10. Percakapan Menarik
"Argghhh... siapa sih yang pagi-pagi gini datang bertamu...?"
Reihan menggerutu jengkel sambil mengucek kedua matanya. Dia masih sangat mengantuk tapi terpaksa memutus tidurnya sebab terusik bunyi bel kamar yang sangat mengganggu.
Semalam Reihan susah tidur karena berbagai macam perasaan aneh yang menyergapnya tanpa ampun. Mulai dari rasa gugup sialan akibat Daffa yang suka menggodanya, lalu rasa canggung sebab tidak terbiasa berbagi ranjang dengan orang lain, sampai merasa parno sendiri gegara takut diisengin si artis kampung saat dia terlelap. Reihan sedikit trauma, mulutnya pernah dizalimi waktu tak sadarkan diri tempo hari. Jadinya pemuda itu baru bisa melepas rohnya saat tengah malam menjelang subuh, di saat dia benar-benar yakin pria yang berbaring di sebelahnya sudah terlelap terlebih dulu.
Reihan menarik tubuhnya malas hingga terduduk di atas ranjang. Kedua matanya mengerjap-ngerjap sambil menoleh ke samping dan mendapati setengah ranjang di sebelahnya kosong. Daffa sudah menghilang entah kemana. Dengan setengah hati, Reihan menggeser tubuhnya ke pinggir ranjang, kemudian menjejakkan kakinya ogah ke atas lantai. Dia masih tidak rela seseorang mengusik tidurnya.
"Iyaaaa... tunggu sebentar!!!" teriak Reihan dongkol setelah susah payah berjalan sempoyongan keluar dari kamar tidur. Nyawanya baru balik setengah namun indera pendengarannya sangat terganggu oleh bisingnya bunyi bel kamar yang tak kunjung berhenti.
"Apaan sih, hah? Pagi-pagi sudah ting-tong ting-tong nggak jelas! Berisik tau!" Reihan langsung memaki dengan muka masam setelah menarik badan pintu ke dalam dan mendapati seorang pelayan hotel tengah berdiri di baliknya.
"Selamat pagi, Mas Reihan," sapa pria yang berpakaian seragam hotel itu seramah mungkin. Dia sadar jika sudah membangunkan hewan buas di pagi hari. "Saya hanya ingin membawakan breakfast yang tadi dipesan oleh Mas Daffa untuk kamar ini. Maaf, kalau sampai mengganggu istirahat Anda."
"Aahh... kamu lagi!" cibir Reihan saat mengenali wajah pemuda di hadapannya, seorang bellboy kepercayaan Daffa yang selama ini selalu mengantar makanan saat dia meninggalkan Reihan sendirian di kamar. "Kenapa nggak siangan dikit mengantarnya sih, Mas...? Aku ini masih ngantuk!" lanjutnya menggerutu.
"Maaf... maaf, Mas Reihan, saya hanya menjalankan instruksi dari Mas Daffa saja. Tadi, dia berpesan langsung pada saya harus mengantar sarapan secepat mungkin ke kamarnya karena Mas sedang sakit, kan? Nggak boleh sampai terlambat makan. Seperti itu katanya, Mas, hehehe..."
"Huh, dasar artis lebay! Memangnya aku kelihatan masih sakit, apa?"
"Yah... mana saya tahu kalau ternyata Mas sudah baikan sekarang." Pelayan itu menjawab sambil tersenyum simpul. Pemuda di hadapannya memang terlihat sudah sehat bahkan barusan sudah bisa marah-marah.
"Ah, sudahlah... ngomong-ngomong di mana si artis busuk itu sekarang?"
"Hmm... sebelum menjawab pertanyaan Mas itu, boleh saya masuk dulu? Saya mau menaruh makanan yang saya bawa ke dalam."
"Tchh..." decak Reihan sambil menarik badan pintu lebih dalam agar memberikan cukup celah untuk pelayan hotel itu masuk. "Ayo, cepat masuk!"
Dan seperti biasa, Reihan kembali dibuat geleng-geleng kepala oleh pesanan Daffa saat menyaksikan pelayan hotel itu mendorong masuk sebuah troli kecil susun dua yang penuh dengan beragam makanan ke dalam ruangan.
"Sial, mungkin artis kampung itu baru puas kalau aku beneran mati kekenyangan!"
"Mas Daffa dan Miss Bella sudah pergi menuju bandara bersama para pihak sponsor dan kru yang lain. Katanya sih, akan ada syuting acara pelepasan para pemenang undian di sana," celetuk bellboy itu setelah selesai menata breakfast mewah yang dibawanya ke atas meja di ruang tamu. Lalu dia menoleh ke arah Reihan yang tengah mengawasi gerak-geriknya sedari tadi. "Lho, Mas Reihan sendiri kenapa nggak ikutan ke bandara? Kok malah ditinggal sendirian di sini?"
"Eh..."
Reihan menelan ludah sedikit kaget, tidak menyangka akan mendapat sebuah pertanyaan yang dia sendiri kurang tahu harus menjawab seperti apa.
Masa iya, Reihan berkata jujur jika semalam Daffa bilang suka padanya dan meminta untuk tinggal lebih lama bersamanya. Absurd banget kan alasannya. Nanti pelayan itu malah mengira dia sakit jiwa akibat terlalu menggilai Daffa yang notabene semua orang tahu adalah kekasih Marisca.
"Padahal aku ngefans saja nggak sama sekali apalagi sampai dibilang menggilai, duh... amit-amit deh! Yang ada si artis kampung busuk itu yang tergila-gila padaku, hehehe..." Reihan jadi senyum-senyum sendiri sedikit bangga.
"Eh tunggu sebentar, sepertinya ada yang salah dengan otakku! Harusnya aku itu merasa risih atau jijik atau gimana gitu disukai oleh seorang pria, bukan malah merasa senang seperti ini. Ingat dia itu sesama batangan dan haram hukumnya jeruk makan jeruk. Masak kita berdua mau main pentung-pentungan? Ah, dasar monyet! Lama-lama aku bisa ketularan nggak waras nih, kalau terus-terusan bergaul dengan artis yang nggak waras pula!"
Di samping itu, Reihan juga tidak mau dituding sebagai pihak ketiga kalau-kalau kabar keretakan hubungan kedua bintang papan atas itu akhirnya terbongkar. Mungkin jika dirinya adalah seorang wanita, hal itu pasti bukan sesuatu yang menghebohkan. Paling-paling cuma dicaci-maki oleh para haters nyinyir yang mengidolakan couple paling serasi versi sebuah majalah remaja. Tapi masalahnya Reihan itu seorang pria tulen dan tidak mau image sebagai gay laknat perusak hubungan melekat padanya karena pemberitaan media massa itu terkadang ngawur dan... jahat!
Maka dari itu, Reihan harus sedikit berhati-hati dalam menjawab pertanyaan yang bisa saja menjebak dari siapapun juga. Siapa tahu ternyata pelayan di hadapannya itu adalah seorang wartawan yang sedang menyamar? Bisa jadi, kan! Astaga, kenapa pikiran Reihan makin menjadi-jadi absurdnya sekarang?
Tapi sudahlah, tidak usah terlalu dipikirkan. Reihan yakin dirinya 100% straight dan sudah punya pacar cantik yang setia menunggu kepulangannya. Jadi lupakan kemungkinan dia bakal punya affair dengan sang superstar. It's impossible.
Kalaupun sekarang dia masih terjebak di Bali bersama Daffa, itu semua hanya karena paksaan dan tipu muslihat sang aktor, bukan kemauannya sendiri. Meski sebenarnya jika Reihan mau sedikit berkorban, dia bisa merogoh koceknya sendiri untuk membeli tiket kepulangan yang baru. Reihan memang tidak punya banyak uang namun untuk sekadar membeli tiket pesawat one way saja, tentu dia masih sanggup. Jadinya, dia tidak perlu melewatkan kepulangannya hari ini bersama rombongan pemenang yang lain, dan sudah pasti bisa segera bertemu dengan Dhea siang nanti.
Kan, katanya pemuda itu sangat mencintai kekasihnya itu sampai mau berkorban datang ke Bali. Tapi kenapa sekarang dia malah jadi perhitungan soal duit yang sebenarnya tidak besar-besar amat jumlahnya? Apa salahnya berkorban sekali lagi demi cintanya yang besar pada sang gadis pujaan hati? Atau jangan-jangan ada maksud tersembunyi yang lain? Jangan-jangan malah setengah dari hatinya sendiri yang tidak rela meninggalkan sang superstar, namun terlalu gengsi untuk mengakuinya?
Ah sialan! Reihan menggeleng-gelengkan kepala mengusir kesimpulan biadab yang sempat terbesit barusan. Dan untuk kesekian kalinya, perasaan aneh kembali menyeruak menyelimuti hatinya, di saat otaknya dengan kurang ajar memikirkan si artis kampung yang baginya tidak ada bagus-bagusnya itu.
"Mas..." tegur pelayan itu sambil menepuk pelan bahu Reihan. "Ditanya kok malah melamun gitu, Mas."
"Ah... yah? Eh... sorry, sorry," ucap Reihan tergagap, lamunannya buyar seketika. Heran, kenapa sih artis kampung itu sekalinya melintas di otak selalu saja menyita pikirannya? "Tadi Mas tanya apa? Maaf, sepertinya aku masih mengantuk jadinya susah berkonsentrasi, hoammm..." sambung Reihan lagi sambil menangkup mulutnya pura-pura menguap.
"Saya tanya kenapa Mas Reihan kok nggak ikutan pulang hari ini?"
"Oh... itu... ehmmm..." Reihan memutar otak. "Itu... itu karena aku belum pernah ke sini. Dan sebagai teman yang baik, Daffa menawarkan diri untuk mengajakku berkeliling melihat keindahan pulau Bali asalkan aku mau menunggu dia menyelesaikan pekerjaannya."
"Cuihh... amit-amit, coba saja bukan karena terpaksa, ogah banget bilang si artis kampung itu baik! Baik dari mananya coba? Yang ada dia itu semena-mena dan kurang ajar kali, Mas!"
"Wah... bagus dong kalau begitu, Mas Daffa jadi ada teman buat mengusir kegalauannya," ujar pelayan itu sambil tersenyum penuh arti.
"Hah... maksudnya, Mas?"
"Lho, masa Mas Reihan nggak tahu tentang masalahnya Mas Daffa? Bukannya kalian berdua itu berteman baik. Bahkan, baru kali ini lho, Mas Daffa mengajak seorang teman pria menginap di sini. Biasanya sih yah sama... uhmm... mantannya itu."
"Ow... kalau tentang masalah itu, ya tentu saja aku tahulah, Mas. Hal itu juga yang menjadi alasan kuat bagiku menemani Daffa di sini supaya dia nggak berlarut-larut dalam kesedihannya." Reihan memang pandai berkilah, namun dia harus tetap berhati-hati. Bisa saja pelayan di depannya itu hanya ingin mencari kebenaran dari gosip tak jelas yang beredar belakangan, dengan cara mengorek informasi dari dirinya yang baru saja mengaku sebagai sahabat baik Daffa.
"Tapi aku tahu bukan karena Daffa curhat sendiri padaku sih, Mas. Aku juga nggak mau mengusik privacynya dengan bertanya langsung padanya. Jadi ada seseorang yang memberitahuku dan orang tersebut memintaku untuk tutup mulut menjaga rahasia ini. Jangan-jangan Mas tahunya dari orang yang sama lagi?"
Pelayan itu menggeleng pelan. "Ehmm... kalau saya sih, dengarnya langsung dari mulut Mas Daffa sendiri, Mas."
Kening Reihan sontak mengerut saat mendengar jawaban bellboy itu. Bukannya menurut Bella Swan kandasnya hubungan kedua idola remaja itu sangat rahasia. Hanya sebatas rumor tak sedap dan tidak ada satupun pihak luar yang tahu kebenarannya. Tapi kenapa pelayan hotel yang berdiri di hadapannya itu bisa tahu, malahan dari pengakuan Daffa sendiri lagi? Sementara di depannya, Daffa tidak pernah sekalipun menyinggung hal itu sepanjang mereka tinggal bersama beberapa hari ini.
"Sebenarnya siapa sih pemuda ini? Kok, sepertinya dia mengenal baik si artis kampung itu. Bahkan dia juga memanggil dengan nama aslinya. Ah sial, kenapa aku malah jadi penasaran sendiri sekarang?"
"Wah, luar biasa! Sepertinya kalian berdua itu sangat akrab yah, sampai-sampai Daffa dengan leluasanya curhat masalah pribadinya ke kamu. Padahal aku yang sahabat baiknya saja harus mendengar hal itu dari orang lain, bukan dari mulut Daffa sendiri," sinis Reihan mulai memancing.
"Lho... lho... jangan salah sangka dulu, Mas," balas pelayan itu sedikit sungkan.
"Heh? Apa maksudnya ini?"
"Saya nggak ada hubungan apa-apa sama Mas Daffa, suer!" Pelayan itu mengangkat kedua jarinya. "Mas Daffa itu cuma salah satu customer saya saja. Dia sering pakai jasa saya kalau menginap di sini."
"Jasa?" kening Reihan kembali mengernyit, semakin bingung menatap pelayan yang terkesan agak misterius baginya.
"Aduh... saya jadi sungkan mau bilangnya, Mas. Ehmm... gimana yah Mas, saya nggak suka membuka aib orang."
"Sudah, nggak papa cerita saja. Toh, sudah terlanjur keceplosan juga. Tenang saja, aku nggak bakal cerita ke siapa-siapa ataupun mengkonfirmnya ke Daffa. Rahasiamu aman bersamaku," bujuk Reihan sambil memegang bahu pelayan di hadapannya. Rasa penasaran tingkat akut mulai menyerangnya.
"Jadi gini, Mas... saya kenal sama Mas Daffa itu karena dia langganan tetap hotel ini. Dia sering menginap di sini kalau ada syuting ataupun keperluan yang lain di Bali. Nah, karena beberapa kali kita ketemu waktu saya mengantar makanan atau membersihkan kamarnya, akhirnya kita mulai banyak mengobrol. Sebagai artis terkenal sih, Mas Daffa itu ramah dan baik sekali. Jauh dari kesan sombong seperti yang diberitakan media massa. Dia nggak beda-bedain orang dan mau berteman dengan saya yang cuma seorang bellboy."
"Grr... dasar artis kampung sialan! Sama bellboy saja dia bisa bersikap rendah hati seperti itu, tapi kenapa kalau di depanku lagaknya bukan main arogannya dan semena-mena? Apa sih sebenarnya salahku?"
"Terus tadi kamu bilang jasa itu maksudnya apa?" potong Reihan cepat.
"Wah... sabar, Mas, nggak sabaran banget, hehehe..." Pelayan itu tersenyum sebelum melanjutkan ceritanya. "Seiring hubungan kita yang semakin akrab, Mas Daffa mulai berani request yang aneh-aneh. Dia meminta bantuan saya untuk mencarikan wanita penghibur kelas atas yang bisa dia pakai untuk melepas penat setelah berkerja."
"Hah?" Reihan sedikit tercengang dengan fakta baru yang hinggap pada telinganya barusan. "Dan kamu menuruti saja kemauannya itu?"
Bellboy itu mengangguk.
"Gila!"
"Awalnya sih, saya juga sedikit shock dengan request Mas Daffa itu, persis kayak reaksi Mas sekarang. Dia kan artis terkenal tapi kok terkesan kesepian gitu, sampai-sampai harus menyewa wanita penghibur segala. Tapi lama-lama saya terbiasa juga. Saya nggak mau munafik, Mas. Imbalan yang saya dapat dari Mas Daffa lumayan besar sebagai pemasukan tambahan. Bahkan, saya pernah mencarikan dia dua wanita sekaligus dalam semalam."
"Anjing, dasar artis bejat!" Reihan mengumpat gemas. Baru semalam Daffa mengaku tidak sembarang memamerkan tubuhnya pada orang yang tidak dia kenal. Tapi kenyataannya, entah berapa banyak gadis panggilan yang baru dia kenal dan langsung ditidurinya.
"Lalu selama dia berpacaran dengan Marisca, dia masih suka main perempuan? Pantas saja gadis itu meninggalkannya, lha wong kelakuannya brengsek kayak gitu!"
"Lho... jangan salah sangka dulu, Mas. Justru selama berpacaran dengan Mbak Marisca, Mas Daffa nggak pernah sekalipun meminta saya untuk mencarikan wanita penghibur meski terkadang kekasihnya itu nggak ikut menemani menginap di sini. Mas Daffa seperti telah menemukan cinta sejati dan memutuskan untuk bertobat dari kebiasaannya berpetualang dengan banyak wanita. Tapi siapa sangka di saat Mas Daffa memutuskan untuk serius, gadis yang sangat dicintainya itu malah berselingkuh dengan pria lain. Dan tentu saja hal itu merupakan pukulan telak baginya. Ah, sungguh kasihan Mas Daffa."
"Yah... apanya yang perlu dikasihani, Mas? Itu sih namanya kualat, Mas! Baguslah, biar tau rasa si artis kampung itu! Penjahat kelamin seperti dia itu memang pantas diselingkuhi!"
"Wah... Mas Reihan kok seperti itu sih pada seseorang yang sangat baik dan perhatian sama Mas."
"Hah? Apa maksudnya Mas ngomong kayak gitu?"
"Lho, Mas Reihan ini pura-pura atau beneran nggak mengerti, sih? Saya saja sebagai orang luar bisa langsung tahu kalau Mas Daffa itu ada sesuatu sama Mas Reihan."
"Hah? Jangan ngaco kalau ngomong, Mas! Kami berdua nggak ada apa-apa. Jangan berpikiran yang aneh-aneh dan nggak wajar seperti itu! Ingat, kami berdua itu sesama pria!"
"Lho, memangnya kalau sesama pria kenapa? Cinta nggak milih-milih gender dan terkadang datang begitu saja tanpa kita duga, Mas. Saya dulu juga menganggap hal itu nggak wajar dan sangat anti dengan masalah demikian. Namun setelah saya menetap di Bali dan memiliki banyak teman dari kalangan LGBT, pikiran saya mulai terbuka dan perlahan bisa menerima. Mereka itu juga manusia ciptaan Tuhan sama seperti kita yang punya hak saling mencintai, Mas."
"Ah... sudahlah, aku nggak mau berdebat masalah itu. Aku rasa obrolan kita sampai di sini saja, Mas. Aku mau mandi dulu terus sarapan. Nanti keburu dingin masakannya." Reihan menyudahi percakapan sambil memutar badan, hendak menuju ke kamar tidur meninggalkan pelayan itu. Dia ingin lari dari percakapan yang membuatnya mendadak merasa canggung. Dia sadar perhatian lebih Daffa padanya akhir-akhir ini bukanlah tanpa sebab. Dia tahu betul bila Daffa ingin mendapatkan cintanya. Tapi Reihan merasa malu untuk mengakuinya di depan orang lain. Dia masih merasa bingung dengan perasaannya sendiri.
"Jangan mengelak dari perasaan Mas sendiri, nanti menyesal kemudian."
Perkataan itu berhasil membuat langkah Reihan terhenti sejenak.
"Maaf, bukannya saya lancang mau ikut campur urusan kalian berdua. Tapi saya bisa melihat kok, kalau Mas Daffa memiliki perasaan lebih sama Mas Reihan. Sejak kemarin, dia sangat antusias menemui saya untuk memastikan Mas Reihan cukup makan hingga dia sendiri nggak sadar kalau sudah order makanan berlebihan saking khawatirnya dengan keadaan Mas. Persis sama dengan kejadian sewaktu Mbak Marisca sakit sementara Mas Daffa harus meninggalkannya sendiri di kamar karena urusan pekerjaan. Sepertinya Mas Daffa menemukan kembali semangatnya dan mulai bangkit dari keterpurukannya ketika berada di dekat Mas Reihan."
"Sudahlah... aku nggak mau dengar apa-apa lagi, Mas! Kamu bisa keluar dari kamar ini sekarang," sergah Reihan tanpa menoleh ke belakang.
"Dan satu lagi yang Mas Reihan perlu tahu, Mas Daffa mendadak membatalkan semua pesanan wanita penghibur selama beberapa hari ini meski dia sudah membayar lunas tarifnya."
"Ow, jadi ini alasannya kenapa Daffa begitu membenciku saat pertama kali datang ke kamar ini. Mungkin dia menganggapku sebagai perusak kesenangannya untuk berbuat cabul. Rasain, sudah terlanjur keluar uang tapi nggak bisa menikmati!"
"Semua itu dia lakukan demi Mas Reihan. Dia terlihat sungguh-sungguh menyukai Anda. Dan saya yakin Mas Reihan juga merasakan hal yang sama, dilihat dari cara Mas memandang saya. Jangan khawatir Mas, saya bukan saingan Anda, makanya saya bercerita panjang lebar begini supaya nggak terjadi salah paham. Saya malah mendukung hubungan kalian berdua. Sudah lama saya nggak melihat Mas Daffa kembali ceria dan bersemangat seperti sekarang. Mungkin, saingan terberat Mas Reihan adalah logika Mas sendiri."
"Ishh... makin lama makin ngaco saja omonganmu, Mas! Sudahlah, aku mau mandi dulu! Terserah kamu mau keluar dari ruangan ini atau nggak. Toh, aku juga nggak punya barang berharga buat kamu curi."
Reihan langsung cepat-cepat hengkang dari ruang tamu tanpa menggubris lebih lanjut perkataan pelayaan itu. Dia langsung menutup badan pintu dan menguncinya sesampainya di dalam kamar tidur. Berulang kali mulutnya menghembuskan nafas panjang untuk melegakan dadanya yang terasa sesak akibat pertentangan hati dan logikanya. Perkataan pelayan tadi sungguh membuat jantungnya bergemuruh hebat dan sangat menyiksa. Ternyata orang lain pun bisa melihat keseriusan Daffa padanya.
Sialan! Reihan mengumpat dalam kebingungan. Di satu sisi, hatinya bergejolak senang oleh perhatian sang superstar yang terkesan tulus padanya meski berasal dari seorang pria sama seperti dirinya. Namun saat mendapati kenyataan statusnya yang masih terikat hubungan dengan seorang gadis, sungguh menyesakkan hatinya di saat bersamaan. Reihan sungguh bimbang akan perasaannya sendiri sekarang.
Tidak ingin terlalu larut dengan perasaannya yang tidak menentu, Reihan segera mengambil ponselnya di atas nakas untuk mengabari Erlina agar tidak usah menjemputnya di bandara siang nanti karena kepulangannya yang ditunda.
Baru saja ponsel itu berpindah dalam genggaman tangannya, sebuah pesan Line masuk dari nomor yang tidak dikenal.
082177707770
06:46 Pagi, Rei! Read
06:46 Aryo bilang dia sudah mengantar breakfastnya. Ayo cepat dimakan yah, sayang ☺Read
06:47 Setelah itu bersiap-siap yah, jangan tidur lagi nanti malah kebablasan.
06:47 Aku akan menjemputmu sekitar jam sembilan nanti. Aku akan mengajakmu berkeliling Bali untuk bersenang-senang sesuai janjiku. Read
06:47 Aku mau kamu nggak menyesali keputusanmu datang ke Bali, Rei. Read
06:48 Anggap saja ini kencan pertama kita, hehehe...
"Dasar sinting! Kencan-kencan kepalamu!" Reihan menggerutu jengkel, memaki-maki foto profile yang terpampang di sebelah nomor asing pada aplikasi Line dalam ponselnya. Setelahnya, tidak butuh waktu lama untuk menerbitkan sebuah senyum pada kedua belah bibirnya. "Sialan, kenapa mendadak aku jadi merasa excited seperti ini?"
TBC
Part ini mungkin agak panjang dan bertele-tele karena saya ingin menunjukkan bagaimana penerimaan diri seorang pria yang selama ini menganggap dirinya straight, tiba-tiba mendadak bisa jatuh cinta pada sesama pria itu nggak instant kayak mie goreng saja gimana. Butuh proses dan pergulatan batin.
Mungkin untuk sementara waktu ke depan, cerita ini saja yang akan saya update regularly. Sudah gitu aja.
Thank you.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top