BAB 6

Perlahan mentari mulai tumbang, langit jingga mewarnai di kala senja tiba. Lorong-lorong sekolah mulai dipenuhi oleh siswa-siswa yang hendak meninggalkan sekolah, membawa tas di pundak saling berbincang-bincang. Saat yang lain sudah meninggalkan kelas, Rani masih mendekam di kelas. Padahal buku-buku pelajaran telah dimasukkan ke dalam tas dan siap meninggalkan lokasi sekolah. Namun, entah mengapa rasanya ia malas untuk pulang. Bagaimana jika Dimas beneran menunggu di depan gerbang? Rupanya ia sedang memikirkan cara untuk pulang tanpa ketahuan.

Siasat itu pun membuat Varuna menghela napas. "Astaga kamu ini, kalau memang niatmu move on, bilang saja kalau kamu ada acara atau bagaimana gitu. Kan bisa harusnya."

"Kamu tahu sendiri kan kalau aku masih ada perasaan dengan dia."

"Iya aku memang tahu sih, tapi kalau begini terus mau sampai kapan kamu akan tetap berhenti di tempat?" Varuna bertanya. "Saat yang lain berhasil melintasi dirimu, kamu hanya terdiam dan tidak bisa mengejar mereka. Apa yang kamu dapatkan? Benar kesepian."

Rani bersandari sembari memandang langit-langit kelas dengan dua kipas menggantung di atas sana.

"Lagi pula apa susahnya sih?" tanya Varuna berusaha meyakinkan. "Pelan-pelan saja, kamu enggak harus berlari kok. Semua ada prosesnya."

Menghembuskan napas panjang, Rani mulai meraih tas yang telah terdiam di atas meja. Ia menggendong tas di pundak, meninggalkan kelas yang sunyi, menutup pintu. Menuruni tangga, melintasi beberapa siswa yang masih berkeliaran menanti ekstrakulikuler.

Setibanya di depan gerbang pintu sekolah, langkah Rani terhenti sejenak saat memandang Dimas yang menunggu sembari main ponsel. Rani meneguk air liur sebelum benar-benar menghampirinya. Ada perasaan janggal dalam dirinya, apa tidak apa-apa?

"Tentu saja enggak masalah," balas Varuna yang memang ia tahu setiap perkataan dalam hati yang dilontarkan oleh Rani.

Meyakinkan diri, Rani mulai menghampiri Dimas.

Dimas memasukkan ponsel ke dalam saku, seolah menyadari kehadiran Rani. Ia memandang Rani sembari menunjukkan air muka penuh kebahagiaan. Namun, tetap saja Rani belum boleh lengah, lengah sedikit ia akan terjebak dalam kisah cinta tanpa jawaban.

"Jadi kita mau ke mana, Ran?"

"Ke mana saja boleh, kamu yang mengajak berarti kamu juga yang tahu harus ke mana."

"Mau ke TP (Tunjungan Plaza)?" Dimas menawarkan pada Rani.

"Boleh saja sih, aku manut."

Dimas mengangguk ia berbalik.

"Menyelipkan bahasa Jawa?" Varuna melontarkan pertanyaan.

"Sudah diam saja!"

*

Mobil melaju perlahan, memenuhi jalanan di kala senja hingga menimbulkan kemacetan. Klakson kendaraan saling bersahut-sahutan tiada hentinya. Sampai, sebuah bayangan gelap perlahan menjalar bersama bayang-bayang, bersembunyi di dasar mobil. Dalam hitungan detik, seketika sebuah mobil melayang mulai memorak-porandakan sekitar. Mobil-mobil yang berseliweran itu seolah tengah di lempar oleh sang bayangan yang mendekam di bawah mobil.

Para pejalan kaki berhamburan, menghindari mobil-mobil yang di lempar ke arah mereka. Lokasi kejadian tak jauh dari lokasi sekolah Rani.

Saat Rani dan Dimas baru tiba di halte bus, sebuah mobil melayang ke halte itu. Segera Dimas menarik lengan Rani menghindari mobil yang melayang kea rah mereka.

"Apa yang terjadi?" tanya Rani.

"Aku merasakan sesuatu," Varuna membalas. "Kelihatannya penyerangan Calon Arang sudah dimulai."

Seketika terdengar orang yang membutuhkan pertolongan, Dimas segera menghampirinya. "Rani kamu tunggu di sini dulu ya," pintanya.

"Rani sekarang kesempatanmu," ucap Varuna.

Rani mengangguk paham, segera ia berlari mencari tempat yang sunyi. Ia berlari menuju ke kawasan sekolah yang sunyi. "Lalu apa?"

"Angkat tangan kirimu, ikuti kalimat yang aku ucapkan!"

Rani mengangguk. Ia mengangkat tangan.

"Samudra, panggonan saka kabeh kehidupan. Rerama tirta nganti nglawan karesian, karo ati kang kuat. Keris sakti karo kekuatan samudra biru. Ngelimpruake kwae ing jagat ini!"

Seketika gelang milik Rani memancarkan cahaya yang begitu terang. Sekujur tubuh Rani perlahan mulai berubah mengenaikan kebaya berwarna biru. Rambut dan bola mata turut berubah menjadi warna biru laut.

Mata Rani terpukau saat memandang kebaya yang dikenakannya. "Aku mengenakan kebaya?"

"Sebenarnya bukan kebaya biasa sih, ini adalah kebaya suci yang berbeda dari kebaya kebanyakan. Bisa dikatakan ada kemampuan magis yang membuatmu semakin kuat. Sang penguasa lautan memberikanmu ini untuk melindungi tanah Surabaya, dan di bagian pinggul belakangmu terdapat keris, itulah yang disebut senjata suci," papar Varuna. "Sekarang ayo kita cari sumber kekacauan ini!"

"T-tunggu, kita langsung bertarung? Tapi aku belum tahu bagaimana caranya?"

"Tenanglah, aku dapat mengendalikan tubuhmu, Rani." Varuna membalas, sekejap tubuh Rani mulai melayang ke angkasa dengan begitu cepat.

*

Sang bayangan mulai menampak diri dengan mengenakan tudung. Kuku jemarinya berwarna hitam pekat. Ia mengangkat tangan perlahan mulai mengerahkan kemampuan sihir kegelapan. Sihir itu melesat mengacaukan sekitar, membuat para pejalan kaki berhamburan menghindari sihir-sihir yang dilemparkan.

Dari langit, manusia melayang dengan kebaya berwarna biru muncul tengah memerhatikan kekacauan di bawah sana. Ada satu manusia bertudung tengah berdiri mengendalikan sihir kegelapan yang berwarna hitam pekat itu. Perlahan ia mulai menghampiri orang bertudung itu, mendarat tak jauh darinya berdiri.

Manusia bertudung itu, memandang gadis yang mengenakan kebaya biru, Surani Teratai berdiri perlahan. Ia menarik keris dari sarungnya yang diletakkan di belakang pinggul. Rani memasang muka datar memandang manusia bertudung itu. Sebenarnya Varuna yang mengendalikan tubuh Rani.

"Akhirnya kau muncul juga ya, Calon Arang." Varuna pun sedikit percaya diri menyebutkan nama lawannya.

"Sebenarnya, aku adalah titisan dari Calon Arang yang siap menghancurkan tanah Surabaya yang subur ini. Kebahagiaan dan ketentraman akan hancur bersama mereka."

"Menghancurkan tanah Surabaya saja? Yang benar saja! Kenapa tidak langsung menenggelamkan Pulau Jawa?"

"Kau banyak bicara!" Manusia bertudung yang merupakan titisan Calon Arang itu mulai mengangkat tangan, sebuah sihir hitam memelesat ke arah Rani.

Dengan tubuh Rani, Varuna pun melompat menghindari sihir itu. Ia mulai mengayunkan keris, mata bilah itu melepaskan air yang membentuk lengkungan horizontal, memelesat ke arah Sang Titisan Calon Arang. Namun, ia menahan air itu dengan sihir hitam, melemparkannya balik mengenai tubuh Rani hingga terpental mundur.

"Astaga begitu menyakitkan," merintih kesakitan. "Kelihatannya aku sudah lama enggak bertarung makanya seperti ini."

"Varuna, kalau kamu seperti ini terus, tubuhku yang akan terus menerus kena ganjarannya," keluh Rani.

"Diamlah Rani, biar aku urus saja, lagi pula kamu juga belum tahu caranya bertarung kan?" kini balik Varuna yang mulai mengeluh. Merasa performa bertarungnya menurun.

Saat berusaha untuk lari, Sang Titisan Calon Arang itu mengangkat tangan. Lingkaran sihir terbentuk berwarna hitam pekat dengan simbol dari aksara Jawa di keempat lingkarannya. Sihir berwarna hitam melesat dari lingkaran itu, tertuju pada Rani. Segera Varuna dengan tubuh Rani menghindar dari sihir itu, kembali mengayunkan keris. Mata bilah keris itu memancarkan cahaya berwarna biru, saat diayunkan, elemen air melesat ke arah Sang Titisan Calon Arang. Kali ini serangannya tak meleset atau tertahan. Ia pun mundur beberapa langkah.

Pergerakan yang begitu cepat itu mengambil efek dari jeda pada elemen sihir. Setiap mengeluarkan satu elemen sihir, penyihir memiliki jeda yang menjadi kesempatan Varuna menyerangnya.

"Lain kali ajari aku," pinta Rani.

"Mungkin kapan-kapan, tapi sampai Calon Arang yang asli keluar dan aku berhasil menaklukkannya."

"Astaga, ini tubuhku tahu!" Rani mulai memberontak.

Sang Titisan itu mengangkat tangan. Namun, kali ini ia tengah membaca mantra dalam diam. Pergerakan mulutnya yang cepat itu, seolah tengah memanggil sesuati. Perlahan di sekitar mulai bermunculan bayang-bayangan dalam jumlah banyak. Bayangan-bayangan itu menyerupai Sang Titisan, manusia bertudung.

"Jadi dia Shadow Master?" Rani sedikit tercengang.

"Astaga, refrensimu kacau sekali. Itu produk yang enggak boleh disebutin!" Varuna menghela napas panjang.

"Sekarang bagaimana kita mengalahkannya?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top