BAB 7
Anti Terrorist Esper Base
Sebuah Gedung bertingkat menjulang tinggi di dekat pantai. Gedung itu memiliki jumlah lantai yang cukup banyak, sekitar 10 lantai. Menjadi Gedung tertinggi di Surabaya untuk saat ini. Kesibukan di dalam bangunan yang diberi nama Markas Anti Terrorist Esper atau ATE, tiada henti-hentinya. Memberikan pengawasan dan keamanan bagi kekuatan supranatural.
Sebuah ruangan khusus yang bertuliskan divisi Magical Starz, menjadi satu-satunya ruangan yang dihuni oleh para remaja. Di dalamnya, terdapat lima bangku berjajar saling berhadapan. Namun, dalam ruangan itu, hanya ada Kirana seorang diri tengah mempelajari berkas terbaru yang baru saja dicetak. Kembali mempelajari fenomena supranatural yang ada di Jembatan Merah.
Satu-satunya hal yang belum ia temui sama sekali. Kejadiannya bersamaan dengan Rani yang melompat ke sana. Kirana bergumam, membolak-balikkan lembar. Bersamaan melihat hasil rekaman berupa foto dalam kertas itu. Rasanya aneh sekali. Namun, ia masih belum berani membuka dan memberitahukan Rani.
Sebuah pintu terbuka, seorang gadis dengan rambut pendek sebahu memasuki ruangan. Membawa tas di pundak menujukkan ia baru saja pulang dari sekolah. Mengenakan seragam bermotifkan pelaut dengan rok pendek, berwarna biru dan putih. Serta mengikat jaket berwarna hitam di pinggul, sembari menikmati Pocky yang baru saja dibeli olehnya. Gadis itu, Aiko Miyako. Matanya yang berwarna ungu itu terbelalak saat memandang Kirana duduk di dalam ruangan.
"Hantu!" celetuknya.
"Mana ada, bodoh!" Kirana membalas.
Aiko melangkah menuju tempat duduknya. "Tumben sekali datang kemari, enggak biasanya." Meletakkan tas di atas meja.
"Lebih tepatnya, aku masih menyelediki soal fenomena yang ada di Jembatan Merah."
"Soal sungai yang menyala di malam hari?"
Kirana mengangguk. Aiko pun menghampiri Kirana, melirik berkas cetak yang tengah dilihat oleh Kirana.
Dalam berkas itu, terdapat gambar seorang perempuan yang berdiri di tepi pagar pembatas Jembatan Merah. Gambarnya tak menunjukkan wajah gadis itu.
"Kelihatannya dia mendapatkan sesuatu."
"Aku tahu soal itu, tapi siapa dia. Kejadian ini bersamaan dengan temanku yang bernama Surani ditemukan di pinggir sungai. Ada yang mengatakan kalau Rani bunuh diri. Ada kemungkinan juga, kalau cahaya itu menyelamatkan nyawa Rani."
"Sebenarnya jawabannya sudah jelas, tapi kamu membuatnya semakin rumit," balas Aiko. "Beritahu dia dan ajak bicara dengan pelan, pasti dia akan mengerti."
"Tapi, bagaimana kalau Rani tidak mau mengaku?"
"Pastinya mau, aku baru saja mendapatkan berita, di depan sekolahmu telah terjadi kekacauan yang melibatkan supranatural." Aiko membuka ponsel menujukkan berita itu pada Kirana. Seorang gadis mengenakan kebaya biru sedang bertarung melawan penyihir. Apakah sang gadis berkebaya ini ada dipihak kita? Judul itu terpampang jelas di headline berita.
"Semua semakin jelas kan?" Aiko kembali bertanya pada Kirana.
*
Peluh membasahi dahi, napas mulai terengah-engah. Rani berusaha mengusap peluh itu. Begitu pula dengan Sang Titisan Calon Arang, merasakan hal yang serupa. Sekitar mereka kacau, berbagai mobil dalam keadaan terbalik. Bangunan-bangunan sebagian runtuh, bahkan menimpa rumah warga. Atmosfir terasa mulai berat. Rani pun melesat maju, mengangkat keris. Namun, Sang Titisan mengangkat tangan. Lingkaran sihir hitam terbentuk, melepaskan sihirnya. Sihir itu mulai menghujam Rani. Akan tetapi, ia malah membelah sihir yang menuju ke arahnya. Sihir itu terpisah dan mendarat di belakang Rani. Rani terus berlari, hingga jarak dengan Sang Titisan mulai menipis.
Jarak yang dekat itu, merupakan strategi Varuna. Pada dasarnya penyihir tak bisa bertarung dalam jarak dekat. Mengandalkan elemen yang memiliki jeda karena harus dirapalkan terlebih dahulu. Saat jarak Rani telah dekat tanpa menyisakan waktu, ia mengayunkan keris itu ke arah Sang Titisan. Namun, lingkaran sihir muncul begitu saja menangkis keris yang diayunkan itu. Dari mana lingkaran sihir ini muncul. Sang Titisan tak mengangkat tangan sama sekali.
Suara tawa melengking menggema di sekitar mereka. Rani memandang ke angkasa. Sosok makhluk yang melayang mengenakan topeng Rangda dengan lidah yang terjulur dari mulut. Rambut itu panjang lebat di sekeliling kepala. "Cukup sudah pengikutku, lawanmu bukanlah dia," ucapnya.
Atmosfir sekitar perlahan semakin berat dengan kehadiran Rangda. Ia mengangkat tangan dengan telapak tangan terbuka lebar. Lingkaran sihir yang tengah menahan pergerakan Rani memancarkan cahaya gelap, bersamaan dengan melepas sihir. Membuat Rani terpental hingga tersungkur di atas tanah.
"Astaga kuat sekali." Varuna merasakan nyeri yang begitu kuat, termasuk Rani sebagai pemilik tubuh.
"Jadi, dia Rangda?" Rani masih tak percaya.
"Benar sekali, Rangda, di balik topeng itu merupakan sosok sesungguhnya dari Calon Arang. Enggak kusangka kalau dia akan muncul juga."
Nuansa di sekitar perlahan sirna dengan cepat, keberadaan Calon Arang dan titisannya pun turut lenyap dari pandangan Rani. "Kurasa aku harus melatih tubuhmu, Rani," ucap Varuna, kini ia menyerahkan tubuh Rani pada Rani. "Pertarungan besar akan terjadi dan akan melibatkan banyak kekacauan."
"Apa kita tidak bisa memanggil Magical Starz?" tanya Rani.
"Bisa saja sebenarnya, tapi yang aku takutkan adalah pertarungan ini akan jauh lebih besar dan menyentuh ke hal-hal tak kasat mata, lebih mudahnya ini pertarungan supranatural. Meski sihir adalah bagian dari supranatural itu sendiri, tetapi para penggunanya belum pernah menyentuh pada dunia astral yang sebenarnya. Untuk berjaga-jaga aku akan melatih tubuhmu ini agar lebih fleksibel saat bertarung."
Rani menggaruk kepala, "Jujur saja aku jarang olah raga, jadinya maaf kalau kamu merasa agak berat."
Hening menyelimuti mereka beberapa saat.
"JADI KAMU MALAS OLAH RAGA?!" nada Varuna meninggi saat mengetahui fakta sesungguhnya. "Pantas saja tubuhmu terasa berat saat digerakkan, seolah kaku semua. Dasar bucin pemalas, padahal gebetanmu sendiri saja pemain basket," celetuknya dengan geram. "Omong-omong, kita harus pergi dari sini sebelum ada yang mengetahui."
"Bagaimana dengan Dimas ya? Rasanya aku ingin pulang sekarang."
"Sudah kita hilang dulu baru pikirkan itu."
*
Melihat Kasur empuk memiliki pandangan tersendiri bagi Rani. Ia melompat ketika tiba di kamar dengan posisi tengkurap, membiarkan tas ransel masih menempel di punggung. Rasanya ia malas sekali melepaskan tas itu. Tubuh Rani kembali semula, rambutnya hitam bersama warna bola mata kembali semula. Ia kini tampak seperti siswi SMA dengan seragam putih abu-abu. "Akhirnya bertemu dengan kasur," wajah Rani berbunga-bunga.
"Setidaknya dirimu yang seperti ini jauh lebih baik, tapi tetap masalah kita masih belum beres. Kita harus mencari titik kelemahan Calon Arang itu."
"Kalau tidak salah, Calon Arang itu punya anak kan?" tanya Rani.
"Benar sekali, anaknya itu bernama Dyah Ayu. Memangnya kenapa?"
Rani menggeleng, seolah menyudahi percakapan Varuna kali ini. Ini persoalan cinta kah? Boleh jadi, namun ia tak berani mengerucutkan masalah ini ke arah percintaan itu. Karena kali ini tampak begitu beda, masalah sepele itu tak bisa menjadi masalah besar, seperti cinta. Adakah perasaan Calon Arang saat ini kesepian. Itu yang masih terpikirkan dalam benak Rani.
"Bagaimana dengan Dimas?" tanya Varuna.
"Aku telah menjawab pesannya, dan memintanya lain kali saja mengajakku keluar."
"Kamu benar-benar bucin dengannya ya?" Varuna melontarkan pertanyaan. "Dan alasanmu bunuh diri karena dia juga?" Padahal Varuna mengetahui segalanya tentang Rani, namun ia memilih pura-pura tak tahu.
"Bagaimana ya mengatakannya, aku enggak tahu apakah persahabatan laki-laki dan perempuan bisa berjalan lancar tanpa adanya perasaan suka. Aku memendamnya, tapi aku tak berani mengungkapkan padanya. Saat dia mengajak Yanti ke Kota Tua, perasaanku begitu terbakar dan penuh amarah sampai akal sehatku hilang." Rani menghentikan ceritanya untuk beberapa saat sebelum melanjutkannya.
"Tapi, soal bunuh diri itu bukan soal Dimas saja. Banyak hal menimpaku hingga kini aku masih mengingatnya, termasuk orangtuaku," lanjut Rani.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top