aroma wanginya.

"Duarr!"

Ningsih hampir terjengkang jika tak di tahan, manga di tangannya terlempar begitu saja.

"Mas! Mbok ya jangan ngagetin." Marah Ningsih mendumel.

"Maaf, dek. Kamu makan gak ingget masmu ini," timpal Bejo

"A—Mas! Badanmu kenapa?!" Ningsih tercengang, di bawah hari kian menjadi malam, samar Ningsih bisa melihat betapa banyak uka memenuhi tubuh suaminya.

"Kamu berkelahi lagi?"

Bejo mengeleng pelan, "aku gak berkelahi dek, aku pasrah." Sahut bejo pelan.

Ningsih terisak memandangi tubuh suaminya penuh dengan memar. Ia membekap mulut nya sendiri agar tak terlalu nyaring.

"Kenapa kamu bikin ulah begini, sih. Uwis lah kerja di situ."

"Dek, jangan egois...kalau ngak mas disana, terus siapa lagi anak muda yang mau bantu mereka."

"Itu urusan mereka, kabur aja." Isak Ningsih tak terima.

Bejo teringat istrinya tengah mengandung anak pertama mereka, mungkin istrinya tengah dalam fase mudah sekali berubah pemikirannya.

"Dek,"

"Aku gak mau jadi janda muda." Sentak Ningsih kecewa pada Bejo, suaminya tetap memikir 'kan orang lain dan bertahan bekerja ditempat dimana Sapto dapat dengan mudah terus mengejek dirinya hingga sekarang.

"Mas," lirih Ningsih menatap kecewa pada Bejo.

"Sih, dengarkan aku... Sih!" seru Bejo menyusul istrinya, "aku yakin negri kita bisa merdeka tinggal tunggu kesempatan saja, cuman aku juga gak mau kalau orang disana mati terus menerus!"


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top