20 : Forgiveness

"Rei... Rei... bangun, yuk. Ayo pindah ke dalam kamar."

Reihan perlahan membuka mata saat merasakan goyangan pelan pada punggungnya. Dia mengerjap sebentar mengumpulkan kesadaran. Kepalanya terasa berat sekali hingga sekadar mengangkatnya pun dia merasa malas. Dengan pipi yang masih menempel pada permukaan sofa, dia melirikkan mata ke samping dan mendapati sesosok pria tengah menungguinya sambil berjongkok di atas lantai.

"Maaf, kalau sudah mengganggu tidurmu, Rei. Aku hanya nggak bisa membiarkanmu tidur di luar," ucap pemuda itu lagi sambil mengusap-usap lembut pucuk kepala Reihan.

"Apa kejadian barusan yang kualami hanyalah sebuah mimpi?" Reihan mulai berpikir sembari mengerjap-ngerjapkan mata. "Ah, bukan. Aku nggak sedang bermimpi. Hatiku masih terasa sakit, yang seharusnya menghilang ketika aku terbangun. Ironisnya, biang dari semua masalahku masih berani mendekatiku tanpa rasa bersalah sekarang. Apa sebenarnya maumu, Daff?"

"Ok, jika kamu tetap nggak mau bangun. Jangan salahkan aku melakukan hal ini, Rei."

"Eh... eh... mau ngapain kamu, Daff?" Reihan terkaget saat mendadak terselip sepasang lengan kokoh pada permukaan dada dan pahanya. Lalu tubuhnya terasa terangkat seraya sedikit diputar hingga wajahnya menghadap ke atas.

"Cepat, turunkan aku, Daff!" protes Reihan sambil meronta dalam dekapan pemuda yang dari tubuhnya menguarkan aroma alkohol bercampur asap rokok.

"Maaf, maaf, Rei. Aku nggak bermaksud membuatmu jadi nggak nyaman seperti ini. Aku hanya ingin kamu menemaniku tidur di kamarku. Aku..." ucap Daffa terhenti sambil menurunkan tubuh Reihan. Dia takut Reihan jatuh karena terus memberontak, jika dia memaksa tetap menggendongnya. Lalu dia menatap wajah pemuda yang cepat-cepat mengambil jarak setelah lepas dari dekapannya.

"Bisa tidak, kamu sekali-sekali nggak bersikap semena-mena dan memaksakan kehendakmu, hah?" tanya Reihan meradang. "Aku nggak mau tidur di kamarmu, Daff! Aku tidur di sofa saja sebagaimana perjanjian awal kita. Meskipun sofa ini nggak seempuk ranjang di kamarmu, tapi aku lebih nyaman tidur di sini karena seharusnya tempatku memang di sini. Terima kasih kamu sudah menyadarkan posisiku, Daff."

Daffa tersentak. Perkataan Reihan barusan menusuk hatinya dalam-dalam. "Maaf... aku benar-benar minta maaf, Rei..." lirih Daffa penuh penyesalan sambil menatap mengiba ke arah Reihan. Lalu dengan sedikit ragu, kakinya perlahan melangkah maju berniat memupus jarak di antara mereka.

"Stop! Jangan mendekat, Daff!" Reihan langsung memperingatkan dengan telunjuk teracung. "Atau aku akan pindah ke kamar Bella saat ini juga," lanjutnya serius dengan tatapan tajam sembari menahan rasa perih dalam hati. Reihan sebenarnya tidak tega tapi dia terpaksa harus bersikap kejam supaya hatinya tak tersakiti lagi.

Daffa langsung mundur beberapa langkah agak panik setelah mendengar ancaman Reihan. Pengaruh alkohol membuatnya sedikit parno dan ketakutan sendiri. "Jangan, jangan tinggalkan aku, Rei, please... Aku... aku nggak akan memaksamu tidur di kamarku. Kamu boleh tidur di mana saja asalkan kamu nggak pergi dari ruangan ini. Aku... aku nggak mau sendirian, Rei..." lirih Daffa memelas sambil menatap Reihan, membuat hati pemuda itu mulai goyah saat memandangi sosok pemuda yang biasanya digilai ribuan orang di luar sana, sekarang terlihat begitu menyedihkan. Kain kemeja mahal yang membalut tubuhnya tampak lusuh dengan beberapa kancing atas tidak berkait pada lubangnya. Lalu rambut yang biasanya selalu tersisir rapi kini tampak kusut dan acak-acakkan hingga beberapa helai poninya jatuh menutupi sebagian manik mata yang menyorotkan keputus-asaan.

Namun Reihan memutuskan untuk mengeraskan hati. Dia tidak mau memberi celah yang pada akhirnya malah menyakiti dirinya sendiri. "Sebaiknya kamu segera istirahat di kamarmu, Daff. Aku mau melanjutkan tidurku," ujarnya dingin sembari berjalan kembali menuju ke arah sofa. Sementara Daffa tetap bergeming tidak beranjak dari tempatnya, terus berdiri serta enggan melepaskan pandangannya pada Reihan barang sedetik pun.

Reihan cuek. Dia langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa. Lalu menyilakan lengan kirinya ke atas hingga punggung tangannya menutupi kening, sambil kemudian menutup rapat-rapat kedua matanya hendak melanjutkan tidurnya yang terusik barusan. Mulai detik itu, dia berjanji pada dirinya sendiri tidak akan mau tahu lagi dengan segala urusan yang menyangkut Daffa. Namun apa dia sanggup melakukannya sementara benih cinta sudah terlanjur bersemi dalam hatinya?

Tidak, nyatanya Reihan tidak sanggup. Tidak butuh waktu lama baginya untuk membuka kedua matanya dan bangkit terduduk di atas sofa. Batinnya sangat terusik hingga tak mampu melepas rohnya ke alam mimpi. Dia lantas menoleh sebal ke arah pemuda yang masih berdiri di perpotongan ruang tamu dan lorong kamar tidur.

"Mau sampai kapan kamu berdiri di sana, hah? Cepat kembali ke kamarmu, aku mau tidur!" usir Reihan ketus.

Daffa menggeleng. "Nggak, Rei. Aku mau di sini saja. Aku nggak mau ke kamarku. Kamu tidur saja biar aku berjaga di sini."

"Argghh... sial, kenapa kamu selalu bersikap menyebalkan seperti ini, hah? Bagaimana aku bisa tidur jika kamu terus berdiri di sana dan mengawasiku?" Reihan menggusak kasar rambutnya sedikit frustasi.

"Maaf, Rei. Aku terpaksa melakukannya. Aku takut jika aku tidur di kamarku kamu akan pergi meninggalkanku. Jadi lebih baik aku nggak tidur untuk memastikan kamu nggak akan kemana-mana."

"Ok, terserah! Sepertinya nggak ada gunanya berdebat denganmu. Lebih baik aku pindah ke kamar Bella sekarang daripada nggak bisa tidur di sini," pungkas Reihan sambil langsung bangkit berdiri.

"Jangan... Rei, jangan tinggalkan aku... kumohon... Rei..." racau Daffa memelas sambil menatap pemuda yang berjalan melewatinya menuju pintu keluar. Dia ingin mencegah namun takut Reihan makin marah dan membencinya.

Dalam diam, rasa bersalah bercampur panik terus merongrong batinnya tanpa ampun saat memandangi Reihan yang akan pergi meninggalkannya. Keringat dingin mulai membasahi kening dan kepalanya terasa memutar hebat hingga ototnya kakinya melemah kehilangan keseimbangan.

Langkah Reihan langsung terhenti di depan badan pintu keluar setelah indera pendengarannya menangkap dentuman keras seperti benda besar jatuh menghantam lantai dari balik punggungnya. Dia membalikkan badan cepat, mengurungkan niat untuk membuka pintu di depannya. Kemudian segera berlari sedikit panik menuju sumber suara. Emosinya menguap seketika saat mendapati Daffa terkapar di atas lantai. Dia lantas berjongkok lalu merangkak cepat di atas lantai mendekati kepala pemuda yang baru saja ambruk itu.

"Daff... Daff... kamu kenapa?" tanya Reihan khawatir sambil menepuk-nepuk pelan pipi Daffa. Perasaan bersalah mulai timbul dalam hatinya. "Daff... kumohon sadarlah..."

"Aku... baik-baik saja kok, Rei... Aku hanya kehilangan keseimbangan," gumam Daffa pelan dengan mata terpejam dan kepala masih bersandar pada lantai ruangan.

"Oh... syukurlah kamu masih sadar, Daff. Kamu benar-benar membuatku takut barusan," ucap Reihan lega sambil mengusap-usap lembut pipi pemuda yang terbujur di bawahnya.

Daffa membuka mata seraya dengan cepat menangkup erat punggung tangan Reihan yang menyentuh pipinya. "Kamu... kamu nggak akan pergi meninggalkanku kan, Rei?" tanya Daffa sedikit takut sambil menatap sendu lawan bicaranya.

Reihan menggeleng. "Nggak, aku nggak akan kemana-mana, Daff. Aku akan tidur di sini. Kamu nggak usah khawatir," ucapnya sembari menyibak rambut yang menutupi kening Daffa dan mengelusnya lembut dengan tangannya yang lain.

"Thank you, Rei... thank you so much..." balas Daffa berbinar sambil menciumi punggung tangan Reihan.

"It's ok, Daff," ucap Reihan sambil tersenyum simpul. Dia tidak tega hingga mengesampingkan sejenak sakit hatinya sebab kondisi Daffa terlihat sangat kacau sekarang. Reihan tidak mau sampai Daffa bertindak bodoh yang akan membuat dirinya menyesal telah meninggalkannya sendirian di saat pemuda itu kalut dan putus asa.

"Yuk, aku bantu kamu berdiri, Daff. Aku akan tidur di kamar menemanimu."

"Benarkah itu, Rei?" tanya Daffa setengah tak percaya. Dia sudah sangat senang mendapati Reihan tidak jadi pindah kamar, malah sekarang akan menaminya tidur di kamar. Astaga, Daffa jadi bahagia bukan kepalang dan sangat bersemangat.

Reihan mengangguk. "Ayo pelan-pelan berdirinya," ajaknya sambil merendahkan bahunya agar bisa mengalungkan lengan Daffa.

"Thank you yah, Rei..." balas Daffa pelan sambil menatap pemuda yang tengah memapahnya berjalan menuju kamar.

"Hmm..." Reihan berdeham tanpa menoleh. "Tapi bukan berarti aku sudah memaafkanmu, Daff..." lanjutnya sambil terus memandang ke depan, tidak membalas tatapan pemuda di sebelahnya.

Daffa termangu sambil memandangi wajah Reihan dari samping. Hatinya terasa perih seketika saat menyadari sudah terlalu dalam menyakiti perasaan pemuda itu. "It's ok, Rei. Semua butuh waktu. Aku bisa mengerti kok," ucapnya mahfum.

"Aku matikan dulu yah lampunya, Daff," ujar Reihan setelah menurunkan Daffa ke atas ranjang. Lalu berputar ke sisi lain ranjang untuk meraih panel lampu. Setelahnya, dia merebahkan tubuhnya hendak melanjutkan tidurnya.

"Rei..." panggil Daffa sambil memandangi pemuda yang tidur memunggunginya.

"Hmm..." gumam Reihan tanpa membalikkan badan.

"Boleh aku memelukmu sebentar?" lirih Daffa pelan.

Reihan menghela nafas panjang. Setengah dari hatinya marah namun setengahnya lagi tak tega. "Hmm..."

Dengan sedikit ragu, Daffa bergerak mendekati punggung Reihan sambil menyusupkan salah satu tangannya di bawah pinggangnya. Lalu perlahan memeluk pemuda itu dari belakang. "Maafkan aku, Rei..."

Reihan terhenyak kaget saat Daffa menempelkan dahinya di tengkuknya sambil terisak. Dia sama sekali tidak menyangka pemuda di belakangnya itu akan menangis sesenggukkan sembari terus meminta maaf padanya. Detik itu juga, Reihan menjadi tidak tega dan merasa kasihan.

"Sudah... sudah, Daff. Jangan terus meminta maaf," pinta Reihan seraya membalikkan badan cepat lalu membenamkan kepala Daffa ke atas dadanya. "Aku sudah memaafkanmu," lanjutnya sambil mengusap-usap lembut kepala Daffa yang masih terisak dalam pelukannya.

*********

Reihan terbangun sedikit kaget saat mendengar suara berisik perdebatan dua orang di luar kamar. Pemuda itu ketiduran semalam setelah mencoba menenangkan Daffa dalam pelukannya. Rasa nyaman dan tenang saat mendekap pemuda yang seharusnya dia benci itu ternyata berhasil membuainya ke alam mimpi. Mungkin, itu adalah pengalaman paling indah tidurnya yang baru dia rasakan pertama kali dalam hidupnya.

Setelah menguap dan meregangkan tangan sebentar, Reihan segera turun dari ranjang menuju pintu keluar kamar. Dia berhenti di depan badan pintu lalu merapat sambil memasang telinga baik-baik untuk mencuri dengar.

"No way! Yey boleh ngapain ajijah tapi jangan yang ini."

"Terserah! Dengan atau tanpa persetujuanmu, aku tetap akan melakukannya, Bel."

"Tapi Mas Daffa, ini bisa membahayakan karir Mas Daffa. Eike pokoknya tinta setuju dan eike harap Mas Daffa nurut kali ini!"

"Sorry, Bel. Keputusanku sudah bulat. Sekarang lebih baik kamu segera keluar dari kamarku. Aku nggak mau sampai Reihan mendengar percakapan kita."

"Hah? Sebenarnya mereka sedang membahas apa? Kenapa aku nggak boleh sampai tahu?" Reihan bertanya dalam hati sambil jemarinya memutar knob pintu kamar.

"Ada apa ini? Kenapa kalian ribut-ribut di pagi hari? Apa aku melewatkan sesuatu?" tanya Reihan sambil memandangi dua pria yang langsung mematung tanpa suara.

"Pagi, Rei..." sapa Daffa memecah keheningan yang baru saja tercipta sambil tersenyum manis ke arah Reihan. Pemuda itu sudah kembali tampak segar dan tampan seperti biasanya.

"Nah, pas yey sudah bangun. Ayo dong Mas ganteng bantu eike bujuk Mas Daffa..." Bella berjalan mendekat sambil langsung menggandeng genit lengan Reihan yang baru bangun tidur dan belum mandi.

"Eh? Maksudnya gimana, Bel? Aku pasti membantumu kalau aku bisa," balas Reihan sedikit bingung sekaligus berusaha menyanggupi permintaan pria yang sudah berulang kali menolongnya itu.

"Jadi gini Mas ganteng..."

"Stop!" Daffa memotong. "Kalau kamu masih sayang dengan pekerjaanmu, Bel. Silahkan, pintu keluarnya di sana!" lanjutnya bertitah pada asistennya.

"Ih, Mas Daffa selalu gitu deh sama eike. Selalu jahara dan semena-mena..." protes Bella sembari mendorong kesal lengan Reihan yang digandengnya hingga terlepas. "Ya udin, eike pamit dulu balik ke kamar," lanjutnya sambil berjalan meninggalkan Reihan yang tampak bingung.

"Lho, lho... Bel, kamu mau aku bantu apa? Jangan pergi dulu. Aku pasti berusaha membantumu."

"Nggak usah, nggak jadi! Eike nggak mau sampai dipecat jadi eike mau ngambek aja sekarang ceritanya!" balas Bella sambil terus berjalan tanpa menoleh, melewati pintu keluar yang baru saja dibukanya.

"Ah, sebenarnya ada apa sih ini? Bisa tolong kamu jelaskan padaku, Daff?"

"Nothing important, Rei," Daffa tersenyum seraya berjalan mendekati Reihan.

"Kamu nggak sedang menyembunyikan sesuatu dariku kan, Daff?" selidik Reihan sambil menatap curiga ke arah pemuda yang kini sudah berdiri tepat di depannya.

Sementara Daffa hanya tersenyum memandangi wajah penasaran Reihan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

"Apa yang sedang kamu rencanakan yang membuat dengan Bella nggak setuju dan aku nggak boleh sampai tahu?"

"Kalau kamu tahu nanti bukan surprise namanya, Rei," jawab Daffa masih dengan senyum mengembang di kedua belah bibirnya.

"Oh, kamu mau memberiku kejutan lagi seperti pertemuanmu dengan Marisca semalam? No thanks, Daff," sindir Reihan mendadak sakit hati teringat kejadian semalam.

"No, no... ini sama sekali nggak ada hubungannya dengan Marisca, Rei," sahut Daffa cepat sambil memegang lembut kedua bahu Reihan.

"Kalaupun Bella sampai mengatur pertemuanmu lagi dengan Marisca, aku nggak keberatan kok, Daff. Bella melakukannya pasti demi karirmu juga. Jangan menolaknya hanya karena kamu nggak ingin membuatku sakit hati. Kamu bebas pergi menemuinya tapi aku mohon satu hal padamu. Jangan membawaku turut serta dalam rencana kalian berdua."

"Hei... hei... sudah kubilang ini nggak ada hubungannya dengan Marisca? Kenapa kamu mendadak jadi sebawel ini? Ah, aku tahu! Kamu pasti sedang cemburu yah?" goda Daffa sambil tersenyum geli.

"Enak saja! Aku nggak sedang cemburu, ngerti! Aku cuma memberimu nasehat demi kebaikanmu sendiri. Kepedean banget jadi orang. Sudahlah, aku mau mandi saja sekarang," ujar Reihan sambil menurunkan paksa kedua tangan Daffa yang menggenggam bahunya. Kemudian memutar badan hendak berjalan ke arah kamar tidur.

"Eit... mau kemana kamu?" celetuk Daffa seraya merengkuh tubuh pemuda yang akan beranjak pergi dari belakang. "Cukup sekali saja aku mendapatkan maaf darimu, Rei. Aku janji nggak akan pernah membuatmu sakit hati lagi. Aku nggak mau sampai kamu menyesali kedatanganmu ke Bali untuk menemuiku. Sekali lagi, maafkan kekhilafanku semalam," lanjutnya serius sambil membenamkan kepalanya di perpotongan leher Reihan.

Reihan meremang dalam dekapan Daffa. Dia belum sepenuhnya bisa melupakan perbuatan pemuda itu. Sakit hatinya masih membekas walau tidak sesakit semalam. Namun dia memilih untuk belajar memaafkan sebab menyimpan benci malah akan membusukkan hati dan membuat segala sesuatunya menjadi pahit.

"It's ok, Daff. Aku sudah memaafkanmu dan sedang berusaha untuk nggak mengingat-ingat lagi kejadian semalam," ucap Reihan sembari mengelus-elus punggung tangan Daffa yang melingkari pinggangnya dari belakang.

"Thanks so much, Rei..." balas Daffa seraya memutar tubuh Reihan hingga menghadap ke arahnya. Setelahnya, menarik pelan kepala Reihan untuk dibenamkan ke permukaan dadanya. Lalu mengendusi pucuk kepala pemuda itu seolah sungguh-sungguh berterima kasih karena sudah memaafkannya sembari makin mempererat pelukannya.

Sementara Reihan tidak kuasa menolak karena tidak bisa memungkiri rasa nyaman dan damai yang langsung menyeruak memenuhi batinnya saat berada dalam dekapan Daffa. Kedua tangannya langsung menggapai punggung lebar pemuda di hadapannya untuk membalas pelukannya. Hatinya terasa menghangat seiring detak jantungnya yang mulai memompa cepat tak beraturan. Sekali lagi, Reihan membiarkan dirinya makin terperosok dalam jeratan cinta terlarang dengan sang superstar.

TBC

2 chapter lagi berakhir kisah mereka T_T

Kira-kira happy ending or sad ending yah?

Voment yah seperti biasa :)

Thanks and see you!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top