6. Daffa Permana

Dengan perlahan, Rahadian menurunkan tubuh pemuda dalam gendongannya untuk dibaringkan di atas ranjang kamar tidur. Ditariknya selimut hingga menutupi leher untuk menghangatkan tubuh pemuda itu. Lalu dia bergegas keluar kamar berniat mencari es batu dalam kulkas di dapur dekat ruang tamu.

Rahadian lantas menaruh es batu ke dalam baskom melamin yang dia ambil dari cabinet kecil pada dinding atas dapur. Lalu dia menambahkan air dari keran wastafel kamar mandi di dalam kamar tidur. Sip, ramuan kompres sudah siap. Hanya kurang washlap atau handuk kecilnya saja.

Alis tebal milik pemuda itu bergerak naik saat mendapati tidak ada lagi handuk kecil yang bersih. Semua sudah dia pakai untuk mengelap wajahnya setelah cuci muka. Hanya tersisa handuk mandi biasa yang terlipat rapi di rak bawah wastafel.

"Hmm... rasanya terlalu besar bila menggunakan handuk mandi biasa. Bisa mendadak kram jari-jari tanganku saat memerasnya nanti. Lagipula handuk itu juga nggak akan muat masuk ke dalam baskom. Sepertinya aku harus cari kain pengganti yang berukuran pas dan mudah diperas. Hmm... pakai kain apa yah enaknya? Aha... aku punya ide!"

Rahadian langsung berlari kecil menuju lemari pakaian yang terletak di seberang ranjang. Dia segera menarik daun pintu sampai lemari terbuka lebar hendak meraih koper besar yang dia simpan di dalamnya. Lalu dia menurunkan tubuhnya sampai berjongkok untuk mengubek-ubek isi koper miliknya yang baru saja dia buka.

Kedua matanya langsung membulat seraya bibirnya mengembang lurus, saat menemukan selembar kain yang dia cari. Kemudian mendongakkan kepala sedikit ke atas, menatap pemuda yang tengah terkulai lemas di atas ranjang. "Bertahanlah, Rei... Aku pasti akan menyelamatkanmu!"

Dia lantas mencelupkan kain yang barusan diambilnya ke dalam baskom berisi campuran air dan es batu. Ah, sepertinya lengkap sudah peralatan kompres darurat ala perawat Rahadian Permana. Dengan tergesa, pemuda itu berlari keluar kamar mandi sembari jemari tangannya mencengkeram erat pinggiran baskom.

Dia langsung meletakkan baskom di atas nakas setibanya di samping ranjang. Lalu segera menyeret sebuah kursi kayu dari sisi lain ranjang untuk duduk di sebelah pemuda yang sedang terbaring lemah tidak sadarkan diri.

Sebelum memulai aksinya, pemuda tampan itu menatap sejenak wajah pucat Reihan yang tampak mengkilat dibasahi peluh. Sesekali mulutnya bergetar dan kedua mata terpejamnya berkedut-kedut seperti sedang menahan dingin yang luar biasa. Dia sungguh tidak tega dan merasa bersalah. "Maafkan aku, Rei..."

Mendadak, Rahadian jadi cekikikan sendiri saat tangannya hendak menempelkan gulungan kain yang barusan dia peras ke atas permukaan dahi Reihan. Bagaimana tidak, pemuda itu menggunakan salah satu boxer miliknya yang terbuat dari bahan katun sebagai kain kompres darurat. Kain ketat berbentuk short pants yang biasa untuk menutupi selangkangan kini akan segera membelai lembut kening Reihan. Sesuai peribahasa tidak ada rotan akarpun jadi, tidak ada washlap kancutpun jadi. Dengan pertimbangan ukurannya pas, cepat menyerap air dan mudah diperas. Good idea, semoga saja dahi Reihan tidak panuan atau gatal-gatal setelahnya.

Dengan telaten dan penuh perhatian, Rahadian mengompres kening pemuda di hadapannya, meski sepanjang itu pula dia tidak henti-hentinya cekikikan sendiri. Ini baru pertama kalinya dia mau repot-repot merawat seorang asing yang jatuh sakit, sebab dia termasuk golongan artis yang agak sombong. Tidak pernah terbesit dalam pikirannya bila akan beralih profesi jadi seorang suster dalam acaranya di Bali kali ini. Parahnya lagi harus merawat seorang pria yang baru dia kenal sehari dan bermulut nyinyir.

Namun sepertinya Rahadian sama sekali tidak merasa terbebani. Dia melakukannya dengan tulus dan segenap hati, meski awalnya didasari perasaan bersalah. Bahkan, dia mulai menikmati peran barunya sebagai suster spesial bagi Reihan. Kapan lagi dia bisa puas memandangi wajah pemuda yang baru kali ini terdiam dan tidak banyak bacot menghinanya. Entah kenapa hati pemuda itu merasa nyaman berada di dekat Reihan yang sederhana dan apa adanya itu. Dia seperti bisa menjadi dirinya sendiri tanpa embel-embel predikat artis terkenal yang melekat. Terlebih kehadiran pemuda itu bak obat mujarab yang dapat mengalihkan kesuntukan pikirannya akibat pengkhianatan Marisca.

Di sisi lain, Reihan sendiri sungguh sangat beruntung mendapat treatment spesial dari seorang suster yang super tampan dan sexy. Sebab di luar sana banyak yang rela menjadi sakit agar bisa dirawat oleh sang superstar sekelas Rahadian. Dia tentu tidak mungkin bisa menemukan kesempatan langka ini di rumah sakit manapun. Jadi semoga saja pemuda itu melunak dan mulai bersikap manis pada perawat gantengnya ketika siuman nanti.

Beberapa saat berlalu, usaha keras Rahadian mulai membuahkan hasil. Kening Reihan sudah tidak sepanas tadi. Tapi sayangnya, tubuh pemuda itu masih terlihat terus gemetar kedinginan. Rupanya pakaian yang basah kuyup bermandikan keringat, menjadi penyebab utama kondisinya yang tidak segera membaik. Bahkan pemuda itu mulai mengigau tidak jelas disela gemretakan giginya yang saling beradu. Gawat, sepertinya dia terserang hipotermia. Rahadian harus cepat melakukan pertolongan pertama sebelum semuanya terlambat.

Tanpa pikir panjang, pemuda tampan itu segera menyingkap selimut yang menutupi tubuh Reihan. Kemudian dengan cekatan melucuti baju dan celananya yang basah hingga tersisa selembar kain segitiga menutupi benda keramatnya. Rahadian berencana menghangatkan pemuda itu menggunakan panas tubuhnya sendiri, seperti yang sering dia tonton di film-film barat dan hasilnya selalu memuaskan menurut sutradaranya.

Setelah menanggalkan jeansnya hingga menyisakan boxer hitam sebagai kain terakhir, pemuda berbadan kekar itu langsung melompat ke atas kasur melewati tubuh Reihan. Dia segera berbaring di sebelahnya. Lalu memutar tubuh Reihan sampai menghadap ke arahnya.

Deg...

Irama jantung Rahadian mendadak berdetak tidak karuan, saat salah satu tangannya dia selipkan di bawah pinggang ramping Reihan hendak menariknya untuk mendekat. Beberapa kali dia menelan ludah membasahi tenggorokannya yang kering, akibat rasa nervous luar biasa hingga wajahnya pun terasa memanas. Nafasnya mulai memburu saat menyongsong badan Reihan yang perlahan semakin dekat dalam dekapannya. Lalu dia memejamkan kedua matanya, berusaha menahan gejolak aneh yang baru pertama kali ini dia rasakan dalam batinnya. Sungguh lebih mendebarkan dari adegan film manapun yang pernah dia lakoni. Bahkan lebih tegang dari mencium Chelsea Olivia.

Namun tiba-tiba Rahadian membuka matanya sembari langsung menarik tangannya dari pinggang Reihan. Dia juga memundurkan badan sedikit menjauh saat hidungnya tergilitik hingga mengernyit ke atas. Seperti aroma ikan asin berendam dalam cuka dapur. "Huiihh... bau apek-apek kecut apa, nih? Jangan bilang itu bau keringatnya. Astaga... cobaan macam apa lagi ini?"

Jika saja bukan dirinya yang menyebabkan pemuda itu sampai terkapar, mungkin sekarang Rahadian sudah turun dari ranjang. Dia berulang kali mengibaskan tangan di depan hidung seraya mulutnya meniup-niup kayak wanita hamil, berniat mengusir rasa mual yang mendadak menyerang. Kalau boleh, rasanya dia ingin kabur dari tanggung jawabnya.

"Ssshhh... sshhh... sshhh..."

Reihan terus menggigil kedinginan. Getaran tubuhnya makin kencang dari sebelumnya. Bahkan sesekali dia tampak mulai mengejang. Sepertinya tubuh pemuda itu yang dibiarkan terbuka tanpa dibalut pakaian menyebabkan kondisinya semakin drop.

Tergerak rasa iba bercampur panik saat mendapati Reihan yang kejang-kejang mirip cacing kepanasan di sebelahnya, tanpa berpikir dua kali Rahadian langsung merengkuh tubuh pemuda itu ke dalam dekapannya. Sangat erat. Mengesampingkan rasa mual yang tengah menderanya hebat. Anggap saja bau ikan asin asem itu aroma parfum keluaran terbaru Calvin Klein limited edition. Seperti kata orang jika sudah suka tai kucingpun akan berasa coklat. Setuju?

Tubuh Reihan perlahan menjadi tenang dalam pelukan Rahadian yang hangat. Tapi bukan berarti masalah selesai, sebab mulutnya kini mulai meracau tidak jelas. "Dhe... Dhea... aku mencintaimu... aku melakukan semua ini demi kamu... Dhe... Dhe... tunggu aku pulang..."

"Sial... aku bukan Dhea, bodoh! Namaku Daffa, ngerti! Grr..." Sambil mengomel dalam hati, Rahadian membenamkan kepala Reihan di atas dadanya yang bidang. Mencoba mengusir suhu dingin yang mungkin kembali menyerang otak pemuda itu akibat peralihan dari tubuhnya yang berhasil dia hangatkan.

"Dhe... Dhea... aku... aku merindukanmu Dhe... aku... aku... mencintaimu..."

Plak! Sebuah tamparan mendarat telak pada kepala Reihan. "Berisik! Bisa diam nggak, hah?"

"Dhe... Dhea... aku mencintaimu... Dhe... tunggu aku pulang..."

"Sialan... kenapa dia nggak bisa diam? Apa sih istimewanya wanita yang bernama Dhea itu sampai terbawa dalam alam bawah sadarnya segala? Eh... kenapa aku malah jadi sewot seperti ini? Bukannya wajar bila dia mengigau merindukan seseorang yang mungkin kekasihnya sendiri? Damn, apa aku sedang cemburu? Hahaha... nggak mungkin, baru juga kenal sehari. Sepertinya aku hanya merasa terganggu dengan ocehannya yang nggak jelas itu. Terlalu berisik dan bising di telinga. That's all!"

"Dhe... Dhea... aku mencintaimu Dhe..."

"Argghhh... diam, berisik!!! Dhea-Dhea terus dari tadi! Awas saja sekali lagi kamu memanggil nama itu, akan kusumpal mulutmu dengan kain kompres, mau?"

"Dhe... Dhea... aku... mmpphh..."

Rahadian yang jengkel langsung mendaratkan bibirnya untuk membungkam mulut Reihan. Rupanya cara itu sangat ampuh sebab mulut Reihan seketika diam membisu.

Awalnya Rahadian hanya ingin menempelkan bibirnya secara pasif dan tidak bergerak. Namun semakin lama pemuda itu jadi tergoda untuk mulai melumat lembut bibir Reihan. "Hmm... lumayan juga bibirnya untuk ukuran seorang pria."

Tanpa dia duga, bibir Reihan perlahan bergerak mengikuti permainan bibirnya. Mulai membalas lumatan demi lumatan yang dia lancarkan. Bibir mereka kini saling berpagut satu sama lain penuh gairah.

"Mampuslah aku! Kenapa ciumannya terasa begitu hangat sampai menyentuh relung hatiku? Dia memang nggak sepandai Marisca memainkan bibirnya, namun berhasil membuatku melayang dalam setiap lumatannya yang sederhana. Aku sungguh merasa nyaman dan... bahagia. Aku... aku sangat menikmatinya dan nggak ingin berhenti meski aku tahu ini salah. Ah, sialan kamu, Rei! Sepertinya aku... aku... benar-benar mulai menyukaimu..."

**********

Reihan perlahan membuka kedua matanya saat sinar matahari menyapa melalui celah tirai jendela. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya sejenak untuk mengumpulkan kesadaran.

"Whoaa..." Reihan terkaget luar biasa. Kedua matanya langsung mendelik saat mendapati dia berada dalam pelukan seorang pria yang parahnya hanya memakai celana dalam seperti dirinya.

Rasanya Reihan ingin menendang kuat-kuat pemuda di sebelahnya itu sampai ke Nusa Kambangan, jadi satu dengan terpidana mati kasus narkoba biar dieksekusi bersamaan. Namun apa daya tubuhnya masih lemah tidak bertenaga, hanya mulutnya saja yang masih penuh baterainya setelah dicharge semalam tanpa sepengetahuannya.

"Woii... bangun, artis kampung! Aku butuh penjelasanmu!" Reihan mendorong dada Rahadian berusaha melepas pelukan sampai membuat pemuda itu terbangun.

"Oh... pagi, Rei! Kamu sudah bangun." Rahadian menatap Reihan sambil tersenyum, sesaat setelah membuka kedua matanya. Dia tetap memeluk erat pemuda di sebelahnya, bahkan semakin agresif.

"Eh... eh... apa yang mau kamu lakukan?" Reihan langsung menghalau kepala Rahadian dengan kedua telapak tangannya saat tiba-tiba wajah pemuda di sebelahnya maju mendekat. "Ingin mencium keningmu. Bukankah itu hal biasa yang dilakukan seseorang pada kekasihnya saat baru bangun tidur?" Rahadian tersenyum, meloloskan kata-kata itu dengan santainya.

"Hah? Kekasih? Apa kamu sudah gila? Siapa kekasihmu itu?"

"Ya kamu, lah! Memang ada orang lain lagi di sini selain kita berdua? Jadi mulai sekarang kamu adalah kekasihku. Dilarang membantah!"

"Dasar gila!"

"Benar sekali! Kamu yang sudah membuatku gila." Rahadian tersenyum lebar.

"Sinting!"

"Hem..." Rahadian menganggukan kepala.

"Dasar homo!"

Rahadian mengangguk lagi.

"Argghhh... kenapa kamu tiba-tiba jadi aneh seperti ini, hah? Please, jangan membuatku jadi jijik. Kamu sedang becanda, kan?"

Rahadian menggeleng.

"Sial... kamu jadi membuatku takut! Cepat, lepaskan pelukanmu sekarang! Aku nggak mau dipegang-pegang seorang homo sepertimu. Kamu... kamu... jangan mempergunakan kesempatan di dalam kesempitan, yah! Aku sedang nggak punya tenaga sekarang untuk melawanmu." Reihan berusaha memberontak namun Rahadian malah mengeratkan pelukannya.

"Oh, tenang saja... semalam sudah cukup hebat kok perlawananmu. Bahkan kita bertarung sampai tiga ronde." Rahadian menaikkan sebelah alisnya seraya mengulas senyum mesum.

"Hah? Apa maksudmu?" Reihan tampak shock. "Jangan bilang kalau semalam kita..."

"Yup, kamu benar sekali!"

"Astaga... itu nggak mungkin terjadi!" Reihan menjadi panik sembari meremas-remas rambutnya sendiri. "Kenapa aku nggak bisa mengingat sama sekali kejadian semalam?"

"Mungkin kamu terlalu menikmatinya sampai melayang-layang ke langit ketujuh kali hingga lupa ingatan." Rahadian terkekeh geli. Dia sengaja menggoda pemuda itu sebab dia suka sekali memandangi wajahnya yang sedang gugup.

"Argghhh... nggak mungkin! Kamu pasti sedang mengerjaiku, kan? Perasaan kejadian terakhir yang kuingat semalam, aku sedang muntah-muntah di atas kursi kolam renang sebelum kemudian kesadaranku hilang..."

"Ow, jadi hal itu penyebab baunya sampai mirip ikan asin. Ternyata dia meniduri muntahannya sendiri hingga mengering di bajunya terkena hembusan angin malam, lalu bercampur dengan keringatnya. Great, benar-benar perpaduan yang sempurna! Kasihan..."

"Hmm... seperti itu yah. Lalu kenapa kamu sampai muntah-muntah, Rei? Apa kamu hamil? Hehehe..." Rahadian kembali terkekeh.

"Sialan!"

"Aww..." Rahadian meringis, puting susunya terasa pedas akibat dicubit kasar karena gemas.

"Sepertinya aku masuk angin semalam. Perutku yang hanya terisi makanan ringan rupanya nggak kuat menahan kencangnya tiupan angin pantai."

"Astaga, kenapa bisa seperti itu, Rei? Bukannya dalam acara briefing kemarin ada makan malam buffetnya?"

Reihan menganggukkan kepala.

"Lantas kenapa kamu nggak makan, Rei? Apa pihak EO nggak mengijinkanmu masuk sebab mereka nggak tahu bila kamu juga merupakan salah seorang pemenang undian? Ah, sial! Jika tahu kejadiannya akan seperti ini, maka aku pasti hadir ke acara itu kemarin. Aku ingin memastikan kamu mendapatkan hakmu sebagai pemenang yang sah. Maafkan aku, Rei..." Rahadian terdengar serius dengan ucapannya.

"Eh... eh... bukan seperti itu kejadiannya. Kamu nggak perlu minta maaf padaku, Rahadian."

"Lalu?" Rahadian menelengkan kepala sedikit bingung. "Oh iya, panggil aku Daffa saja. Itu nama asliku. Rahadian hanyalah nama panggung yang dikarang Bella karena dia penggemar berat Reza Rahardian. Heran, apa sih hebatnya aktor itu sampai dia kesengsem berat padanya? Ah, forget it! Lebih baik kamu segera cerita sekarang."

"Err... pada awalnya pihak EO memang melarangku untuk masuk. Tapi kemudian Bella datang menolongku memberi penjelasan sehingga akhirnya aku diperbolehkan mengikuti acara."

"Terus masalahnya dimana, Rei? Kenapa kamu tetap nggak bisa makan?" Rahadian menyela.

"Err... aku kembali sebelum acaranya selesai, Daf."

"Hah? Kenapa, Rei?"

"Anu... itu karena... karena..." Otak Reihan mendadak blank mencari-cari alasan. Dia tidak mungkin berkata jujur jika dia mengkhawatirkan pemuda itu semalam. Dia terlalu gengsi mengakuinya. Bisa malu setengah mati dirinya.

"Cepat katakan karena apa, Rei? Please, jangan bertele-tele." Daffa mulai tidak sabaran. Dia sedikit penasaran.

Reihan menghirup nafas dalam-dalam. "Bosan."

"Ow... hanya karena itu..." Daffa terdengar sedikit kecewa. Entah jawaban apa yang dia harapkan dari Reihan. Feelingnya kuat jika pemuda itu sedang berbohong saat ini.

"Acaranya sungguh membosankan semalam, Daf. Hanya berisi sesi tanya jawab nggak penting. Toh, statusku juga hanya seorang pemenang bayangan yang nggak akan turut serta secara resmi dalam event dinner nanti malam. Jadi kuputuskan untuk kembali lebih cepat sebelum acara usai karena aku mulai mengantuk." Reihan berusaha meyakinkan.

"Ok... ok..." Daffa melepas pelukannya, membiarkan tubuh Reihan bebas. "Sebaiknya sekarang aku segera mengorder breakfast untuk mengisi perutmu yang kosong itu supaya kesehatanmu cepat pulih." Dia menggeser tubuhnya ke pinggiran ranjang hendak turun.

"Tunggu, Daf!" Dengan sekuat tenaga Reihan merangkak cepat untuk menggapai lengan Daffa, membuat pemuda itu langsung berhenti sejenak dan menoleh ke arahnya. "Kenapa lagi, Rei?"

"Maafkan aku jika sudah berbohong barusan. Sebenarnya aku kembali karena... karena aku mengkhawatirkanmu... Aku panik saat mendapatimu nggak kunjung muncul dalam acara. Aku takut terjadi apa-apa padamu, Daf..."

Rupanya tingkah Daffa yang mendadak sedikit aneh karena kecewa, ternyata bisa dibaca dengan jelas oleh Reihan.

"Aku tahu itu, Rei, meski kamu tidak mengatakannya sekalipun." Daffa tersenyum sambil menatap lekat Reihan. "Tapi yang nggak kusangka jika akan sebahagia ini saat mendengarnya langsung dari mulutmu. Thanks untuk perhatianmu, Rei."

Reihan terkesiap, tidak sanggup berkata apa-apa. Hanya bisa menatap lekat wajah pemuda di hadapannya. Hatinya mendadak dipenuhi jutaan bunga bermekaran. Dia merasa tersanjung dengan ucapan Daffa barusan.

"Ehem... ehem... bisakah kamu melepas tanganmu, Rei. Aku ingin segera mengorder makanan untukmu. Aku nggak mau kamu sampai kolaps lagi."

"Ah... hahaha... sorry, Daf, hahaha..." Reihan mendadak jadi kikuk sendiri sambil buru-buru melepas genggamannya pada lengan Daffa. "Sialan, kenapa mukaku mendadak terasa memanas dan jantungku jadi dag dig dug ser begini sih..."

"Oh yah, Rei... Lupakan perkataanku yang tadi. Maaf, aku hanya becanda. Semalam kita nggak melakukan apa-apa kok, kecuali tidur seranjang sambil berpelukan. Aku terpaksa melakukannya untuk membantu menghangatkan tubuhmu yang kedinginan. Jadi kamu nggak perlu memikirkannya, Ok!"

"Iya... iya... aku tahu kamu pasti sedang mengerjaiku barusan. Kamu kan memang selalu usil padaku. But anyway, thank you very much, Daf. Kamu sudah menyelamatkanku. Aku berhutang nyawa padamu."

"Sudah, jangan terlalu dipikirkan, Rei. Aku melakukannya dengan ikhlas sebab aku peduli padamu. Hmm... tapi kalau kamu memaksa ingin membalasku, sepertinya aku sedang menginginkan sesuatu saat ini."

"Emm... apa itu, Daf? Please, jangan yang mahal-mahal sebab aku nggak punya banyak uang."

"Hahaha... kamu lucu, Rei. Tenang saja, permintaanku itu nggak butuh banyak uang. Hanya membutuhkan kerelaan hatimu saja." Daffa tersenyum nakal.

"Hah? Maksudmu, Daf?"

"Jadilah pacarku, Rei..."

"Argghh... dasar sinting! Sudah daripada kamu ngelantur nggak jelas seperti itu, sebaiknya kamu segera mengorder makanan saja sana! Aku mau istirahat lagi sebentar." Reihan langsung menarik selimut sambil membalikan tubuh membelakangi Daffa, berpura-pura jengkel meski hatinya sedang menghangat. Dia jadi cekikikan kecil sendiri sambil memandangi nakas di sebelahnya. "Eh, apa itu? Kenapa ada sebuah baskom di kamar ini?"

"Ok... ok... siap, bos!" Daffa segera turun dari ranjang. Lalu berjalan memutar hendak menuju nakas di sebelah posisi Reihan berbaring, berniat menggunakan telfon hotel yang terletak di atasnya. Namun baru setengah jalan, mendadak langkahnya terhenti saat mendapati pemuda di hadapannya sudah duduk bersandar pada dinding ranjang, sedang menatapnya horror penuh kebencian. Kedua tangannya tampak meremas-remas geregetan kain kompres yang baru dia ambil dari dalam baskom.

"Apa ini, Daf?"

"Err... itu... itu..." Daffa menggaruk-garuk kepala kehilangan kata-kata. Dia sudah seperti maling yang ketangkap basah.

"Grr... jangan bilang kamu menggunakan kain ini untuk mengompresku semalam, hah?" Reihan memicingkan matanya, menatap buas seperti hendak membunuh orang.

"Hehe... sepertinya aku pakai telfon ruang tamu saja yah, hehehe... Selamat beristirahat, Rei..." Daffa memundurkan langkahnya, tidak jadi mendekat ke arah nakas. Dia berancang-ancang kabur sebab penjaga telfonnya terlihat lebih menyeramkan dari hantu jeruk purut penjaga kuburan.

"Dasar jorokkk!!! Woyy... mau kemana kamu, hah? Jangan kabur kamu, monyet!" Reihan mengumpat tidak terima saat menyaksikan si artis kampung melangkah cepat menuju pintu kamar. Dia hanya sanggup melempar boxer di tangannya dengan sisa tenaga seadanya untuk meluapkan kejengkelannya, yang tentu saja tidak sampai mengenai Daffa. Hanya mendarat di atas lantai seberang ranjang.

"Ampun, Rei... Kamu bisa menghukumku saat kamu sudah sembuh nanti, Ok!" Teriakan Daffa diakhiri dengan bunyi dentuman pintu kamar yang tertutup.

"Arrgghhh... kenapa dia selalu saja suka membuatku jengkel setengah mati? Dari sekian banyak kain yang dia punya kenapa harus memilih sebuah sempak untuk mengompresku, hah? Grrr... dia pasti sengaja ingin mengerjaiku. Sialan, padahal baru saja aku terbuai dengan sikap manisnya. Pasti itu hanya akal-akalannya saja untuk menutupi kebusukannya." Reihan menggeram murka. Tapi hanya sebentar, sebab dia jadi senyum-senyum sendiri tidak jelas setelahnya.

"Aneh, mengapa aku nggak bisa membencinya meski aku tahu dia itu sangat licik dan pastinya jago berakting? Kadang perhatian, kadang menyebalkan, membuat emosiku naik-turun seperti sebuah roller coaster. Sungguh menegangkan dan penuh warna. Ah, aku malah jadi semakin tertarik untuk mengenalnya lebih jauh."

Pemuda itu langsung menggelengkan cepat kepalanya saat tersadar pikirannya mulai melantur.

"Buset... pikiran macam apa itu barusan, hah? Nggak, aku nggak mungkin tertarik padanya! Aku sudah punya pacar yang sangat aku cintai dan sedang menungguku pulang dengan setia. Aku nggak boleh memikirkan yang lain. Tapi... tapi kenapa susah sekali mengusir artis kampung itu dari pikiranku, hah? Oh sialan, bahkan kini bayangan wajah jeleknya hampir memenuhi seluruh isi otakku. Dasar artis keparat, sepertinya dia berhasil membuatku jadi nggak waras! Dhea, kumohon selamatkan pacarmu ini! Arrgghh..."

TBC

Bye-bye Rahadian, welcome Daffa. Semoga kalian terbiasa dengan panggilan baru itu kayak Bella aja gimana.

Seperti biasa aku tunggu vomentnya yah untuk mengukur minat dari cerita ini.

Thank you very much and have a nice day!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top