18 : PHP vs CLBK
Pertama-tama kedua telapak kaki menghentak bergantian di bawah meja, kemudian satu per satu jemari mengetuk permukaan meja seirama mengikuti derap kaki di bawah. Setelah itu mulut mulai bersenandung tanpa lirik dengan pandangan menghambur ke segala arah, menghindari tatapan pemerhati yang duduk tepat di hadapannya.
Reihan jadi salah tingkah sendiri dan mulai gelisah. Baru pertama kali ini baginya makan malam di pinggir pantai dengan suasana super romantis, namun sialnya hanya berdua dengan sesama pria, yang mungkin tidak pernah dia bayangkan sebelumnya bahkan dalam mimpi sekalipun. Dapat dibilang jika hanya dia seorang yang sejatinya berhasil menyabet the real grand prize dibanding ketiga pemenang resmi undian lainnya.
Entah hal itu adalah sebuah anugerah atau kutukan bagi Reihan, yang pasti dia tidak suka dengan suasana hatinya saat ini. Perasaannya campur aduk tidak karuan. Belum juga reda rasa penasaran pada karangan bunga tak bertuan di atas meja di dekatnya, tatapan intens Daffa yang seolah menguncinya dalam kesunyian sedari tadi, sungguh membuat kegugupan mau tak mau mendera batinnya hingga terasa awkward dan sama sekali tidak nyaman. Menit-menit bahkan terasa sangat lambat dilaluinya menunggu pesanan makanan yang tidak kunjung datang.
Sesekali Reihan mencuri pandang ke arah pemuda di hadapannya, yang selalu dibalas senyum kepedean andalannya dengan salah satu alis terangkat ketika pandangan mereka bertemu. Membuatnya langsung membuang muka ke arah lain sembari mengernyit jijik.
"Argghhh... aku benci suasana seperti ini! Ada apa sebenarnya dengan si artis kampung itu? Narsisnya sih masih tetap di tempatnya, nggak lari kemana-mana, tapi kenapa dia mendadak jadi pendiam dan aneh sekarang? Tumben banget, dia nggak mengeluarkan gombalannya yang norak dan nggak bermutu kayak biasanya? Sialan, kalau dia bungkam terus seperti ini, lama-lama bisa mati jantungan aku!"
Reihan tidak tahan. Detak jantungnya yang menggila terasa begitu menyiksa, hingga dia memutuskan untuk mengakhiri kecanggungan yang berkepanjangan di antara mereka berdua.
Biar kali ini Reihan yang ambil inisiatif terlebih dulu untuk membuka percakapan. Dia lantas menghentikan senandungnya, menghirup nafas dalam-dalam mencoba meredakan kegugupannya. Kemudian mengarahkan pandangannya lurus ke depan, menatap si biang kerok yang membuat suasana hatinya jadi carut-marut tidak menentu.
"Hei... artis jelek! Kamu kenapa sih, hah? Kok diam saja dari tadi?" tanyanya dengan nada mirip preman pasar.
Daffa tidak menjawab, hanya mengedikkan bahu clueless.
"Mulutmu sariawan?"
Daffa menggelengkan kepala.
"Kesedak biji kedongdong?"
Daffa menggeleng lagi sambil tersenyum hampir terkekeh.
"Atau hmm..." Reihan mencoba berpikir sejenak lalu melembutkan suaranya setelah teringat sesuatu. "Apa kamu sedang marah sama aku, Daff? Gara-gara tadi aku nggak sengaja menggandeng tangan kamu tiba-tiba."
Daffa langsung buru-buru melambaikan cepat kedua telapak tangannya ingin menepis anggapan Reihan barusan.
"Lalu kalau bukan, kenapa kamu mendiamkan aku seperti ini, Daff?" tanya Reihan kalem, mengubah mimik wajahnya menjadi sendu. Siapa tahu pemuda di hadapannya merasa kasihan dan mau membuka mulutnya.
Tapi ternyata Daffa masih saja mengatupkan rapat bibirnya dengan tatapan yang tak pernah lepas pada lawan bicaranya.
"Ok, Daff! Teruskan saja seperti itu," sahut Reihan mulai tak sabaran. Taktik memelasnya barusan ternyata tidak membuahkan hasil. "Sekalian saja kamu nggak usah ngomong sama aku seterusnya mulai malam ini," tambahnya sedikit sewot lalu membuang wajahnya cepat. Kegugupannya seketika menguap entah kemana dan berganti menjadi rasa jengkel dalam hati.
"Sebenarnya apa sih maunya si artis kampung itu? Mengajakku kemari cuma untuk dicuekin gitu?"
"Rei..." akhirnya Daffa buka suara, takut Reihan benar-benar marah.
Dan seperti yang bisa diduga, kali ini gantian Reihan yang ngambek. Dia membalas dengan diam seribu bahasa sambil memalingkan muka ke arah samping, terus memandangi bangunan kedai yang sepertinya jauh lebih menarik daripada wajah pemuda di depannya.
"Rei... jangan ngambek, dong," rayu Daffa sembari mengulurkan tangan untuk menggapai salah satu tangan Reihan yang terletak di atas meja.
"Apaan sih, Daff?" tanya Reihan sebal. Mau tidak mau pemuda itu menoleh sebab terusik oleh goyangan pelan yang tidak kunjung berhenti pada punggung tangannya. "Lepaskan tanganmu, jangan pegang-pegang, Daff! Kan, kamu sendiri yang bilang tadi kalau di sini banyak wartawan," imbuhnya menyindir seraya menarik cepat tangannya hingga terlepas.
"Kamu jangan marah dong, Rei. Aku kan cuma berusaha menuruti permintaanmu untuk nggak terlalu banyak ngomong. Demi menjadi pribadi yang lebih baik di depan matamu," tutur Daffa sambil menatap Reihan yang memasang wajah masam.
"Kamu berasal dari planet mana sih, hah? Bisa bahasa Indonesia, nggak? Nggak banyak ngomong itu bukan berarti bisu dan mencuekkanku, Daff!" sarkas Reihan jengkel.
"Oh, i see... Jadi kamu marah karena aku cuekin, nih?"
"Sudah tahu masih pakai nanya segala," balas Reihan sewot. Pemuda di depannya itu memang paling pintar membuat emosinya naik turun tidak jelas.
"Kamu nggak suka kalau aku tiba-tiba mendiamkanmu, Rei?"
"Hem..." Reihan berdeham malas.
"Dengan kata lain, kamu lebih suka mendengar gombalanku yang katamu murahan dan nggak bermutu itu, iya?" Daffa mencoba menggoda.
"Sialan, kesimpulan dari mana itu coba?" protes Reihan cepat tidak terima.
"Oh... sorry, berarti salah yah kesimpulanku barusan." Daffa manggut-manggut tanda paham. "Baiklah, aku akan diam lagi mulai sekarang kalau itu maumu, Rei."
"Sial, jangan mulai lagi donk, Daff!" Reihan buru-buru mencegah. "Ehmm... aku... aku lebih suka kamu yang.... hmm... norak kayak biasanya," lanjutnya ragu dengan suara memelan sedikit malu-malu kucing.
Daffa tersenyum puas mendengar perkataan Reihan yang entah kenapa membuat hatinya langsung berbunga. "Iya... iya, Reihan sayang. Aku janji akan selalu menjadi Daffa yang selalu perhatian dan nggak akan pernah mengabaikanmu. Kalau boleh jujur, aku pun merasa berat saat harus mendiamkanmu barusan, dan sungguh, aku nggak mau sampai harus mengulanginya lagi karena hal itu juga sangat menyiksaku. Tapi syukurlah, dengan kejadian ini aku bisa tahu jika perasaanku padamu nggak bertepuk sebelah tangan. Benar begitu kan, Tuan Reihan Adiguna?"
"Dih... lagi-lagi mengambil kesimpulan sendiri. Dasar kepedean!" cibir Reihan pelan.
"Kamu itu kenapa sih, Rei? Bilang iya aja susah amat, selalu menyangkal dan berkelit. Sekali-kali kek, buat hatiku senang dengan bilang kamu juga suka padaku."
"Kamu itu pikun atau apa sih, Daff? Kan, tadi aku sudah keceplosan ngomong gitu ke kamu."
"Yang tadi nggak masuk hitungan, Rei. Itu kan cuma reflek kamu mencegahku untuk diam. Lagian suara kamu bisik-bisik gitu, masih kenceng juga suara angin laut, mana bisa aku mendengarnya, coba? Jadi, ulangi lagi yang jelas dong sekarang, Reihan sayang..."
"No way!"
"Ayolah, Rei..."
"Nggak!"
"Sekali sajalah, Rei, ya... ya..."
"Aku bilang nggak, ya nggak!"
"Pleaseeee..." pinta Daffa memelas sembari membulatkan matanya mengiba.
"Duh... kamu itu yah bisanya merepotkanku saja!" Reihan akhirnya menyerah sebab tidak tega melihat wajah memelas si artis kampung. Dia lupa jika pemuda di hadapannya itu jago berakting. "Ok, kali ini aku turuti kemauanmu dan nggak akan pernah ada siaran ulang lagi, ngerti!"
"Yes! Gitu dong, Rei!" Daffa bersorak. "Ayo, ayo cepat ucapkan sekarang. Aku sudah nggak sabar mendengarnya?"
"Hmm... aku... " dengan setengah hati Reihan membuka mulutnya hendak meluncurkan kalimat keramat yang sangat dinanti oleh Daffa. Wajahnya seketika memerah menahan malu hingga membuat kepalanya celingukan ke sana kemari, tidak berani menatap wajah pemuda di hadapannya. "Aku... suka..." Reihan mendadak menghentikan kalimatnya. "Eh... lihat, Daff, makanannya sudah datang, tuh!" lanjutnya mendadak bersemangat saat mendapati seorang pelayan wanita datang membawa nampan berisi penuh makanan ke arah meja mereka.
"Syukurlah kamu datang tepat pada waktunya, Mbak!"
"Permisi, Mas..." Pelayan tersebut mulai memindah isi nampan yang dibawanya ke atas meja.
"Ah sial, kenapa pelayan itu harus pakai datang segala, sih? Susah payah aku mendapatkan kesempatan langka membuat Reihan mau mengakui perasaannya, sekarang malah jadi rusak semuanya." Daffa menggeram jengkel dalam hati sembari melayangkan tatapan membunuh ke arah wanita di depannya, yang tengah sibuk menata makanan di atas meja.
"Silahkan menikmati makan malamnya, Mas..." ucap pelayan itu ke arah Reihan setelah selesai menyajikan semua pesanannya di atas meja. Lalu dia menoleh ke arah Daffa sambil tersenyum ramah. "Kalau untuk pesanan Mas Rahadian mau dihidangkan sekarang atau nanti saja?"
"Hei... kenapa kamu bertanya lagi, sih? Apa instruksiku kurang jelas?" tanya Daffa jengkel. Dia masih terbawa emosi terhadap pelayan yang menganggu momennya bersama Reihan barusan. "Sudah, sebaiknya kamu segera pergi dari sini!"
"Oh... maaf yah, Mas Rahadian jika saya bertanya lagi. Saya hanya ingin memastikan saja. Kalau begitu saya pamit sekarang. Selamat menikmati hidangan makan malamnya."
Setelah pelayan itu undur diri dari hadapannya, Daffa langsung menatap Reihan kembali, hendak menagih lanjutan kalimat yang terpotong gegara kedatangan mbak-mbak sialan tadi.
"Rei... aku masih menunggu lho..." pancing Daffa.
"Menunggu apaan sih, Daff?" tanya Reihan sekenanya. Dia sedang tidak konsen melayani omongan pemuda di hadapannya. Dia lebih fokus memindai hamparan pelbagai masakan seafood yang menguarkan aroma harum dan menggugah selera di depannya. "Err... Daff, aku boleh langsung makan, kan?" tanyanya kemudian sedikit sungkan.
"Hem..." Daffa berdeham lesu mengiyakan. Dia sedikit merasa kecewa. Baru kali ini ada seorang yang lebih mementingkan makanan daripada dirinya. Padahal di luar sana banyak penggemarnya yang lebih memilih untuk menghabiskan waktu berdua dengannya daripada sekadar menikmati makan malam yang nggak terlalu elit sekelas Jimbaran.
Ah... tapi sudahlah, menyaksikan pemuda di depannya begitu bersemangat memindahkan nasi beserta lauknya ke dalam piringnya, sungguh sudah menjadi hiburan tersendiri bagi Daffa.
"Aku makan dulu yah, Daff... selamat makan!" ucap Reihan sambil mulai menyendokkan makanan ke dalam mulutnya. "Wahhh... enak banget, Daff. Clap... clap..." pujinya sumringah di tengah kunyahannya yang lahap.
"Pelan-pelan Rei, makannya... hati-hati jangan cepat-cepat. Nanti tersedak lho," nasehat Daffa sembari tersenyum memandangi pemuda yang seperti kelaparan tidak makan berhari-hari.
"Lho..." Reihan mendadak menghentikan kegiatan makannya saat mendapati Daffa senyum-senyum sendiri tengah mengamatinya. Lalu dia menghirup jus jambu merah lewat sedotan untuk membasahi tenggorokannya. "Kenapa kamu nggak makan, Daff? Katanya tadi kamu lapar banget atau... hmm... mau aku ambilkan?" tawar Reihan.
"Oh... nggak... nggak perlu, Rei. Aku bisa ambil sendiri nanti," tolak Daffa sambil tersenyum. "Anyway, thanks yah tawarannya."
"Oh... ok, Daff." Reihan manggut-manggut sembari kembali meneruskan kegiatan makannya. Kali ini dia ingin mencoba masakan kepiting jumbo yang katanya import itu. "Wah, mantap banget kepitingnya, Daff," seru Reihan antusias ketika daging kepiting lembut yang barusan dia congkel dari kulitnya yang keras berpindah ke dalam mulutnya. "Ayo kamu cobain donk, Daff. Kamu pasti suka," Reihan masih belum menyerah untuk mengajak aktor tampan itu ikut makan. Dia lantas menyendok salah satu capit kepiting yang gemuk dan memindahkan ke atas piring pemuda di hadapannya.
"Ah... thanks, Rei. Tapi maaf, bukannya aku nggak mau tapi aku alergi kepiting. Sekali lagi, sorry yah..."
"Oh... ok... ok..." Reihan mengangukkan-anggukkan kepala tanda paham.
"Bagaimana kalau ikan malas saja?"
Daffa menggeleng sambil menyilakan kedua tangannya tanda menolak.
"Kerapu... kerapu, Daff?"
"No thanks."
"Sotong... sotong?"
"Sudahlah, Rei... kamu nggak usah bingung dan sibuk memaksaku untuk makan. Kamu makanlah sendiri. Enjoy the food, Rei. Aku pasti akan mengambil sendiri nanti kalau aku berniat mengisi perutku. Tapi untuk saat ini, aku lebih suka mengawasimu makan."
"Ok, kalau begitu! Jangan salahkan aku kalau nanti lauknya habis."
"It's ok. Kan, aku bisa pesan lagi, hehehe..."
"Dih... sombong! Mentang-mentang yang duitnya banyak. Ya sudahlah, terserah kamu mau ngapain. Aku mau makan dulu yah..." pungkas Reihan tak mau ambil pusing sembari mulai memindahkan kembali lauk ke dalam piringnya. Nggak lupa dia juga menambah nasi putih di piringnya hingga hampir habis sebakul dimakannya sendiri.
"Tch... akhirnya dia datang juga," Daffa berdecak pelan seperti berbicara pada dirinya sendiri dengan nada sedikit cemas.
Kalimat tidak bersahabat yang terlontar barusan itu sampai juga ke telinga Reihan yang tengah asyik makan, membuatnya sontak mendongakkan kepala memandang Daffa yang ternyata tengah melempar pandangan jauh di belakang punggungnya. Lalu dia juga melambaikan tangan seolah memberi kode pada seseorang di kejauhan.
"Ah, ada apa sih sebenarnya ini?"
Dipenuhi rasa penasaran, Reihan segera memutar kepala mengikuti pandangan Daffa ke arah belakang punggungnya. Dia pun sedikit terkejut saat mendapati seorang gadis muda berparas cantik dan bertubuh ramping tengah berjalan anggun keluar dari kerumunan wartawan yang mendadak memenuhi pintu masuk bangunan kedai. Rambutnya yang panjang terurai dibiarkan meliuk-liuk dipermainkan angin malam makin menambah pesona eksotisnya. Membuat Reihan seketika mengagumi sosok wanita yang nyaris sempurna itu. Lalu dia terlihat membalas lambaian tangan Daffa seraya berjalan mendekat ke arah meja mereka.
"Astaga... itu kan Marisca Diandra!" Reihan sekarang bisa mengenali wajahnya saat jarak gadis cantik itu makin dekat. "Mau apa dia kemari? Apa dia sengaja berniat menyakiti hati Daffa atau... atau jangan-jangan... arghh..." seketika rasa kagumnya lenyap berganti menjadi kegundahan saat memikirkan kemungkinan-kemungkinan tujuan kemunculan aktris papan atas itu.
Reihan yang mulai merasa tidak nyaman, menoleh ke arah Daffa yang ternyata masih mengunci pandangannya ke arah mantan kekasihnya yang tengah berjalan mendekat. "Apa sebenarnya kamu tahu kalau dia akan datang, Daff?" tanyanya mencari sebuah kepastian.
"Hemm..." Daffa berdeham mengiyakan. "Sebaiknya sekarang kamu pindah duduk di sebelahku, Rei..." lanjutnya lagi tanpa menoleh sedikit pun.
Tanpa bertanya alasannya, Reihan langsung bangkit berdiri dari duduknya menuruti kemauan Daffa. Hatinya seketika merasa kecewa saat tersadar akan suatu hal.
"Hai... Fa. Maaf yah, kalau sudah membuatmu menunggu lama." Marisca menyapa lembut saat sampai di depan meja makan. "Aku duduk di sini, yah?" tanyanya sopan yang hanya dibalas anggukkan kepala oleh pemuda di depannya.
"Kamu temannya Fafa, yah?" tanya Marisca saat mendapati seorang pemuda asing yang duduk di sebelah mantan kekasihnya.
"I-iya..." jawab Reihan sedikit kikuk. "Ow, ternyata panggilan kesayangan Daffa itu Fafa. Imut banget namanya kayak nama cewek. Nanti aku ledekin ah, si artis kampung itu, hihihi..."
"Oh... nama kamu siapa? Aku Marisca Diandra..." Gadis cantik itu mengulurkan tangannya yang segera disambut oleh Reihan. "Namaku Reihan Adiguna. Tapi kamu bisa memanggilku Rei saja."
"Baiklah, Rei. Senang berkenalan denganmu," ucap Marisca lembut seraya melepas jabat tangannya.
"Sama-sama, Marisca..."
"Panggil aku Caca saja biar lebih akrab."
"Oh... ok, Ca," balas Reihan masih kikuk. Perasaanya mendadak jadi campur aduk tak karuan. Gadis itu terlihat baik dan tidak sombong tapi kenapa dia merasa sangat tidak nyaman akan kehadirannya.
"Bagaimana kabarmu, Fa?" tanya Marisca sambil mengalihkan pandangannya ke arah pemuda yang duduk tepat di depannya.
"Seperti kamu lihat sendiri kan, aku baik-baik saja!" jawab Daffa penuh penekanan dan tidak bersahabat.
"Kamu sudah makan?" tanya Marisca saat mendapati piring Daffa masih bersih, hanya ada sebuah capit kepiting gemuk yang tidak tersentuh.
"Kamu nggak usah pura-pura perhatian padaku. Tujuanmu kemari cuma untuk mempertahankan popularitasmu, kan?" serang Daffa sedikit ketus.
"Aku nggak sedang pura-pura, Fa. Aku datang jauh-jauh dari Jakarta menyusulmu kemari karena aku beneran perhatian sama kamu. Aku ingin memastikan keadaanmu baik-baik saja. Lagian, bukannya aku mau sombong, dengan atau tanpamu popularitasku nggak bakal semudah itu meredup, Fa."
"Ok, kamu sudah lihat kan, kalau aku baik-baik saja. Sekarang, sebaiknya kamu segera pergi dari tempat ini!"
"Apa itu yang kamu mau, Fa?" tanyanya memastikan seraya menatap lekat kedua mata Daffa. "Baiklah, aku akan pergi sekarang. Selamat tinggal, Fa." Marisca segera bangkit berdiri serta memundurkan kursinya hendak berjalan pergi. Namun dengan gesit tangan Daffa menggenggam pergelangan tangannya, mencekalnya untuk meninggalkan tempat itu. "Jangan pergi, Ca. Please, stay! Temani aku malam ini."
Marisca menganggukkan kepala sambil tersenyum. Lalu kembali meletakkan pantatnya di atas kursi.
"Ini untukmu, sebagai permintaan maafku," ucap Daffa terkesan tulus.
"Ya ampun Fafa, kamu masih saja ingat bunga kesukaanku," pekik Marisca sedikit terharu saat tangan Daffa menyodorkan seikat karangan bunga lily putih yang diambilnya dari sudut meja ke arahnya. "Kamu memang nggak pernah berubah, Fafa. Selalu saja romantis seperti ini."
"Ah, ternyata bunga itu dipersiapkan untuk Marisca. Jadi semua ini memang sengaja Daffa persiapkan hanya untuk mantan kekasihnya itu. Sial, ternyata sedari tadi aku ke-geeran sendiri." Reihan menghela nafas dari rongga dadanya yang mendadak terasa sesak.
"Ca..." panggil Daffa pelan.
"Iya, Fa?"
"Hmm... apa kamu nggak ingin mempertimbangkan lagi putus dariku, Ca?" tanya Daffa sedikit berharap seiring moodnya yang mulai membaik.
"Jangan mulai membahas lagi hal itu, Fa. Kamu sudah tahu jawabannya apa. Jadi, lebih baik kita nikmati saja pertemuan kita malam ini yang entah kapan bisa terjadi lagi," balas Marisca sambil menatap wajah Daffa sekilas. Lalu dia buru-buru mengalihkan pandangan saat kedua mata mereka bertemu. "Ayo buruan makan, Fa! Jangan ngeliatin aku terus kayak gitu! Nanti keburu dingin lho makanannya," lanjutnya mengingatkan jika di meja masih banyak lauk yang tersisa sebab Reihan sudah kehilangan selera makannya.
"Tenang saja, Ca, hal itu nggak bakalan terjadi dalam kamusku. Masa aku mau menghidangkan makanan sisa pada orang yang paling aku cintai. Nggak mungkin lah..." ucap Daffa sambil melambaikan tangan ke arah pelayan untuk segera mengeluarkan pesanannya.
"Astaga, Fafa! Kamu itu bener-bener, yah. Sampai makanan favoritku disini pun kamu masih mengingatnya," seru Marisca takjub sewaktu seorang pelayan datang menghidangkan udang gala bakar saus madu dan kerang batik saus menega ke atas meja.
Lalu gadis cantik itu segera membersihkan tangannya dengan antiseptic yang selalu dia bawa dalam hand bagnya. Kemudian mengambil beberapa ekor udang gala untuk dikupasnya memakai jemarinya yang lentik. Dia bahkan tidak takut kukunya yang berkuteks pink rusak. Setelahnya, dia memindahkan udang yang sudah siap makan itu ke atas piring Daffa.
"Kamu nggak suka kerang, kan. Jadi makan kepiting saja, yah. Sini aku kupasin capit kepiting di piringmu itu, Fa."
Daffa lantas membiarkan Marisca mengambil capit kepiting di piringnya. Pemuda itu sangat suka kepiting tapi dia terlalu malas untuk mengupas kulitnya. Ribet dan merepotkan baginya. Sayangnya, Reihan tidak tahu alasan sebenarnya dan menganggap Daffa mau memakannya hanya karena rasa cintanya yang terlalu besar pada Marisca hingga tidak sanggup menolak tawarannya, meski dia alergi sekali pun.
"Eh, kamu sendiri kenapa nggak makan, Ca? Kok, malah jadi sibuk melayani aku. Ayo, kamu juga makan donk. Sini, kamu mau aku ambilin apa?"
"Nggak usah, Fa. Aku bisa ambil sendiri nanti. Kamu tenang saja dan tinggal terima beres saja. Sekarang, aku mau sekalian mengotori tanganku dulu," jawab Marisca sambil tersenyum, mengingatkan Daffa tentang kebiasaan gadis itu pada saat dinner di tempat itu semasa mereka pacaran dulu.
"Thanks yah, Ca..."
"Sama-sama..." ucap Marisca sembari melanjutkan kegiatan kupas-mengupas udang dan kepiting, yang sebagian besar dia tumpahkan ke atas piring mantan kekasihnya. Pantas saja Daffa sampai kepincut mati-matian terhadap gadis itu. Selain fisiknya yang nyaris sempurna, dia juga pintar membawa diri serta telaten melayani dirinya.
"Mereka berdua benar-benar terlihat serasi. Sama-sama cakep dan terkenal. Sementara aku..." dada Reihan makin menyesak, menyaksikan dua orang yang terlihat mesra di hadapannya. Dia merasa terabaikan dan sendiri. Rasa mindernya kembali menyeruak, membuatnya merasa tidak pantas berada di sana. Dia ingin cepat-cepat kabur dari tempat itu.
"Aku... mau ke toilet dulu."
"Oh, ok..." balas Daffa sambil menoleh sekilas, kemudian mengarahkan kembali pandangannya ke arah gadis cantik yang duduk di hadapannya. Lalu larut dalam obrolan dan tawa menciptakan dunianya sendiri, yang membuat Reihan merasa makin tersisihkan.
Dengan cepat dan sedikit gegabah, Reihan bangkit berdiri. Lututnya terantuk bagian bawah meja saat dia menarik cepat kakinya keluar dari kursi, membuat segelas jus jeruk yang belum sempat diminum Daffa tumpah mengenai celana aktor tampan itu.
"Argghh... sial, apa yang kamu lakukan, Rei?" sentak Daffa emosi bercampur kaget saat mendadak cairan dingin mengenai pahanya.
"So.. sorry Daff..." ucap Reihan pelan merasa tak enak.
"Kenapa kamu ceroboh banget, hah? Kamu tahu harga celanaku ini berapa?"
"Sudah... sudah, Fa. Temanmu itu pasti nggak sengaja. Kenapa kamu harus marah-marah seperti itu, sih?" potong Marisca mencoba menengahi.
"Sial, jadi kotor kan celanaku!" Daffa masih saja mengomel. Semburat noda kuning kini menghiasi celana bahan berwarna coklat muda miliknya.
Reihan terpekur sejenak. Dia sangat kaget dengan perubahan sikap Daffa yang kembali jadi temperamental seperti saat mereka pertama kali bertemu.
"Sekali lagi aku minta maaf, Daff..." ucapnya sambil bergegas meninggalkan tempat itu. Dia tidak kuat lama-lama berada di sana. Dadanya menyesak hingga membuatnya susah bernafas. Dia seperti tidak mengenali Daffa lagi dan itu membuat hatinya terasa sakit.
TBC
Dengan terbitnya part ini, maka cerita ini statusnya menjadi ON HOLD sama seperti Bukan Cinta Monyet, Cinta yang Rumit, dan What is Love.
Kenapa?
Karena aku nggak punya banyak waktu luang buat nulis. Jadi aku putuskan akan fokus update ke satu cerita saja dulu yaitu:
....
Sudah tahu sendiri kan jawabannya.
Jangan lupa voment buat yang sudah mampir ke sini. Siapa tahu kalau masih banyak peminat, cerita ini akan menjadi yang ku update terus setelah cerita satunya kelar.
Thanks semua and see you!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top