BAB 2
Tak ada yang tahu bagaimana hari berikutnya berlangsung. Begitu Rani melihat kasur yang empuk di kamar rumahnya, ia langsung melompat ke atasnya. Melemparkan tas yang berisikan buku ke lantai. Ia berbaring tengkurap dengan raut wajah perlahan pudar dan desahan kelesuhan mulai berbunyi perlahan. Kapan ya Dimas peka? Rani selalu bertanya seperti itu hampir setiap hari. Semakin ia memikirkannya, dadanya perlahan mulai sesak. Tangannya mengepal, memukul kasur yang tak bersalah itu. Kenapa pikiranku tidak pernah bisa hilang? Padahal Rani selalu berharap perasaannya dengan Dimas itu sirna, rupanya tidak. Perasaan yang dimilikinnya semakin kuat. Andai saja aku tidak bertemu dengannya atau melarang duduk di sampingku mungkin tidak akan terjadi seperti saat ini.
Hening mulai menyelimuti kamar. Tak ada yang bisa dilakukan lagi oleh Rani. Saat ini ia menginjak kaki kelas dua, kurang setahun lagi ia akan angkat kaki dari sekolah dan masuk universitas yang diinginkannya. Sekaligus melupakan Dimas yang entah mengapa tak bisa ia miliki. Perasaan gelisah itu muncul ketika Rani melihat Dimas berbicara dengan gadis populer nan interaktif. Aura gadis yang sedang berbicara dengan Dimas begitu kuat. Menyebalkan! Rani bangkit dari tempat tidur menuju meja belajar, barang kali ia bisa melupakan sejenak sambil belajar.
Namun, satu jam kemudian, tak ada yang terjadi. Selama belajar pun Rani malah menutup buku rapat-rapat. Sialan! kenapa aku enggak bisa belajar?
Rani mulai bersandar, pandangan tertuju pada langit-langit kamar yang berwarna putih. Ruang kamar sederhana, tepat di samping meja belajar terdapat lemari pakaian, tepat di sebrang lemari terdapat kasur dengan selimut yang sedikit berantakan di atasnya. Bantal-bantal berserakan ada pula yang terjatuh di lantai.
Sulit rasanya ingin fokus untuk saat ini. Pikirannya masih terbayang pada rasa sakit. Kenapa sih diriku bisa jatuh cinta? Padahal Rani tak mengharapkan hal itu datang. Apakah tak bisa seorang laki-laki dan perempuan berteman tanpa melibatkan perasaan? Pertanyaan itu selalu muncul di benak, mungkin pembaca di sini juga bertanya-tanya soal itu. Pertanyaan yang tak memiliki jawaban sama sekali.
Ponsel bergetar di atas kasur, pesan masuk dari layar yang menyala. Bertuliskan nama "pesan dari Dimas". Rani segera membuka ponsel dan melihat isi pesan yang masuk. "Hari sabtu besok bisa ikut temani aku ke Kota Tua Surabaya?" Membaca ajakan itu membuat wajah Rani memerah. Bagaimana aku harus menjawabnya? Pikiran Rani mulai semerawut bagaikan benang merah. Rani segera membalas pesan itu pada Dimas. Ia melemparkan ponselnya ke atas kasur. Masih tersisa tiga hari lagi sebelum hari libur.
*
Hari kian larut malam. Lupa mandi, Rani terpaksa mandi pukul delapan malam. Air mengguyur begitu segar. Pintu kamar terbuka, handuk masih tergantung di belakang lehernya. "Enggak kusangka bakal lupa kalau aku belum mandi." Ia menggantungkan handuk di belakang pintu, segera melompat ke atas kasur. Mengambil buku dalam tas, lebih tepatnya novel yang baru saja dibeli beberapa hari lalu. Novel ILY karya Tere Liye, ia belum sempat baca itu sebelumnya, padahal sudah mengoleksi sampai Matahari Minor. Kegiatan belajar yang padat di sekolah membuatnya sulit untuk membaca buku. Bahkan jam literasi di pagi hari tak dapat dimanfaatkan dengan baik. Kelas ramai, ketika guru yang mengajar belum masuk, membuatnya sulit untuk fokus membaca.
Ponsel berdering, Rani menghela napas panjang saat mendengar nada ponsel yang memang sengaja diatur sedemikian rupa. Tebakannya tak pernah salah, telepon itu berasal dari ibunya. Segera Rani mengangkat teleponnya.
[Halo, sayang, bagaimana kabarmu di sana?]
"Ma, aku baik-baik saja."
[Benarkah? Kata Metha kamu murung terus seharian ini.]
"Jangan dengarkan kata-kata Metha, memang dia kalau bicara suka aneh-aneh sih."
[Kamu yakin, kamu enggak apa-apa?]
"Aku serius," sembari mengangkat dua jari saat membalas. "Bagaimana ibu di London, apa semua pekerjaan berjalan lancar?"
[Sangat lancar, beberapa hari ke depan papa dan mama akan pulang ke Surabaya.]
"Baiklah kalau begitu."
[Rani, kalau kamu punya masalah lebih baik ceritakan saja pada mama. Jangan kamu pendam sendiri masalahmu.]
"Aku enggak apa-apa Ma, sungguh. Mungkin kalau aku agak bermasalah aku akan bilang ke Mama. Sampai ketemu nanti." Rani segera menutup telepon.
Lebih baik tidak perlu memberitahukannya, lagi pula aku sudah besar kan. Rani bukannya tak mau bercerita, namun ini masalah dengan skala yang lebih spele. Kisah percintaan anak muda. Apa yang akan diharapkan kedua orang tuanya ketika masalah yang dialami oleh Rani adalah masalah percintaan? Aku harus bisa! Rani menepuk kedua pipinya.
Teringat sesuatu, ia mengirim pesan pada Metha untuk tidak membicarakan hal yang aneh-aneh pada ibunya.
*
Tiga hari telah berlalu. Senja menyambut di Kota Tua Surabaya. Bus berhenti di tepi halte. Rani dan Metha segera turun dari bus. Dengan pakaian kasual. Metha mengenakan pakaian terusan dengan warna putih, sedangkan Rani mengenakan kaos dan jaket jeans dengan celana jeans pendek dengan sepatu kets berwarna hitam putih.
"Tumben sekali kamu ajak aku buat ketemuan sama Dimas?" tanya Metha sewaktu mereka turun dari bus.
"Enggak apa-apa kan, lagi pula perasaanku juga enggak enak."
"Apa maksudmu?" tanya Metha.
"Entah ada yang mengganjal gitu."
Metha hanya mengangguk. "Pasti karena gugup ya bertemu dengan Dimas, misalnya "apa pakaianku sudah cocok?" seperti itu kan?"
"Kayaknya enggak sampai gitu deh," balas Rani dengan datar.
"Sial, aku harus jadi makcomblang untuk kencan kalian." Metha tiba-tiba mengepalkan tangan sembari terangkat.
"Kamu ini ngomong apa coba?" Rani menghela napas panjang.
Kota Lama Surabaya, berdiri bangunan-bangunan bergaya Eropa. Wajar saja sebagai kota yang pernah disinggahi oleh Belanda. Tak jauh dari halte, terdapat sebuah taman yang terdapat di depan Jembatan Merah Plaza. Tepat di sampingnya terdapat Jembatan Merah yang menjadi saksi bisu sejarah pembunuhan A.W.S Mallaby. Saat senja seperti ini, Kota Lama, menjadi kawasan destinasi yang ramai. Banyak pengunjung yang menggunakan kebaya hitam untuk berfoto. Golden Hour mereka menyebutnya sebagai waktu yang tepat untuk diabadikan.
Mereka melangkah menuju Taman Sejarah dan Museum Hidup Kota Lama. Tepat di dekat jalan raya, terdapat replika mobil milik A.W.S Mallaby yang masih utuh walau terkena ledakan, bagian kaca sudah pecah ditambah tubuhnya yang sudah peyok dengan kap mesin terbuka.
"Jadi di mana pertemuannya?" tanya Metha.
Sedari tadi Rani menatap layar ponsel, memastikan lokasi pertemuannya sesuai dengan janjian. Namun, entah kenapa Dimas belum muncul hingga saat ini. Atau mungkin ia belum datang. Sembari menanti, Rani bergegas menuju tempat duduk yang menghadap ke arah JMP. Metha menyusul di belakang. Bangunan tua itu masih berdiri dan beroperasi meski sudah tidak seramai sebelumnya. Padahal dahulu tempat ini dipenuhi oleh pengunjung, namun kini telah menyisakan sisa-sisa pedagang yang masih bertahan di dalamnya.
Rani segera melirik pada Metha. "Met menurutmu ada cara untuk melupakan seseorang?"
"Kenapa kamu tanya gitu?"
"Karena aku ingin melupakan seseorang."
Lengang menyelimuti mereka, bersama angin yang berhembus perlahan menyibak rambut mereka.
"Kamu ingin melupakan Dimas?" tanya Metha memastikan pertanyaannya memang tertuju ke sana.
Rani mengangguk samar. "Kelihatannya aku enggak bisa terus-terusan bersamanya."
Metha menghela napas panjang. "Kamu yakin dengan keputusanmu itu? Maksudku kenapa kamu ingin melupakannya? Apa kamu masih kepikiran dengan perempuan yang mendekatinya?"
"Mungkin, rasanya juga mustahil untuk cemburu pada seseorang yang hanya sebatas teman."
"Lagi pula masih ada kesempatan kok," balas Metha menopang dagu. "Jangan terlalu dipikirkan soal itu."
Ponsel Rani bergetar. Sebuah pesan masuk dari Dimas terpampang di layarnya. "Di mana?" Rani segera membalas.
"Oh itu dia." Rani mendengar suara yang tak asing. Segera ia menoleh. Namun, perasaan sesak itu kembali menyerang dada. Metha ternganga saat melihatnya. Dimas bersama sosok yang ditakutinya selama ini, ia bersama perempuan yang pernah mengajaknya berbicara di kelas.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top