BAB 8

"Bagaimana ya mengatakannya, aku enggak tahu apakah persahabatan laki-laki dan perempuan bisa berjalan lancar tanpa adanya perasaan. Aku memendamnya, tapi aku tak berani mengungkapkannya padanya. Saat dia mengajak Yanti di Kota Tua, perasaanku begitu terbakar dan penuh amarah sampai akal sehatku hilang." Rani menghentikan ceritanya untuk beberapa saat sebelum melanjutkannya.

"Tapi, soal bunuh diri itu bukan soal Dimas saja. Banyak hal menimpaku hingga kini aku masih mengingatnya, termasuk orangtuaku," lanjut Rani.

Varuna terdiam sejenak saat mendengar ceritanya barusan. Ia tahu apa yang terjadi dengan masa lalunya. Mengalami perundungan ditambah hubungan dengan orangtuanya renggang. Namun, memilih diam kadang juga tak menimbulkan masalah. Lebih baik menanyakan langsung dari pada mengungkapkan segalanya.

"Apa yang terjadi?" tanya Varuna.

"Bagaimana ya mengatakannya?" Rani terdiam sejenak, seolah ia tak ingin menceritakan segalanya. Meski pada akhirnya Varuna akan tahu segalanya. Menghela napas panjang sebelum bercerita. Duduk di atas kasur sembari melingkarkan kedua tangan pada bantal. "Saat kecil aku mengalami perundungan, menjadi pintar bukan berarti malah dikagumi, justru diinjak-injak. Bahkan tugas sekolahku pernah dirobek oleh cowok-cowok itu. Lalu apa kata pihak kepala sekolah? "Mereka hanya anak-anak PR juga bisa dikerjakan lagi." Mendengar itu saja sudah membuatku muak, bahkan sekolah pun tidak bertindak apa pun. Sampai saat ini pun aku masih menyimpan dendam dengan sekolah dasar itu. Bahkan bertemu dengan teman-teman SD pun juga tidak pernah. Kebanyakan aku pasti akan menolak jika itu teman SD." Rani melingkarkan tangan semakin erat pada bantal.

"Lalu, soal ibuku yang jarang di rumah. Dia ikut terbang bersama ayahku ke luar negeri untuk menggarap pekerjaan. Dan itu terjadi saat aku SMP. Aku sakit pun mereka tidak datang, hanya melunasi biaya perawatan. Sisanya hanya aku sendiri yang mengurusi." Hening menyelimuti mereka di malam hari. Selambu kamar sedikit terbuka menampilkan langit malam tanpa bintang. "Menyebalkan sekali bukan? Walau pada akhirnya aku bisa mengatasinya, tetapi tetap jengkel. Enggak ada teman yang bercerita atau bagaimana."

"Bagaimana dengan Metha?" tanya Varuna.

"Dia lebih sering menghabiskan waktu bersama Kirana, paling baru bicara saat ada di kelas juga."

"Cobalah untuk berteman dengannya," Varuna membalas dengan perlahan, nadanya yang lembut itu nyaman didengar oleh Rani. "Tapi kali ini lebih dalam lagi, apa lagi barusan mereka mengajakmu makan siang kan?" Enggak ada salahnya berkumpul dengan mereka. Palingan juga membahas soal kekacauan."

Rani mengangkat wajah. "Kekacauan?"

"Kamu lupa ya? Aku sudah bilang kalau Kirana itu pengguna senjata suci," balas Varuna. "Tapi biarkanlah nanti dia juga bakal bilang yang sesungguhnya. Prioritas kita adalah mencegah Calon Arang untuk bertindak."

Malam itu, Rani mengganti pakaian sebelum ia benar-benar beranjak menuju tempat tidur. Entah mengapa saat ini rumah tak lagi sunyi dan lengang. Kehadiran Varuna membuat nuansa rumah menjadi tempat yang nyaman. Saat berbaring, ia memandang gelang bermotif ikan hiu itu. "Kenapa harus ikan hiu ya?" tanya Rani.

"Jawabannya sederhana, ikan hiu itu adalah wujud yang mewakili wilayah perairan termasuk dengan sungai." Varuna membalas. "Untung saja yang satunya belum muncul."

"Yang satunya? Apa maksudmu?"

"Nanti, kamu juga akan tahu."

Rani menghela napas panjang. Ia perlahan mengganti topik. "Hei Varuna, kalau Calon Arang sudah dikalahkan, apa langkah selanjutnya?"

"Entahlah, aku sendiri juga tahu. Mungkin aku akan selalu menetap di dalam tubuhmu selamanya sampai akhir hayatmu. Kamu tidak perlu khawatir, aku tidak akan mengatur kehidupanmu." Entah mengapa rasanya jawaban itu terdengar aneh bagi Rani dan sedikit menusuk. Mungkin kalau Varuna berwujud manusia, ia adalah sahabat pertama Rani seumur hidup.

Dadanya sedikit sesak, bola mata perlahan mengucurkan air mata. Sesenggukan ia bingung ingin mengatakan apa. Perlahan air mata membasahi pipi.

"Rani, kamu enggak apa-apa kan?"

"A-aku tidak apa-apa kok," balasnya mengusap air mata. "Aku hanya merasa senang saja memiliki teman. Selamat malam, Varuna." Perlahan kelopak mata menutup dengan wajah penuh senyuman termanis.

Memandang wajah Rani, membuat Varuna sedikit lega. Wujudnya dalam gelang itu masih bisa memandangnya. Namun, seketika ia teringat kembali dengan kenangan di masa lampau. Ini bukan kali pertama Varuna bersemayam di tubuh manusia. Dahulu ia pernah melakukannya, memberi harapan kepada tubuh yang disinggahinya. Apa kamu adalah reinkarnasi anak itu, Rani?

Sekali ia pernah menyelamatkan gadis yang juga berniat bunuh diri. Namun, Varuna menyelamatkannya. Apa yang menimpa gadis itu, hampir serupa dengan apa yang menimpa Rani.

Varuna memberi harapan pada tubuh gadis yang disinggahinya. Menjalani kehidupan bersama, hingga suatu ketika petaka menimpa mereka berdua. Tubuh gadis itu lunglai terjatuh tak bernyawa setelah pertempuran hebat. Dipenuhi dengan luka. Varuna tak bisa menyelamatkan nyawa gadis itu. Pada akhirnya ia melepaskan diri dan menjelma menjadi air dengan penuh penyesalan.

*

Pagi berikutnya, jalanan di kota dipadati kendaraan yang berlalu lalang. Memasuki akhir pekan pada hari sabtu. Seperti gambarannya kalau masuk waktu libur. Menghabiskan banyak waktu bersama teman, keluarga, atau sendiri. Menunggu di halte bus seorang diri, Rani tengah berdiri memainkan ponselnya. Kejadian kemarin membuatnya masuk berita. Itulah yang menyebabkan ia mengenakan topi yang sedikit diturunkan ke wajahnya.

"Kenapa sampai menyembunyikan wajah?"

"Varuna, wajahku terpampang dengan jelas di media sosial."

"Astaga, percuma mereka tidak akan mengenalimu. Bagaimana ya mengatakannya, ada kekuatan yang menutupi dirimu saat berubah. Jadi meski kamu tidak pake topeng saat menjadi mode tempur, mereka tidak akan menyadarinya.

"Begitu toh cara kerjanya?" Rani mengangguk berusaha memahami, ia pun menaikkan ujung topi. "Omong-omong kamu yakin kan kalau ada yang membahas soal Calon Arang di arsip provinsi?"

"Aku yakin, memangnya gunanya arsip untuk apa?" Varuna bertanya balik.

Rani terkekeh saat mendengar balasan dari Varuna sembari menggaruk kepala yang tak gatal itu. Setelah beberapa saat menanti, bus pun datang berhenti di tepi terminal. Pintu depan dan belakang terbuka, para penumpang sebagian turun, setelahnya baru penumpang yang telah menunggu mulai menaiki bus.

Duduk di dekat jendela menjadi tempat favorit Rani sembari melihat kendaraan berlalu lalang. Setidaknya sebagai pengganti rasa bosan yang mulai menyerang. Perjalanan memakan waktu selama 30 menit, bus menepi. Rani bersiap untuk turun. Di hadapannya telah disambut bangunan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Jawa Timur. Bangunan itu berdinding putih dengan atap berwarna merah yang bertingkat dan rapih. Namun, sebelum memasuki bangunan ia disambut dengan taman kecil. Rani melangkah di taman itu yang tanahnya dipenuhi oleh rerumputan yang subur. Beberapa pegawai menyirami tanaman di pinggir-pinggirnya. Beberapa pengunjung umum pun ada yang baru meninggalkan bangunan.

Memasuki bangunan, Rani disambut oleh pegawai pelayanan. Penjaga pelayanan pun menunjukkan arah pintu masuk menuju kearsipan. Memasuki ruang arsip, berbagai lemari besi tertata rapi membentuk gang-gang. Mencari nomor yang menyimpan arsip berupa buku mengenai Calon Arang yang sudah diperiksa melalui katalog daring. Setelah menemukannya, ia membawa ke meja terdekat.

"Baiklah apa yang bisa kita dapat di sini?" Rani sedikit antusias.

"Kadang ada penyelewengan kan?" celetuk Varuna yang membuat mood Rani turun drastis. Rani mulai membalik buku perlahan menggali informasi lebih dalam tentang Calon Arang dan kitab sihir hitam. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top