21 : Menebus Kesalahan

Sepanjang hari ini merupakan pengalaman terindah yang baru saja terukir dalam memori Reihan, bahkan lebih mengesankan dari segala kenangan bersama kekasihnya sendiri. Bagaimana tidak, Daffa memanjakan dirinya bak seorang putri, eh seorang pangeran maksudnya, yang selama ini tidak pernah Reihan dapatkan dari siapapun juga.

Aktor tampan itu dengan segenap kesabaran dan perhatiannya yang meluap-luap, menuruti semua keinginan Reihan apa pun yang dia mau. Mulai jadi sopir pribadi yang membawanya berkeliling mengunjungi berbagai objek wisata sampai mentraktir beragam makanan khas pulau dewata sesuai list yang sudah Reihan buat sebelumnya dari mbah google. Benar-benar pasangan yang sangat serasi dan klop. Yang satu berniat sepenuh hati menebus kesalahan sementara yang satunya lagi tak mau rugi alias aji mumpung.

Alih-alih merasa puas, Reihan juga diam-diam mengabadikan sosok sang superstar yang hanya mengenakan sehelai boxer hitam di ruang ganti sesuai pesanan kakak tercinta. Daffa yang kala itu tengah mengganti pakaian sebab kaos dan celana pendeknya basah setelah mereka berdua selesai berarung jeram di sungai Ayung Ubud siang tadi, sama sekali tidak menyadari jika pangeran hatinya sudah mencuri foto body mulusnya yang kekar dan sexy itu untuk dikomersilkan.

"Ah... lumayan nih, aku akan menukarnya dengan harga yang sangat mahal pada Kak Erlina. Hitung-hitung buat tambahan beli sepatu baru, hehehe..."

"Kenapa kamu jadi senyum-senyum sendiri seperti itu, Rei?" tegur Daffa yang langsung membuyarkan lamunan pemuda yang saat ini duduk di jok sebelahnya.

"Eh..." Reihan sedikit terkaget, "kita sudah sampai yah, Daff?" tanyanya setelah tersadar dari lamunan dan mendapati mobil yang dikemudikan Daffa sudah berhenti sejajar dengan mobil lain di sebuah area parkiran.

"Yup, kita sudah tiba di tujuan terakhir wisata kita hari ini, Rei."

"Ini tempat apa, Daff?" tanya Reihan sembari menoleh kesana-kemari, memandang ke luar menembus kaca mobil mencari petunjuk.

"Katanya tadi kamu mau beli oleh-oleh yang berbau Bali untuk kakakmu dan hmm..." Daffa berpikir sejenak untuk menyebut nama yang seketika membuatnya merasa malas, "mantan pacarmu itu..."

"Hush... jangan ngaco! Aku sama sekali nggak ada niatan putus dari Dhea," sanggah Reihan cepat.

"Ya setidaknya bukan sekarang, Rei. Tapi lambat laun kamu pasti akan segera meninggalkannya karena dia itu bukan cinta sejatimu," balas Daffa enteng dengan nada meremehkan.

"Hah? Kenapa kamu seyakin itu, kalau Dhea bukan cinta sejatiku, Daff?"

"Mau bukti?" tantang Daffa dengan tatapan mengunci sorot mata Reihan. Lalu jemarinya dengan gesit melepas sabuk pengaman sembari langsung merangsek cepat ke samping, menindih tubuh pemuda yang terkejut di sebelahnya.

"Eh... mau... mau apa kamu, Daff?" tanya Reihan medadak gugup saat wajah Daffa perlahan menurun memupus jarak dengan wajahnya. Semakin lama semakin dekat hingga dia mulai bisa merasakan hembusan nafas aktor tampan itu menyapu lembut kulit wajahnya.

Kemudian Daffa menggeser sedikit wajahnya agar bibirnya jatuh tepat di depan telinga Reihan. "Apa dalam keadaan seperti ini kamu masih bisa memikirkan kekasih nggak pentingmu itu, Rei?" bisiknya dengan suara berat dan sangat seductive. Kemudian jemarinya mengusap-usap lembut pipi Reihan, kemudian secara perlahan menyusur turun meraba-raba permukaan dadanya.

Reihan menelan ludah. Darahnya berdesir di setiap pergerakan kecil tubuh pemuda di atasnya yang menggesek tubuhnya. Tak ayal, detak jantungnya jadi ikutan menggila sebab Daffa sama sekali belum berniat menarik tubuhnya, terus menindih dan menyentuhnya dengan sorot mata yang makin intens menatapnya. Membuat otaknya mau tak mau terisi penuh oleh sosok pemuda penggoda iman di hadapannya itu, dan tidak meninggalkan celah barang sedikit pun untuk memikirkan yang lain.

"Aku... aku menyerah, Daff..." gumam Reihan pelan, tidak sanggup melawan kegugupannya yang semakin menjadi. Belum lagi adik kecilnya di bawah sana mendadak terusik tidurnya, saat tarian nakal jari-jari Daffa beralih membidik nipplenya yang tersembunyi di balik kain t-shirt yang dia kenakan.

Ah gawat, sepertinya Reihan bukan hanya tertarik secara emosional saja tapi tubuhnya juga mulai merespon positif setiap ransangan yang diberikan oleh Daffa. Dengan kata lain, dia menginginkan aktor tampan itu seutuhnya baik jiwa maupun raganya. Lalu bagaimana dengan nasib kekasihnya, yang dengan setia menunggu kepulangannya?

"Hahaha... I know it, Rei..." tawa Daffa meledak. Dia merasa sangat puas sebab dugaannya ternyata benar adanya meski Reihan tidak mengutarakannya secara verbal. Hanya dengan melihat gestur dan mimik wajah Reihan yang terlewat tegang barusan, Daffa yakin jika dia sudah memiliki tempat khusus di hatinya. Tinggal seberapa kerasnya dia berusaha saja untuk mendepak keluar Dhea dan memenangkan seutuhnya hati pemuda tengil itu.

Daffa lantas segera mengangkat badannya menjauh yang langsung membuat Reihan bernafas lega. "Yuk, kita segera turun, Rei. Hari sudah semakin sore, aku nggak mau menghabiskan waktu terlalu lama di sini. Aku masih harus kembali ke hotel untuk mempersiapkan kejutan dinner untukmu nanti."

"Ah, kamu mau memberiku kejutan apa lagi sih, Daff? Kamu nggak sedang merencanakan sesuatu yang aneh-aneh atau hendak mengerjaiku, kan?" tanya Reihan pesimis sambil melepas sabuk pengamannya. Dia masih trauma dengan kejutan super menyakitkan yang diterimanya semalam.

"Of course not, Rei. Trust me, you will like it," janji Daffa sambil tersenyum, menatap serius ke arah Reihan yang membalas dengan anggukkan lemah. "Ok, aku coba untuk percaya padamu kali ini, Daff. Please, jangan membuatku kecewa lagi."

"No, no... aku nggak akan pernah membiarkanmu sampai kecewa lagi, Rei. Cukup sekali saja aku menyakiti hatimu dan nggak akan ada yang kedua kali, ketiga atau seterusnya. Pokoknya mulai detik ini, aku janji akan selalu berusaha membuatmu bahagia. Kalau sampai ingkar, maka aku bersedia ditabrak..."

"Sssttt... hentikan, Daff," Reihan langsung membungkam mulut Daffa dengan tangannya. "Aku nggak mau kamu pakai sumpah-sumpah nggak jelas seperti itu. Kamu pikir jika sampai terjadi apa-apa denganmu, aku nggak bakalan sedih, gitu? Tapi sudahlah, lebih baik kita segera turun sekarang daripada kamu makin melantur nggak jelas seperti itu," lanjutnya mengomel seraya menurunkan tangannya.

"Oh, that's very sweet of you, Rei! Thanks yah, untuk perhatiannya my love. The one I love the most!" balas Daffa sambil mengerlingkan mata.

"Halah... gomballll..." cibir Reihan yang mau tak mau jadi senyum-senyum sendiri.

Kemudian mereka berdua segera turun dari mobil dan berjalan beriringan menuju pintu masuk kawasan wisata Pasar Seni Sukowati.

Setelah mengantar Reihan berbelanja bermacam-macam buah tangan mulai dari setelan bercorak ethnic, jepit rambut bermotif bunga kamboja sampai puluhan gantungan kunci bernuansa Bali, Daffa pamit sejenak untuk ke kamar mandi dan meminta Reihan menunggunya di dekat bangku panjang dari cor-coran semen di tengah kawasan pasar.

"Astaga, banyak sekali ternyata barang belanjaanku. Apa aku nggak terkesan memanfaatkan kebaikan si aktor jelek itu?" gumam Reihan pelan saat meletakkan banyak tas kresek putih berukuran jumbo yang semuanya berisi souvenir di atas bangku panjang di depannya. Aktor tampan itu tidak mengijinkan dia mengeluarkan uang sepeser pun untuk membayar barang belanjaannya.

Baru sebentar Reihan mendaratkan pantatnya di sisi kosong bangku panjang yang hampir penuh dengan barang belanjaannya, ponselnya mendadak berdering dari dalam kantong celananya.

"Iya, sayang..." buka Reihan setelah sebelumnya membaca nama pemanggil yang terpampang pada layar ponsel miliknya.

"Kamu di mana, Rei?" suara seorang wanita membalas di seberang.

"Aku sedang berada di Pasar Seni Sukowati nih, Dhe. Aku baru saja selesai berburu oleh-oleh buat kamu dan Kak Erlina. Jangan kaget yah, kalau nanti kamu dapat banyak barang dariku, hehehe..."

"Wow... asyikk! Thanks yah, sayang," sorak Dhea kegirangan. "Hmm... tapi uang sakumu jadi habis dong, untuk membeli oleh-oleh buatku dan Kak Erlina. Ah, seharusnya kamu nggak perlu melakukannya, Rei. Aku hanya perlu kamu cepat kembali ke Surabaya untuk menemuiku. Hal itu sudah lebih dari cukup bagiku meski kamu pulang dengan tangan kosong sekalipun."

"Tenang saja, sayang. Jangan sedih gitu, dong..." rujuk Reihan mencoba menghibur. "Asal kamu tahu, Dhe, uang sakuku masih utuh kok, karena semuanya bisa dibilang aku dapatkan secara gratis. Lagian dengan uang saku yang kubawa, rasa-rasanya juga nggak bakal cukup untuk membeli oleh-oleh sebanyak ini, hehehe..."

"Hah, yang benar saja, Rei? Bagaimana mungkin kamu mendapatkannya secara gratis? Apa barang-barang itu tiba-tiba jatuh dari langit? Atau... kamu nggak pakai cara yang aneh-aneh, kan?" tanya Dhea mulai penasaran.

"Nggak lah, sayang. Jadi gini ceritanya, ternyata selain makan malam dengan aktor idolamu itu, pihak sponsor juga menyediakan hadiah tambahan berupa uang tunai bagi para pemenangnya. Nah, dengan uang itulah aku bisa belanja oleh-oleh buat kalian," jawab Reihan mulai membual. Dia tidak mungkin berkata jujur jika Daffa yang membayar semua barang belanjaannya, yang takutnya malah membuat kekasihnya itu berpikiran aneh-aneh.

"Ow, begitu... baguslah," balas Dhea paham. "Anyway, kamu jadi pulang besok, kan? Kak Erlina tadi mengajakku untuk pergi bersama-sama menjemputmu ke bandara besok pagi."

"Iya, sayang. Aku jadi pulang be..."

Belum sempat Reihan menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba ponselnya terlepas dari genggamannya seperti ada maling yang menjambret dari samping. "Sayangnya, Reihan nggak jadi pulang besok. Dia masih akan tinggal selama tiga hari ke depan di Bali," ujar Daffa setelah ponsel Reihan berpindah pada tangannya.

"Daff, apa-apaan sih, kamu? Cepat, kembalikan ponselku!" bisik Reihan protes. Sementara Daffa hanya mengibas-ngibaskan tangannya mencegah Reihan mendekat.

"Lho, siapa ini?" tanya Dhea bingung karena suara lawan bicaranya mendadak berubah menjadi lebih berat.

"Oh, kamu masih belum bisa mengenaliku suaraku, padahal bukan sekali ini lho, kita mengobrol lewat telfon. Ah, kecewa deh jadinya dilupakan begitu cepat oleh seseorang yang katanya penggemar beratku," ucap Daffa pura-pura sedih.

"Ya ampun, ini Kak Rahadian, yah?" tanya Dhea antusias sedikit histeris. "Sorry yah, Kak! Aku nggak nyangka saja tiba-tiba Kak Rahadian yang ngobrol denganku. Habisnya Reihan nggak bilang kalau dia sedang pergi sama kakak."

"Sebenarnya aku nggak pergi bareng dia sih, Dhe. Tapi pacarmu itu yang selalu membuntutiku kemana-mana sampai sudah seperti bayanganku saja jadinya. Mungkin dia terlalu ngefans padaku kali," ucap Daffa santai sambil memainkan alisnya, mengejek ke arah Reihan.

Reihan melotot tidak terima. Saking jengkelnya, dia langsung menggigit lengan Daffa yang terus menghalaunya untuk mengambil balik ponsel miliknya.

"Awww..." pekik Daffa kesakitan.

"Kenapa, Kak?" tanya Dhea terkejut.

"Ada anjing liar tiba-tiba datang menggigit kakiku."

"Aduh, kok bisa sih, Kak?"

"Maklum lah Dhe, di Bali memang banyak anjing liar berkeliaran. Salah satunya sedang berada di dekatku sekarang," ucap Daffa sambil melirik ke arah pemuda yang asyik bersiul kecil tanpa rasa bersalah, membuat dirinya makin merasa gemas tak karuan.

"Parah nggak lukanya, Kak?" tanya Dhea prihatin. "Buruan diobati Kak, biar nggak infeksi. Biasa anjing liar gitu kan, membawa virus rabies."

"Ok, ok... thanks yah perhatiannya, Dhe. Sorry, aku tutup dulu yah telfonnya sekarang. Aku mau buat perhitungan sama anjing rabies nggak tahu diuntung itu sebelum dia kabur."

"Eh... tunggu, jangan ditutup dulu, Kak! Bisa tolong kembalikan telfonnya pada Reihan..." sela Dhea cepat.

"Tut... tut... tut..." Daffa langsung mematikan panggilan. Dia tidak mau membuang waktu melayani permintaan saingannya sendiri.

"Sial, kenapa kamu malah menggigitku, Rei? Sakit tau!" protes Daffa sambil meniup-niup lengannya yang mulai terasa panas dengan jejak gigi melingkar tercetak di permukaannya.

Reihan mengedikkan bahu cuek. "Sukurin! Salah sendiri, siapa suruh kamu berani merebut ponselku, Daff? Terus pakai bilang aku ngefans sama kamu segala di depan Dhea. Nanti kalau pacarku itu sampai berpikiran macam-macam gimana coba?"

"Itu urusanmu, Rei. Pokoknya sekarang sebagai hukuman karena kamu sudah menggigitku, kamu nggak boleh terima panggilan dari Dhea ketika bersamaku sampai dinner nanti malam." Daffa langsung menyimpan ponsel Reihan ke dalam kantong celananya. "Lagian baru ditinggal sebentar saja, kamu sudah ganjen nggak ketulungan, langsung main telfon-telfonan sama cewek nggak penting itu," lanjutnya mengomel pelan.

"Ohh... jadi itu permasalahannya, Daff? Kamu cemburu kalau aku ngobrol sama Dhea, iya?" Bukannya segera meminta kembali ponselnya, Reihan malah mencoba menggoda pemuda tampan di dekatnya itu.

"Iya, Reihan sayang. Butuh berapa kali aku bilang kalau aku nggak suka kamu mesra-mesraan sama pacar nggak pentingmu itu di depanku?" ungkap Daffa jujur sambil memencet hidung Reihan gemas.

"Aduh, sakit, Daff..." protes Reihan sambil menghalau jemari Daffa dari hidungnya, lalu sebuah senyum merekah pada bibirnya. Hatinya mendadak menghangat mendengar pengakuan jujur aktor tampan itu barusan. "Daff... sorry yah, kalau sudah menggigitmu barusan. Tanganmu masih sakit?" tanyanya mencoba bersimpati.

"Enak saja, hanya dengan kata maaf nggak akan menghilangkan sakit karena gigitanmu, Rei," omel Daffa gantian tidak terima.

"Terus aku harus berbuat apa, supaya kamu memaafkanku? Masa kamu mau balas menggigitku, Daff?"

"Tepat sekali!" sahut Daffa cepat. "Sekarang, ayo ulurkan tanganmu! Aku ingin kamu merasakan juga betapa sakitnya digigit oleh anjing liar."

"Astaga, Daff. Kamu pendendam amat sih jadi orang," cibir Reihan sambil mengulurkan tangannya setengah hati. "Nih..."

"Sekarang, tutup matamu!"

"Ya ileh... Daff, langsung gigit napa? Ngapain pakai tutup mata segala, sih?" protes Reihan.

"Sudah, jangan banyak protes! Ayo cepat tutup mata! Heran, susah amat nurut jadi orang!" timpal Daffa tidak mau kalah.

"Iyaaaaa... iya..." Reihan mengalah karena dia merasa bersalah.

"Satu... dua..." Daffa menghitung sambil jemarinya meraba-raba pergelangan tangan Reihan mencari spot yang pas, "tiga..."

"Aww..." Reihan memekik.

"Sial, belum juga aku menggigitmu, Rei..."

"Sorry, sorry... hehehe... Jangan kuat-kuat menggigitku yah, Daff," ujar Reihan cengengesan dengan kedua mata masih terpejam.

"Satu... dua..." Daffa mengulangi menghitung, "tiga... I love u, Rei," ucapnya sambil mengecup pipi kanan Reihan, sementara jemarinya melingkarkan sebuah gelang dari anyaman rotan pada pergelangan tangan pemuda itu.

"Hei... apa kamu sudah gila, Daff? Banyak orang kali di sini!" seru Reihan terkaget sambil langsung membuka kedua matanya dan menoleh kesana-kemari.

"Belum tentu juga mereka memerhatikan kita, Rei," balas Daffa santai.

"Wah, apa ini, Daff?" tanya Reihan setelah menyadari sebuah benda asing melingkari pergelangan tangannya. "Apa jangan-jangan barusan kamu pamit ke toilet itu sebenarnya hanya sekadar alasanmu untuk membeli gelang ini, Daff?" lanjutnya menyelidik.

"Hmm..." Daffa berdeham mengiyakan. Lalu mengangkat salah satu tangannya ke arah Reihan hendak pamer. "Lihat, aku belinya sepasang. Satu untukku dan satu untukmu, Rei."

"Dih... jangan bilang kalau kepanjangan dari D&R ini adalah Daffa dan Reihan," tanya Reihan kembali saat mendapati ukiran huruf pada sebuah plat kayu panjang di bagian tengah anyaman rotan berbentuk gelang itu. Huruf yang sama persis juga terukir pada gelang milik Daffa.

"Iya benar sekali kamu, Rei. Aku sengaja meminta penjualnya untuk mengukir inisial nama kita pada plat kayunya. Aku mau gelang ini menjadi simbol cinta kita. Jadi di saat kamu melihat huruf pada gelang ini kamu akan selalu teringat padaku, begitu juga sebaliknya."

"Oh, seperti itu yah... hmmpthh..." Reihan manggut-manggut sambil menahan tawa.

"Hei, apa ada yang lucu, Rei? Kenapa kamu malah sepertinya ingin menertawaiku?"

"Sorry... sorry, Daff. Kupikir cara menyatakan cinta ala bocah ingusan seperti ini hanya terjadi di film-film saja."

"Silahkan mengejek sesukamu, Rei. Kalau kamu nggak suka dengan gelangnya, sini kembalikan padaku saja..." ujar Daffa sedikit ngambek sambil berusaha meraih gelang pemberiannya yang dikenakan Reihan.

"Eits, no... no... barang yang sudah diberikan nggak bisa diminta kembali," balas Reihan sambil menepis tangan Daffa yang mencoba mendekat. "Lagian siapa bilang aku nggak berminat sama gelang ini. Aku suka kok, aku kan hanya menertawakan cara konyolmu bukan gelangnya, wekkk..." lanjutnya mengejek. "Anyway, thanks yah, Daff. I like it very much. I mean it."

"You're welcome, Reihan sayang," balas Daffa sambil tersenyum simpul.

"Hmm... ngomong-ngomong yah, Daff. Apa maksud perkataanmu pada Dhea kalau aku nggak jadi pulang besok? Kamu nggak berniat menahanku lebih lama lagi di sini, kan?" tanya Reihan mendadak teringat sesuatu.

"Oh... aku bilang seperti itu yah, tadi? Kok aku nggak merasa yah, Rei," elak Daffa pura-pura lupa ingatan.

"Aku nggak sedang bergurau, Daff!"

"Ayo, kita segera balik ke hotel, Rei! Hari sudah semakin gelap, nih," ajak Daffa mengganti topik. "Sini, aku bantu membawa barang belanjaanmu," lanjutnya sambil memberesi secepat kilat barang belanjaan Reihan yang tertata di atas bangku. Setelah semua berpindah pada tangannya, aktor tampan itu segera mengambil langkah seribu.

"Woii, Daff... jangan main kabur aja! Aku butuh penjelasanmu," teriak Reihan memanggil Daffa yang mempercepat langkah meninggalkannya.

"Nanti malam, kamu juga bakal tahu sendiri, Rei," teriak Daffa membalas tanpa menoleh.

"Sial, kenapa dia selalu bertindak seenak-udelnya sendiri seperti itu, sih? Tapi seandainya benar kalau aku masih harus tinggal selama tiga hari ke depan bersama aktor jelek itu, hmm...  sebenarnya hal itu bukanlah sebuah ide yang buruk. Yah, meskipun dia itu kadang menyebalkan dan semena-mena tapi entah kenapa waktu nggak akan pernah terasa cukup untuk dihabiskan bersamanya. Lagipula, dia sendiri sudah mengutarakannya di depan Dhea, jadi aku nggak perlu susah-susah cari alasan untuk membual. Tinggal nanti malam aku beritahu kelanjutannya gimana, apa besok aku jadi pulang atau nggak pada Dhea dan Kak Erlina. Beres deh!"

"Woii... Daff, tunggu aku!" panggil Reihan sambil berlari mengejar Daffa. Entah kenapa pemuda itu mendadak jadi bersemangat.

TBC

1 chapter lagi gaes. Sudah ada gambaran endingnya gimana?

Aku lagi rajin update, nggak ada salahnya kan minta voment yang banyak dari kalian.

Jadi vote chapter ini harus tembus 100 kalau mau tau akhir dari perjalanan kisah Reihan dan Daffa. Habis baca jangan malas-malas pencet tanda bintang di kiri bawah. Bikin yang nulis terhibur lah sekali-sekali karena ketika ada yang ngelike apa yang kutulis itu rasanya happy-happy gimana gitu, hehehe...

Sudah gitu aja.

Thanks and see you.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top