BAB 5

Selang beberapa hari tak masuk sekolah, kini Rani telah kembali menjalani kehidupan normal sebagai siswa SMA. Semenjak masuk kelas, teman sekelas mulai mengerubunginya. Namun, Metha dan Kirana dengan cepat membubarkan kerumunan itu.

"Astaga anak-anak kelas ini memang enggak pernah peka dari dulu." Metha mengeluh sembari mendesah panjang.

Memasuki jam istirahat, Metha, Kirana, dan Rani berkumpul bersama untuk menikmati makan siang. "Seperti itulah keadaan kelas, Met, memang apa yang kamu harapkan?" tanya Kirana sembari menyendok nasi ayam geprek.

"Setidaknya peka sedikit kalau ada salah satu dari teman mereka yang enggak baik-baik saja," keluh Metha.

Kini tatapan Kirana memandang Rani. "Bagaimana keadaanmu?"

"Entahlah, aku masih sedikit belum yakin." Rani sedikit tertunduk.

Metha dan Kirana saling bertukar pandang. Sepertinya masalah mental satu ini sedikit rumit. Metha bangkit tempat duduk. "Kelihatannya aku punya ide."

Ide apa lagi yang ada di kepala Metha. Biasanya ide aneh-aneh sih, namun bukan berarti tak akan berhasil. Justru layak dicoba. Ia sedikit tersenyum dengan penuh keyakinan yang tergambar di wajah. "Kita harus jauhi dia dari Dimas!" spontan kalimat itu keluar. Tak sesuai dengan ekspetasi Kirana. Rani yang duduk di hadapan mereka hanya memiringkan kepala. Itu bukan ide yang menarik.

"Setelah aku menjadi Makcomblang mu biar dekat dengan Adinata, kini aku harus memisahkan mereka."

"T-tunggu!" wajah Kirana memerah. "Kenapa jadi seperti itu sih? Apa maksudmu sebenarnya?" Kirana menggoyahkan tubuh Metha berulang kali.

"Habisnya kalian dekat saja enggak peka! Jadinya aku gemas melihat kalian," balas Metha.

"Itu masalah pribadi!"

"Tapi kamu memang suka dengannya kan? Lagian kalian sudah bersama sejak kecil."

Rani hanya bisa tersenyum pahit memandang mereka berdua.

"Sepertinya aku merasakan sesuatu," ucap Varuna. Rani spontan melirik gelang berbentuk ikan hiu. Gelang itu hanya bisa dilihat olehnya. Sejak tadi Metha dan Kirana memang tak menyadari gelang yang dikenakan itu.

"Apa yang kamu rasakan?" bisik Rani.

"Temanmu yang rambut perak itu adalah pengguna senjata suci busur," balas Varuna.

"Bagaimana kamu bisa tahu?"

"Aku bisa merasakannya, apa lagi senjata temanmu itu seratus persen dari sihir. Partikel senjata suci yang sebenarnya sangat umum, tapi ada hal yang membuatnya istimewa," balas Varuna.

Sangat menarik bagi Varuna. Karena lawan bicara Rani merupakan pengguna senjata suci. Boleh jadi sangat kuat, tetapi entahlah. Ia sendiri tak berani menilainya, semua dari tindakan di lapangan.

Rani menopang dagu sembari memadang Kirana dan Metha yang tengah adu mulut. Sudah menjadi rahasia umum kalau mereka berdua suka beradu mulut. Suasana yang sangat lama dan cukup membahagiakan. Langit di angkasa cerah dengan sedikit awan menggantung. Hawa panas memang perlahan mulai menyengat, tetapi hari ini terasa begitu damai. Entah bagaimana mengatakannya, Rani tampak menikmatinya untuk sesaat.

*

Melangkah di lorong seorang diri, Rani merenggangkan tubuh. Perut sudah terisi. Lapangan basket seperti biasa dipenuhi oleh para lelaki-lelaki muda yang bermain basket, saling mengoper bola hingga memasukkannya ke dalam ring. Sorakan terdengar memekakkan telinga ketika bola basket melambung, dan masuk ke dalam ring.

Pikir Rani, hari ini benar-benar damai. Bahkan guru BK pun tak memanggilnya. Apa hal itu sudah diurus? Pikirnya sembari menoleh ke langit.

"Awas!"

Sebuah bola melesat begitu kencang. Rani menoleh ke arah bola itu yang kian jaraknya semakin dekat dengan wajah. Namun, secara tak sadar, tangan Rani terangkat dengan sendirinya, menangkap bola yang melaju dengan kencang itu.

Seketika kawasan lapangan mulai lengang, terpana memandang reflek Rani yang menangkap bola basket itu. "Eh, apa yang terjadi?"

"Kamu ini benar-benar ceroboh ya," keluh Varuna. "Bisa-bisanya ada bola melayang ke arahmu, kamunya malah diam. Maaf tapi aku terpaksa harus menggerakkan tubuhmu."

"Bisa begitu ya." Rani sedikit terpukau.

"Hei, bisakah kamu lemparkan bola kepada kami?" tanya salah seorang laki-laki yang mengingkan bola itu. Rani pun mengayunkan bolanya ke arahnya, meninggalkan lapangan secepat mungkin. Segera ia meninggalkan lorong yang dekat dengan lapangan itu.

"Bisa menggerakkan tubuhku?" tanya Rani sekali lagi pada Varuna yang menjelma menjadi gelang.

"Benar sekali, karena bisa dikatakan aku ada di dalam tubuhmu." Varuna berkata seolah ia tengah tersenyum. "Tenang saja aku tidak akan menggerakkan tubuh sesukaku. Lagi pula buat apa juga kan?"

Dipikir-pikir ada benarnya juga, Rani memutuskan untuk mengganti topik sewaktu menaiki tangga sekolah. "Jadi, soal Kirana yang merupakan pengguna senjata suci itu benar?"

"Sudah kukatakan, aku merasakannya. Lagi pula kalau menggunakan kemampuan sihir, senjata suci dapat terdeteksi dengan jelas."

"Tapi masa iya, kamu menggunakan sihir?"

"Bagaimana ya menjelaskannya?" Varuna bergumam. "Pada dasarnya sihir adalah bagian dari kemampuan supranatural. Itu kan sesuatu yang aneh di mata orang normal bahkan tidak bisa dijelaskan dengan akal sehat. Kecuali jika esper, itu lain cerita."

"Kamu tahu soal banyak tentang keanehan di dunia ini." Rani tiba di lantai dua, lalu berbelok ke kanan memasuki lorong.

"Sebenarnya ini bukan sesuatu yang aneh lagi Ran, kamu tahu kan apa yang terjadi setahun yang lalu. Saat itu portal muncul di langit kota Surabaya mulai membabat habis kota. Ada empat gadis remaja seusiamu dengan kemampuan mereka melindungi kota. Salah satunya adalah Kirana atau gadis berambut perak itu."

"Magical Starz?" Rani memastikan pada Varuna.

"Apakah itu penyebutan bagi orang awam atau normal?" Varuna berbalik tanya.

Rani hanya mengedikkan dahi. "Konon pernah dengar kalau keempat gadis itu adalah Magical Starz. Sudah pernah dibicarakan di media, tapi aku enggak seberapa mengikuti."

Langkah Rani sekejap berhenti, tatapannya lurus ke depan memandang laki-laki remaja yang tengah berdiri di depan kelasnya seorang diri. Sosok itu adalah Dimas yang tengah bermain ponsel. Entah apa yang dilakukannya di sana? Mungkin ia tengah menanti Rani datang. Kenapa dia muncul sih? Perasaan gelisah datang menyelimutinya.

"Oh jadi dia orangnya?"

"E-eh k-kenapa kamu bilang gitu, Varuna?"

"Sudah kukatakan, ketika aku bersemayam di tubuhmu, aku akan menyatu denganmu. Khususnya kalau soal hati aku pun tahu pada akhirnya. Dia adalah orang yang kamu—"

"Cukup jangan dibahas!" Rani memotong Varuna yang belum menyelesaikan kalimat terakhirnya.

"Baiklah."

Rani pun menarik napas panjang lalu menghembuskannya. Ia mulai memberanikan diri melangkah menuju kelas, melewati Dimas begitu saja. Menyadari itu, Dimas menangkat kepala, memandang gadis yang baru saja melintas.

"Rani," panggilnya.

Sontak langkah Rani terhenti sejenak, ia perlahan mulai melirik ke arah Dimas yang tahu-tahu sudah berada di dekatnya. "Aku dengar kamu masuk rumah sakit ya beberapa hari terakhir."

Rani mengangguk samar.

"Maaf ya aku enggak tahu soal itu. Jadi kupikir lebih baik aku memastikan kalau kamu baik-baik saja."

"Aku baik-baik saja kok, kamu enggak perlu khawatir." Rani berusaha membalas dengan bibir tersenyum samar. "Lebih baik kamu kembali ke kelasmu, sebentar lagi masuk jam pelajaran."

"Kalau begitu, bagaimana nanti sore kita keluar sebentar? Aku akan menunggumu di gerbang sekolah ya." Dimas berbalik, meninggalkan Rani sebelum memberikan jawaban pasti.

"Kelihatannya semakin rumit saja," komentar Varuna.

"Diam kamu!"

Sontak satu kelas menoleh pada Rani yang masih berdiri di depan kelas. Menyadari itu, Rani segera menutup mulut, lupa kalau ia tengah berbicara dengan makhluk tak kasat mata.

"Jadi, kamu menerima tawarannya?" tanya Varuna.

"Entahlah, aku masih enggak tahu," balas Ranidengan mengecilkan suara. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top