13. Sebuah Rasa
Dengan bersungut-sungut, Reihan terpaksa turun mobil untuk pindah ke depan menuruti kemauan si tuan besar. Dia menjatuhkan malas pantatnya ke atas jok kosong di sebelah pengemudi, lalu kuat-kuat menarik daun pintu hingga berdentum keras saat tertutup saking jengkelnya.
"Woii... Rei, bisa nggak pelan sedikit menutup pintunya? Kamu pikir ini angkot apa? Kalau kamu sedang marah padaku jangan lampiaskan pada mobil sewaan yang nggak bersalah ini, Rei. Nanti kalau sampai rusak, apa kamu mau mengganti pintunya?" Daffa mengomel panjang lebar seraya melempar tatapan mengadili pada pemuda di sebelahnya.
Sementara Reihan yang duduk dengan punggung mengendur sama sekali tak menghiraukan kicauan pria yang terus memandanginya sedari tadi. Dia bahkan merasa enggan untuk menoleh, sekadar membalas tatapannya. Dia masih tetap bungkam sambil melayangkan pandangan ke mana saja asal bukan ke arah sumber kejengkelan hatinya.
Kesabaran Daffa mulai menipis. Lama-lama dia tak tahan juga dengan tingkah Reihan yang makin menyebalkan. Dia sudah minta maaf tapi sama sekali tidak digubris. Apa perlu sampai mencium kaki pemuda tengil itu agar tidak terus mendiamkannya? Enak saja, dipikirnya dia itu siapa?
Di luaran sana, terdapat ribuan bahkan mungkin jutaan orang yang memimpikan bisa duduk semobil dengan artis tenar sekelasnya, apalagi dia sendiri pula yang menjadi sopir pribadinya. Sementara Reihan sungguh sangat beruntung memperoleh kesempatan langka tersebut, yang mungkin bagi para penggemarnya sampai ajal menjemput pun belum tentu bisa terwujud. Tapi kenapa lagaknya begitu sombong dan jual mahalnya selangit?
"Sial, coba saja kalau bukan karena aku tertarik padanya, mungkin sedari tadi sudah kubuang bocah tengik itu di tengah semak belukar biar tahu rasa!"
Namun, lagi-lagi Daffa memutuskan untuk mengalah. Dia menghela nafas panjang agar dapat menguasai diri. Dia tidak mau sampai merusak acara jalan-jalan bersama pemuda yang disukainya itu akibat saling mementingkan ego masing-masing. Terlebih Daffa juga pernah berjanji pada Reihan akan membuat liburannya berkesan sehingga tidak akan menyesali keputusannya pergi ke Bali menemuinya.
"Sebenarnya kamu itu marah kenapa sih, Rei?" tanya Daffa lembut berniat merajuk. "Maaf yah, kalau aku ada salah," lanjutnya lagi sambil mengulurkan tangannya hendak meraih kepala Reihan.
"Jangan sentuh aku, Daff!" sergah Reihan dingin sambil menepis tangan Daffa dramatis, persis kayak adegan di sinetron-sinetron. "Kamu... jahat!"
Kening Daffa langsung mengernyit heran. Kenapa Reihan mendadak berubah jadi alay seperti ini sekarang? Tapi it's ok, se-alay apapun pemuda disampingnya itu, dia tetap bersedia menerima apa adanya.
Daffa segera melepas sabuk pengamannya. Mendadak terbesit di otaknya ide gila untuk menaklukkan singa buas di sebelahnya. Jika kekuatan kata-kata sudah tak mempan lagi, mungkin serangan psikis patut dicoba. Dengan cepat, Daffa memutar tubuhnya, lalu merangsek menyeberangi persneleng mobil untuk mendekap tubuh pemuda yang tampak terkaget dengan tindakan agresifnya.
Saat ini, Reihan tidak bisa berbuat banyak untuk memberontak akibat tertindih badan kekar pria di atasnya. Kemudian, Daffa mulai mengusap lembut pipinya sambil menyibakkan beberapa helai poni yang jatuh menutupi pandangan. Dia berniat menunjukkan kesungguhan hatinya pada pemuda yang tengah dihimpitnya, dari setiap sorot mata yang menatapnya lekat. Daffa ingin menyerang kelemahan Reihan. Dan benar saja, tidak butuh waktu lama bagi Daffa untuk membuat pemuda itu luluh.
Bahkan kali ini, Reihan seperti tidak lagi munafik dan memilih untuk pasrah mengikuti kehendak pria yang berhasil menguasainya. Dia memejamkan kedua matanya perlahan dan berharap tidak dipermainkan lagi seperti kejadian di meja makan pagi tadi. Wajahnya mulai merona merah seiring debaran kencang jantungnya, saat menanti bibir Daffa yang tak lama lagi akan bersatu dengan miliknya.
Sementara Daffa merasa begitu gugup saat memajukan wajahnya ragu, hendak menjemput bibir Reihan yang terlihat sangat menggoda. Entah kenapa dia mendadak berubah menjadi seperti amatiran saat kedua matanya menangkap raut pasrah wajah Reihan yang memerah. Sudah ratusan kali dia melakukan adegan ciuman baik sekadar berakting ataupun dengan para wanita panggilan yang pernah dikencaninya. Tapi kenapa baru sekarang jantungnya berdegub luar biasa kencangnya, bahkan lebih kencang dari ciuman pertamanya dengan Marisca?
Daffa tidak bisa berpikir jernih. Badannya sesekali menggigil. Dia tidak menyangka akan jadi seperti ini. Perlahan dia mengatur nafasnya yang memburu, sambil menangkup kedua sisi pipi Reihan dengan jemarinya yang sedikit gemetaran.
Tidak seperti biasanya, Daffa menutup kedua matanya sebelum memulai sebuah ciuman demi mengurangi rasa gugup yang menderanya hebat. Lalu dengan segenap kekuatan yang ada, Daffa mendaratkan bibirnya pada bibir Reihan. Hanya saling menempel satu sama lain pada awalnya. Namun saat kegugupan telah berubah menjadi nikmat, kedua insan yang sedang dimabuk asmara telarang itu pun mulai bernafsu. Bibir mereka saling melumat satu sama lain dengan liarnya. Tak ada lagi logika dan moral dalam benak dua sejoli yang kini sudah terbakar panasnya api gairah.
Saat Daffa mencoba menyingkap kaos yang dikenakan Reihan, mendadak sebuah tamparan mendarat telak pada pipinya. Lumayan keras hingga cukup untuk membuatnya sadar.
"Woiii monyet, mau sampai kapan kamu terus memandangiku, hah?"
Daffa spontan memegangi pipinya yang terasa memanas. Astaga, ternyata adegan barusan itu hanya merupakan fantasinya saja? Pantas saja Reihan tidak begitu sulit ditaklukkan seperti biasanya. Tapi bukan Daffa namanya kalau dia tidak mencoba merealisasikan imajinasi liarnya itu.
"Aw..." belum apa-apa Daffa sudah mengaduh saat sebuah toyoran kembali mendarat pada belakang kepalanya. "Ayo, cepat jalankan mobilnya, bego! Kok malah pakai buka sabuk pengaman segala sekarang? Memangnya kamu mau kemana, hah?"
"Iya... iya..." Daffa menurut sambil memasang kembali sabuk pengamannya lalu segera melajukan mobil kembali ke tengah jalan yang masih terlihat sepi. Dia malas membantah, tidak ingin memperkeruh suasana sebab mood Reihan terlihat masih belum sepenuhnya membaik. Yang ada mereka berdua malah berpotensi terlibat adu fisik, saling jotos-jotosan di dalam mobil. Wah, jadi mobil goyang versi hardcore donk!
Tapi tunggu sebentar, jika Reihan barusan sudah bisa mengomeli dirinya lagi berarti masa ngambek pemuda itu juga telah lewat. Yes! Daffa jadi senyum-senyum sendiri sekarang.
"Rei, kamu sudah nggak marah lagi kan, sekarang?"
"Siapa bilang?" Reihan kembali memandang lurus ke depan, tidak ingin menatap lawan bicaranya.
"Lho, barusan kamu sudah mau ngomong lagi sama aku meski cuma marah-marah isinya. Tapi itu jauh lebih baik daripada aku kamu diamkan terus. Hal itu sangat menyiksaku, Rei."
"Yah, barusan sih, karena terpaksa. Habisnya kamu senyum-senyum sendiri nggak jelas sambil memandangiku terus. Aku kan jadi takut kamu kesambet, Daff."
"Yah, kalau aku kesurupan tinggal kamu tendang saja aku di jalan, lalu kamu tinggal. Beres kan, Rei."
Reihan menoleh cepat. "Hush, jangan ngaco! Meskipun aku membencimu tadi aku nggak sejahat itu. Bagaimanapun juga kalau nggak ada kamu malam itu, belum tentu aku bisa duduk di sebelahmu sekarang, Daff."
"Astaga, kamu nggak sedang menggombal kan, Rei?" tanya Daffa terkagum.
"Hah?" Reihan memutar bola mata. "Memang ada yah kata-kataku barusan yang memuji atau merayumu?"
"Ehmm... nggak ada kayaknya," sahut Daffa enteng sembari fokus menyetir.
"Lalu darimana kamu bisa menuduhku sedang menggombal?" tanya Reihan sedikit bingung.
"Entahlah, aku juga nggak ngerti. Tapi yang pasti ucapanmu tadi membuat hatiku langsung menghangat, Rei. Thanks, yah!" jawab Daffa dengan senyuman lebar sambil menoleh sekilas lalu mengulurkan tangannya.
"Hemm..." Reihan mengangguk lalu mendadak terkaget saat sebuah benda asing mendekati kepalanya. "Eh, mau ngapain kamu, hah?"
"Mau mengusap kepalamu, Rei. Kan katanya kamu suka asal jangan lama-lama biar nggak kaya anjing!"
"Cepat, tarik tanganmu, Daff! Atau mau aku patahkan, hah?" sergah Reihan seraya memukul kasar punggung tangan Daffa.
"Iya... iya... galak amat sih, Rei," gerutu Daffa sembari menarik tangannya kembali.
"Lagian siapa bilang aku sudah nggak marah sama kamu, Daff? Jadi jangan coba-coba merusak moodku dengan tingkahmu yang aneh-aneh, Ok!"
"Iya, iya, sorry. Engg... tapi kalau boleh tahu sebenarnya apa sih salahku? Sampai-sampai susah sekali sepertinya kamu memaafkanku, Rei?"
"Kenapa tadi kamu turunkan Aryo di pinggir jalan lalu kamu tinggal begitu saja, Daff?" tanya Reihan datar sambil menoleh ke arah Daffa yang membalasnya dengan kedikkan bahu cuek. "Demi Tuhan, Daff! Dia itu temanmu, bukan barang yang bisa kamu buang begitu saja di jalanan! Nggak berperasaan banget sih kamu itu jadi orang!" Reihan kembali mulai jengkel.
"Bukannya itu yang kamu mau, Rei?" balas Daffa enteng tanpa menoleh, tetap memandang lurus ke arah jalan raya di depan.
"Hah?" Kening Reihan mengernyit heran. Dia sama sekali tidak habis pikir kenapa Daffa malah balik menuduhnya sekarang.
"Kamu nggak usah pura-pura bingung seperti itu, Rei. Aku tahu kamu sengaja membuatku panas dengan mengajak Aryo mengobrol dan mengabaikanku. Kamu dendam kan, karena aku sudah mengajak Aryo tanpa memberitahumu terlebih dulu sebelumnya."
"Pikiran gila dari mana itu, Daff?" sanggah Reihan tidak terima. "Aku sama sekali nggak keberatan kamu mengajak Aryo ikut. Dia itu baik, rendah hati dan enak diajak ngobrol. Yang aku permasalahkan itu kenapa kamu sampai tega meninggalkannya di tengah jalan. Apa kamu nggak merasa kasihan padanya?" sengit Reihan makin jengkel.
"Ck... ck... hebat!" sindir Daffa sambil menggeleng-gelengkan kepala takjub. "Kamu baru mengenalnya beberapa jam saja tapi sudah bisa langsung memuji-mujinya seperti itu! Apa kamu suka sama Aryo, hah?" tuduh Daffa sambil menoleh tajam ke arah Reihan.
"Jangan mengalihkan pembicaraan, Daff! Kamu tahu jika aku bukan penyuka sesama jenis. Aku nggak tertarik pada pria, ngerti!" desis Reihan tersinggung.
"Lalu kenapa kamu ngotot membelanya? Jelas-jelas orangnya sudah nggak ada di sini tapi kamu terus membicarakannya. Kenapa? Kamu sudah kangen?" tantang Daffa dengan suara meninggi. "Ok, kita kembali sekarang untuk menjemput Aryo kesayanganmu itu!" Daffa langsung mendadak membanting setir melawan arah, hendak memutar balik mobilnya.
"Hentikan, Daff!" teriak Reihan kesal sambil menarik kuat setir yang dikendalikan Daffa, membuat mobil oleng hingga turun ke bahu jalan. Untungnya Daffa dengan sigap menginjak rem untuk menghentikan mobil yang kurang sedikit saja jatuh ke dalam rawa-rawa di sepanjang pinggiran jalan raya.
Suasana menjadi tegang. Hanya terdengar desahan nafas yang bersautan saling meredam emosi.
"Lebih baik antarkan aku kembali ke hotel sekarang, Daff."
"Demi Tuhan, Rei! Apa hanya gara-gara aku menurunkan Aryo di pinggir jalan tadi kamu sudah langsung ingin meninggalkanku?" Daffa protes tidak terima sambil menatap tajam Reihan yang balas menatapnya.
"Apakah aku ini sama sekali tidak berarti di matamu, Rei?" bentak Daffa tiba-tiba.
Reihan tercekat, tidak menyangka Daffa akan semarah itu.
"Apa kamu pernah memikirkan perasaanku, saat melihatmu asyik mengobrol dengan Aryo tadi? Kenapa kamu hanya mengasihani pria itu? Dia punya banyak kenalan di Bali yang pasti akan datang menjemputnya setiap saat. Kamu jangan khawatir, dia pasti baik-baik saja kutinggal di sana. Sementara aku? Aku hanya punya kamu saat ini, Rei. Kenapa kamu tega memperlakukanku seperti ini, hah? Apa kamu pernah sekali saja memikirkan perasaanku?" Daffa menggusak kasar rambutnya, terlihat begitu frustasi.
Reihan tidak tega, hatinya terasa perih medengar ucapan Daffa barusan. Tanpa pikir panjang, dia segera melepas sabuk pengamannya lalu menghambur ke sebelah untuk mendekap tubuh Daffa.
"Maaf... Daff, jika aku sudah melukai perasaanmu," ucap Reihan sambil memeluk erat pria di hadapannya, mencoba menenangkan.
Daffa terdiam dalam hangatnya pelukan Reihan. Dia terharu, tidak menyangka Reihan yang biasanya bersikap antipati padanya berinisiatif memeluknya. Jemarinya pun mulai mengusap-usap lembut kepala pemuda itu. Daffa selalu tidak tahan untuk menyentuhnya apalagi dalam jarak sedekat ini. Namun sepertinya bukan ini yang Daffa kehendaki. Dia tidak mau Reihan jadi sedih karenanya. Liburan pemuda itu harus dipenuhi keceriaan bukan adegan dramatis seperti ini.
"Bagaimana aktingku, bagus bukan? Hehehe..." Daffa mencoba mencairkan suasana sambil memasang tawa palsu.
"Sialan, dasar anjing kamu, Daff!" Reihan langsung mengumpat sambil mendorong dada kekar pria didepannya untuk melepaskan pelukan.
"Maaf, kalau nggak pakai cara seperti ini, mana tahu kalau kamu peduli dengan perasaanku, Rei." Daffa menghela nafas sejenak sebelum melanjutkan perkataannya.
"Aku akui memang aku salah. Aku sudah keterlaluan menurunkan Aryo di pinggir jalan tadi. Aku melakukannya karena aku cemburu, Rei. Kamu sih pakai flirting-flirting Aryo lewat kaca spion depan segala sampai membuatku panas. Jadi dengan kata lain, dia itu korban kegenitanmu, Rei!" Daffa mencoba bergurau namun sama sekali tidak ada reaksi dari pemuda di sebelahnya.
"Rei, jangan ngambek lagi, donk! Pleaseeee..." Daffa memohon.
Reihan menoleh. "Ok, aku nggak bakal ngambek lagi tapi dengan satu syarat."
"Apa itu, Rei?"
"Tutup mulutmu mulai sekarang dan cepat jalankan mobilnya. Gila, lama-lama bisa karatan di jalan kalau sedikit-sedikit berhenti seperti ini!"
"Hahaha... Ok, Bos!" Daffa tergelak lega. Reihan sepertinya sudah tidak marah lagi. "Tapi, tunggu sebentar..." Daffa mengeluarkan ponselnya hendak mengubungi seseorang.
"Halo, Ar," buka Daffa sambil kemudian mengaktifkan loud speaker agar Reihan juga bisa ikut mendengar.
"Hai, Daff!"
"Kamu di mana?"
"Aku on the way pulang, Daff."
"Kamu naik apa, Ar?"
"Tadi ada teman yang menjemputku pakai mobil. Kamu sudah sampai mana, Daff?"
"Entahlah, sepertinya masih sambungan jalan yang sama dengan tempatmu turun tadi, hehe... Ya sudah kalau begitu, Ar. Aku cuma pingin tahu kabarmu saja."
"Ok, Daff. Have fun, yah! Titip salam buat Reihan."
"Kamu mau aku tonjok pakai titip-titip salam segala, hah?
"Hahaha... posesif amat sih kamu jadi orang, Daff. Ya sudah, kamu hati-hati menyetirnya, yah. Bye, Daff..."
"Thanks, Ar. Bye..."
Daffa memutus panggilan lalu menyimpan ponsel dalam cekungan dashboard di balik setir mobil. "Gimana sudah puas mendengar kabar Mas Aryomu itu baik-baik saja dan sudah ada yang mengantarnya pulang?" Daffa meledek sambil kembali menjalankan mobil yang dikendarainya.
"Jangan mulai lagi, Daff!"
"Hehehe... bercanda, Rei. Aku tahu kok, kamu itu jauh lebih care terhadap perasaanku daripada sama Aryo."
"Cih... dasar kepedean!" decak Reihan sambil mengerucutkan bibir meski sebenarnya apa yang diucapkan Daffa sama sekali tidak salah. Hanya saja, Reihan malas mengakuinya. "Eh... kamu mau apa?"
"Mau memegang tanganmu, Rei?"
"Nggak usah macam-macam, Daff! Memangnya kamu sedang syuting sinetron romantis apa, pakai pegang-pegang tangan sambil menyetir? Lebih baik kamu fokus mengendarai mobil ini biar cepat sampai tujuan, ngerti!" Reihan melempar kasar tangan Daffa yang terlanjur terulur kembali ke asalnya.
"Engg... by the way, boleh minta tolong nggak, Rei?"
"Apa lagi?" Reihan memutar bola mata gemas.
"Tolong bukain GPS donk. Kita ini sekarang berada di mana?"
"Astaga, Daff! Kamu itu nggak tahu jalan tapi berani mengusir Aryo segala. Kenapa kamu semenyebalkan ini jadi orang sih, arghhh..." Reihan menggeram murka.
"Hehehe... maaf, Rei."
*****
Setelah berputar-putar mengikuti petunjuk GPS dan sedikit bertanya sana-sini akhirnya mereka berdua sampai juga di pelataran parkir Desa Adat Sangeh, kabupaten Badung, provinsi Bali.
"Ayo cepat turun, Daff!" ajak Reihan antusias. Pantatnya mulai terasa panas karena kelamaan duduk.
"Sabar Rei," balas Daffa sambil mengecek sebentar ponselnya lalu menyimpannya dalam saku celana. "Tolong ambilkan sunglasses yang tadi kusimpan di dalam laci dashboard di depanmu, Rei," pintanya kemudian.
Reihan segera membuka laci hitam di atas pahanya untuk mengeluarkan sebuah kotak kacamata berlabel Gucci pada permukaannya, lalu segera mengangsurkannya pada pemuda di sebelahnya. "Nih, Daff..."
"Thanks, Rei," ucap Daffa sambil menyambut benda itu dari tangan Reihan.
"Kamu kenapa sih kok malah pakai kacamata hitam segala, Daff? Ke pantai juga nggak, kamu itu mau mejeng sama siapa?" tanya Reihan sedikit bingung sambil mengamati lingkungan sekitarnya dari balik kaca mobil dan mendapati hanya terdapat pepohonan rimbun yang menjulang tinggi.
"Yah namanya jaga-jaga, Rei," jawab Daffa sembari kali ini mengenakan topi yang sebelumnya dia kaitkan pada celana pendeknya. "Aku nggak mau sampai para fansku mengerubutiku jika aku mengumbar jati diriku yang sebenarnya, Rei. Aku nggak mau siapapun merusak liburan kita."
"Dih... sombong amat kamu, Daff! Kayak ada saja yang bakal mengenalimu di sini. Memang sebenarnya kamu itu setenar apa sih? Aku saja baru tahu kalau kamu itu seorang artis gegara menang undian."
"Ya mungkin kamu kurang update atau ansos, Rei. Sampai-sampai aku yang sangat terkenal gini bisa lewat dari pandanganmu," ucap Daffa dengan dada terbusung sambil menoleh ke arah Reihan yang memasang raut jijik padanya.
"Ih... dasar kepedean banget! Cuma menang kulitnya putih saja sombongnya minta ampun padahal mukanya standard-standard saja gitu. Heran, kok bisa sih ada yang ngefans sama dia? Kayaknya butuh periksa ke dokter mata mereka, tuh." Reihan mencibir sangat pelan hampir tanpa suara sambil hidungnya mengernyit hingga sepasang alis matanya bertemu.
Daffa tersenyum simpul mengamati mimik wajah Reihan yang terlihat sangat menggemaskan. "Sudah... mau sampai kapan ngomelnya, Rei?" Daffa tidak tahan, jemarinya langsung mencubit sayang pipi pemuda di sebelahnya.
"Apaan sih, Daff, main pegang-pegang segala!" protes Reihan sembari mengusir tangan kotor Daffa dari area wajahnya.
"Yuk, kita turun!"
Daffa segera membuka pintu di sebelahnya dan bergegas turun dari mobil. Lalu berjalan menuju pintu masuk tempat wisata diikuti Reihan yang mengekor di belakangnya.
"Kita sebenarnya mau ngapain sih Daff di sini?"
"Kan sudah kubilang mau mengunjungi saudaramu, Rei?" jawab Daffa yang kini tengah berdiri di depan kios kecil yang menjual pisang dan kacang rebus di dekat pintu masuk.
"Aku nggak merasa punya saudara di Bali, Daff," ucapnya polos. Kenapa mendadak perasaan Reihan jadi nggak enak yah?
Daffa tersenyum sambil mengangsurkan dua ikat kacang rebus berkulit yang baru dibelinya pada Reihan. "Kok kamu tahu kalau aku suka kacang rebus, Daff?"
"Itu bukan buat kamu, Reihan sayang."
"Lalu buat siapa?"
"Nanti di dalam kamu juga akan tahu sendiri, hehehe..."
Reihan yang baru pertama kali ke tempat itu, hanya bisa manggut-manggut menurut. Kemudian kembali mengekor di belakang Daffa yang sudah berjalan lagi hendak membeli tiket masuk.
"Dua tiket dewasa, Mbak..."
"Dua puluh ribu, Mas. Ow yah, sebaiknya jangan memakai topi atau kacamata hitam selama dalam area hutan. Maaf ya, Mas." Mbak-mbak yang menjaga loket karcis mencoba mengingatkan Daffa dengan ramah.
"Ehmm... memangnya Mbak nggak tahu siapa aku?" tanya Daffa pelan yang dibalas gelengan kepala oleh gadis di depannya.
"Bagus, berarti nggak sia-sia penyamaranku," Daffa merasa puas sambil kemudian melepas kacamata hitamnya. "Kalau sekarang gimana, Mbak?" tanyanya lagi sambil mengangsurkan selembar pecahan seratus ribu melalui lubang loket.
Kedua mata perempuan itu langsung membulat kaget. "Astagaaa... jangan bilang kamu itu adalah Rahadian Permana. Ya ampun... mimpi apa aku semalam bisa bertemu dengan artis pujaanku? Kyaa... kyaa..."
"Ehmm... Mbak... Mbak..." panggil Daffa mencoba menyadarkan perempuan yang tengah mematung menatapnya lekat-lekat. Hanya terlihat kelopak matanya yang berkedip-kedip genit seraya bibirnya senyum-senyum sendiri tidak jelas.
"Woii... Mbak yang profesional dikit donk kalau kerja! Kok malah jadi bengong seperti itu. Dia itu mau beli tiket bukan mau jumpa fans, Mbak," celetuk Reihan tiba-tiba dari balik punggung Daffa, yang tentu saja berhasil membuyarkan lamunan gadis penjaga loket tersebut.
"Duh, Mas ini galak amat, sih! Nggak bisa membiarkan orang senang barang sebentar," gerutu perempuan itu sebal sambil meraih uang yang disodorkan Daffa. "Ini dua tiket masuk dan kembaliannya yah, Kak Rahadian sayang. Nanti sebelum pulang kalau nggak keberatan mampir kemari sebentar, yah. Aku pingin foto-foto sama kakak buat kenang-kenangan, hihihi..."
"Iya boleh, nanti kalau sempat aku mampir deh. Thanks, yah." Dengan cepat, Daffa langsung menyambar tiket masuk beserta uang kembalian. Dia memasang lagi kacamata hitamnya sambil buru-buru pergi meninggalkan tempat itu sebelum ada yang mengamuk.
Namun baru beberapa langkah memasuki area hutan wisata, Daffa terkaget dengan dorongan keras pada bahunya dari belakang. "Sialan... kamu, Daff!" umpat Reihan jengkel saat mendapati banyaknya monyet yang lalu lalang sepanjang matanya memandang.
"Jadi ini yang kamu maksud saudaraku, hah?" Reihan tidak terima.
"Jangan marah-marah seperti itu donk, Rei. Aku kan cuma bercanda. Lagian mereka juga bakal jadi saudaraku juga karena kamu kan pacarku, Rei."
"Dasar gila!"
"Aku rela kok jadi monyet asal bisa jadi pasanganmu."
"Sinting!"
"Wah lihat, Rei. Ada monyet yang mendekat padamu."
"Mana... mana..."
Cup! Sebuah kecupan mendarat pada pipi Reihan yang sedang menoleh ke sana kemari.
"Daffaaa!!!!" teriak Reihan sebal. "Apa otakmu sudah pindah di dengkul, hah? Apa urat malumu sudah putus? Ini di tempat umum, Daff!"
"Berarti kalau di tempat sepi boleh donk, aku menciummu?" goda Daffa sambil cengengesan dengan salah satu alisnya terangkat.
"Jangan berani coba-coba!" Reihan mendesis dengan mata memicing.
"Ya sudah, siap-siap saja nanti aku akan mencuri-curi menciummu lagi! Toh, yang bakal malu juga kamu. Aku kan sekarang dalam mode penyamaran, wekkk..." Daffa mengejek sambil menjulurkan lidah.
"Arghhhh..." Reihan menggeram jengkel setengah mati. Lalu mulai melempari wajah menyebalkan monyet besar di hadapannya dengan kacang rebus yang dibawanya.
"Aww... Ampun, Rei... ampun..."
Daffa pura-pura mengaduh sambil tertawa lepas, memandangi wajah jengkel pemuda yang menghujaninya tanpa ampun dengan lemparan kacang rebus. Perasaan bahagia menyeruak memenuhi hatinya. Dia tidak perlu sikap manis Reihan, kehadiran pemuda itu di sisinya saja sudah lebih dari cukup. Dia berharap akan bisa terus seperti ini selamanya meski pemuda itu sering membuatnya naik darah, namun kehadirannya sanggup menyembuhkan luka hatinya.
TBC
Berhubung part ini panjang banget itu tandanya saya... mau kembali tenggelam. Sampai ketemu lagi kalau nanti saya sudah nggak sibuk, Bye!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top