BAB 3
Ponsel Rani bergetar. Sebuah pesan masuk dari Dimas terpampang di layarnya. "Di mana?" Rani segera membalas.
"Oh itu dia." Rani mendengar suara yang tak asing. Segera ia menoleh. Namun, perasaan sesak itu kembali menyerang dada. Metha ternganga saat melihatnya. Dimas bersama sosok yang ditakutinya selama ini, ia bersama perempuan yang pernah mengajaknya berbicara di kelas.
Bercanda kan? tanya Rani pada dirinya sendiri saat melihat perempuan lain yang berada di sisi Dimas.
"Lho ada Metha?"
"Halo." Metha menyapa sembari melambaikan tangan kecil. "Kukira kamu datang sendirian."
"Perkenalkan dia adalah Yanti." Gadis yang berdiri di sampingnya melambaikan tangan dengan model rambut twintail.
"Jadi, kamu yang namanya Surani Teratai itu ya." Yanti melangkah maju mendekatinya.
"Eh i-iya, kamu bisa panggil Rani kok." Rani membalas dengan sedikit terkekeh, menggaruk kepala yang tak gatal itu.
Wah kenapa jadi canggung begini? Metha mulai merasakan apa yang dirasakan oleh Rani. Jadi ini yang ditakutkan olehnya. Sial aku harus menyingkirkannya, tapi bagaimana? Metha menoleh ke arah Jembatan Merah. Apa aku dorong Yanti saja ke sungai? Malah kesannya lebih kejam dari pembunuhan.
Hanya berjalan di sekitar taman sembari memandang jalan raya. Terkadang mengambil foto di depan Internationale Credit en Handelsvereeniging yang masih meninggalkan gaya Eropa. Namun, bukannya merasa lega suasana hati Rani semakin memburuk bagaikan awan mendung yang muncul di pagi hari, selalu membawa keresahan dan kekacauan. Raut wajah abu-abu itu tergores di wajah Rani. Metha menyadarinya.
Lampu-lampu mulai dinyalakan. Perlahan cahaya mentari mulai redup, tenggelam di barat saja. Ia seolah tengah bersembunyi di balik bangunan-bangunan Belanda.
Rani sudah memikirkannya sejak lama. Namun, ia harus mengumpulkan keberanian dan tindakannya. Sepertinya harus seperti itu untuk mengakhiri gelisah ini. Langit telah bertaburan bintang-bintang yang tampak dari taman. Mereka berempat memandang bintang-bintang yang gemerlapan. Yanti dan Dimas sedari tadi akrab berbicara, namun tidak bagi Rani yang lebih cenderung diam. Metha sudah berusaha memancingnya untuk berbicara. Tampaknya tak berjalan baik, pancingan itu tak berguna untuk Rani.
Kian larut, Dimas dan Yanti melambaikan tangan pada Rani dan Metha. Namun, Rani hanya menyunggingkan bibir dengan terpaksa.
"Met, kamu pulang dulu saja ya. Aku ingin menetap di sini sedikit lebih malam," ucap Rani saat bus tiba.
"Baiklah, lalu kamu pulang pakai apa?"
"Ojek online."
Metha pun menapakkan kaki ke dalam bus. Namun, saat menaiki bus, ia tersandung. Sang sopir berusaha membantunya untuk berdiri. Mengambil bangku yang paling belakang. Saat duduk, entah mengapa sesuatu yang buruk akan terjadi. Semoga saja itu adalah perasaannya.
Rani yang masih menetap memastikan bus sudah menjauh. Ia menghela napas panjang. Mulai melangkah menuju ke Jembatan Merah. Aliran air sungai di bawah sana tampak keruh. Rani memandangnya sembari meyakinkan diri. Perlahan ia mulai menaiki pagar Jembatan Merah. Angin menderu dengan perlahan menyibakkan rambut pendek Rani. Masih mengumpulkan keberanian dan membawa kembali seluruh rasa sakit itu dalam benak. Bukan hanya soal percintaan, tetapi semua yang membuatnya menderita. Termasuk perundungan di masa lalu yang membuatnya trauma hingga saat ini. Kaki gemetar, mata masih tertuju pada sungai di bawah sana. Perlahan, air mata mulai membasahi pipi, sembari berucap, "Selamat tinggal semua!"
Rani melompat dari jembatan, melenting hingga dirinya menghantam air sungai. Seluruh air dibiarkannya memasuki rongga hidung dan mulut. Rasa sesak perlahan menyekik begitu menyakitkan di bawah sana. Namun, Rani membiarkan rasa sakit itu menyerangnya tanpa peduli. Bola mata perlahan mulai menutup, pandangannya tertuju pada bulan purnama yang terang. Semua menjadi gelap. Semoga ini bisa menghilangkan penderitaannya. Membiarkannya tenggelam di dasar sungai tanpa ada yang mengetahui. Dunia tidak peduli denganku, lantas untuk apa aku hidup? Seluruh kenangan masa lalu, termasuk kebahagiaan bersama Dimas diputar sejenak dalam ingatan.
Aliran sungai perlahan mulai memancarkan cahaya berwarna biru, membentuk arus, mengelilingi tubuh Rani yang tenggelam. Perlahan arus lain mulai terbentuk menjadi sosok wanita, Dewi Varuna. Ia memandang gadis yang tenggelam itu. "Gadis yang malang," ucapnya. "Harusnya kau belum boleh meninggalkan dunia, dunia masih membutuhkanmu. Trauma di masa lalumu dan perasaan cintamu yang patah itu memang ingin kau hilangkan. Rasa sakit yang tak tertahan itu membawamu kemari. Akan aku hilangkan rasa sakitmu untuk melupakan segalanya." Dewi Varuna mulai mengangkat tangan. Tubuh Rani perlahan mulai bercahaya berwarna biru, Varuna mengalirkan mana padanya. Perlahan pada pergelangan tangan Rani mulai terbentuk gelang gaib. Terdapat motif ikan Hiu yang tengah mengitari pergelangan tangan.
"Kau akan mewarisi kekuatan dari penguasa air untuk melindungi tanah Surabaya. Bangkitlah Surani Teratai!"
*
Perlahan kelopak mata Rani mulai terbuka. Pandangannya samar dan menyilaukan. Lampu yang terang menyala di langit-langit. Pandangan yang buram itu perlahan mulai jelas. Tepat di samping Rani berbaring, Metha tengah duduk sembari tertunduk, di dekat pintu terdapat gadis berambut panjang sepunggung berwarna perak tengah bersandar sembari melipat kedua tangan. Ia adalah Kirana Putri yang turut menanti Rani yang siuman. Pandangannya beralih ke infus yang dimasukkan melalui jarum di tangan kanan. Infus itu menggantung pada tiang. Aroma semerebak khas rumah sakit mulai tercium dari balik hidungnya.
"M-Metha," panggil Rani membuat Metha mengangkat wajah. "Di-di mana aku?"
"Kirana panggilkan dokter!"
"Rani, kamu sudah sadar kan?" Perlahan air mata Metha mengalir, syukurlah tak terjadi apa-apa padanya. Ia segera merangkul sahabatnya yang baru siuman itu.
"A-apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Rani perlahan.
"Kamu tidak ingat sesuatu?" tanya balik Metha.
Sekilas ia teringat sesuatu, kalau tak salah ingat Rani melompat dari jembatan. Lalu semua lenyap begitu saja. "Aku melompat dari jembatan. Setelah itu semua hilang begitu saja."
Kirana melangkah mendekati Metha dan Rani. "Seseorang menemukanmu ada di tepi sungai. Lalu, kamu dibawa kemari. Metha dan aku mengetahuinya dari berita yang beredar dua hari yang lalu."
"Yang terpenting kamu baik-baik saja Ran," sambung Metha.
Rani menggeleng kepalanya. Bukan ini yang ia harapkan setelah melompat dari jembatan. Namun, kenapa ia masih berada di sini? Mata Rani perlahan mulai berkaca-kaca, dadanya kembali terasa sesak.
"Rani, kamu baik-baik saja kan?" tanya Kirana.
Sekali lagi Rani menggelengkan kepalanya. "Bukan ini yang kuinginkan," balasnya dengan perlahan.
"Ran."
"Bukan ini yang kuinginkan!" nada Rani mulai meninggi. "Kenapa aku masih hidup? Bukannya aku harusnya sudah mati." Air mata Rani mulai tak terbendung, berjatuhan membasahi pipi. "Aku hanya menginginkan kedamaian, tetapi kenapa aku masih hidup!"
Metha dan Kirana saling memandang. "Rani tenangkan dirimu," pinta Kirana.
"Pergi kalian." Hening mulai menyelimuti kamar itu. "Pergilah kalian!" nada Rani meninggi kembali. Metha dan Kirana mengangguk, mereka meninggalkan Rani sendirian dalam kamar rumah sakit.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top