Pohon Hati
Hari ini langit tetap kelabu. Kududuk di tepi anjung perahu, dengan telapak kaki telanjang yang menyentuh permukaan danau hijau, dengan tangan kurus memegang buku. Hening.
Kudengar tapak kaki mendekat, kecil, samar. Kutahu tepat meski tak perlu menebak. Lalu, sosok kecil duduk di sampingku, dengan bulu halusnya yang putih, telinga panjang, dan sepasang kornea merah yang bersinar ketika diterpa cahaya matahari.
“Elira.”
Nah, dia mulai lagi.
“Sudah lima tahun. Kau masih memotong tanamanmu sebelum sempat berbunga?”
Aku benci percakapan ini, jadi kututup bukuku, meletakkannya pada pangkuan dan menatapnya dengan beku.
“Waktumu hampir habis.”
Dan aku tidak peduli.
“Jika kau tidak menemukan orang yang tepat untuk kau cintai, kau akan mati.”
Apa pedulimu tentang hidup—
“Kalau sejak awal kau ingin mati, kau sudah membakar tanamanmu.”
Aku tertegun. Menggenggam punggung bukuku erat. Tanpa bisa mendebat, kuangkat kakiku yang basah dan mulai melangkah, menapak tanah berselimut rumput. Memasuki jalan berkelok dan hilang di antara pepohonan.
--
Aku ingat kisah itu, tentang seorang gadis berambut pendek dengan pakaian compang-camping yang berlari tunggang-langgang ke hutan, dengan kaki telanjang penuh luka dan pipi bahas oleh air mata. Ia kurus. Wajahnya penuh nestapa. Meski dari sekilas tatap begitu buruk, tak pernah ada yang tahu bentuk hatinya kala itu. Bukan patah, mungkin telah menjadi serbuk.
Ia yang hancur tak lagi memiliki tempat kembali, di mana ia bisa bersandar dan mendapatkan hangat dari keluarga.
Tapi, meski tak tahu apa itu cinta, ia tahu apa itu iba. Ia menemukan seekor kelinci terjebak, dengan salah kaki kecil terikat, berdarah. Bulunya yang putih telah bercampur merah. Diam, dengan perut kembang-kempis yang menyisakan napas.
Ia melepaskan si kelinci. Aneh memang, tapi ia hanya tahu bahwa niatnya untuk mati telah ditangguhkan. Bertahan dengan memakan buah-buahan, mencari kayu bakar dan bagaimana ia merawat kelinci kecil yang malang.
Hari demi hari berlalu, lalu mendadak saja kelinci itu hilang.
Di malam pada hari yang sama, gadis lima belas tahun itu bermimpi, bahwa kelinci itu datang menemuinya, dengan tubuh sehat dan mata merahnya yang berbinar, “Terima kasih. Sebagai ganti telah menyelamatkanku, apa kau punya permintaan?”
Gadis lugu itu tak mengerti perihal dunia, tapi ia tahu pasti soal hati. Daging, atau sesuatu yang tersimpan dalam rongga dada, yang selama ini menjadi asal rasa sakitnya.
“Aku tidak ingin punya hati.”
Kelinci itu memiringkan kepala. Jelas heran. “Kenapa?”
“Aku tidak mau lagi merasa sakit.”
“Tapi kau juga jadi tidak bisa bahagia."
Sejenak, ia tidak bisa berkata-kata. Namun ia menjawab dengan tak terduga, “Aku sudah terbiasa dengan hampa.”
Kini giliran kelinci itu yang menatapnya iba. “Aku Kaz,” katanya.
“Aku Elira.”
“Baik Elira. Aku akan jujur padamu, bahwa aku tidak punya kuasa atas hatimu. Tapi, aku akan memberikanmu kemampuan untuk mengendalikannya.”
Gadis itu, Elira muda terperangah.
“Lima tahun, tolong bertahanlah dengan hatimu selama lima tahun. Berlatihlah mengendalikan perasaanmu sendiri.”
Kaz berharap bahwa dalam jangka waktu itu Elira akan menemukan kebahagiaannya.
“Sekarang, pegang dada kirimu.”
Elira menurut.
“Ambil napas dalam dan biarkan sesuatu keluar dari sana.”
Elira terkejut, bahwa cahaya keluar dari dadanya, menyelinap di antara celah jemari tangan kanannya, lalu redup. Yang ia tahu, kini ada sesuatu dalam genggamannya; kecil dan rapuh. Sebuah biji.
“Itu biji hati. Tanamlah. Dia akan menjadi sebuah pohon. Dan pasti akan berbunga. Ketika bunga itu muncul, berikanlah pada seseorang yang kau cintai.”
Elira membuka mulutnya, tapi tak keluar apa-apa selain udara.
“Aku membuatmu tak bisa mengatakan cinta, jadi nyatakan perasaanmu dengan bunga.”
Elira marah. Bukan ini yang ia mau.
“Lima tahun saja. Jika kau tak berhasil menemukan orang itu, maka kau bisa membakar tanamannya. Hatimu akan mati. Tapi, pada hakikatnya kau bukanlah manusia tanpa hati. Kau sudah mati ketika kau membunuh perasaanmu sendiri.”
Kenangan itu terngiang-ngiang di kepalaku, tentang gadis lugu konyol yang kini hidup sampai sekarang, masih menjadi manusia; aku.
Aku terduduk di bawah pohon, dengan air mata yang luruh bercampur peluh. Jika aku bukan manusia, lalu apa?
--
Malam itu aku begitu larut dalam pikiran sampai tak sadar bahwa hari telah menjelang pagi. Berpikir bagaimana aku bisa mencari seseorang yang kucintai hanya untuk menjadi manusia.
Aku yang letih terpaksa bangkit dari ranjangku yang kecil dan kumal, melangkah dan melewati cermin penuh bercak, lalu terhenti. Aku yang kini telah mencapai dua puluh tahun mematri diri, melihat wanita muda dengan paras cantik dan rambut hitam indah tergerai.
Aku mengambil napas. Membuang muka menatap sosokku sendiri. Muak. Paras yang didamba pria dan dianggap seperti boneka. Kemudian berlalu.
Pohon hatiku kutanam dalam pot tanah liat yang kuletakkan di dekat jendela. Ukurannya tak besar; tak sampai setengah depa. Dengan daun menjalar liar namun tak memiliki tanda akan berbunga. Seperti biasanya, aku akan menyiraminya.
Mendadak, dadaku menjadi sesak. Bunga tak akan pernah tumbuh jika aku tidak jatuh cinta. Dan jika aku mulai menyukai seseorang, akan potong tangkai itu dan kubakar menjadi abu. Seketika cinta itu hilang, namun hatiku tetaplah utuh. Inilah kemampuanku. Pohon inilah hatiku.
Cinta membuatmu lemah. Cinta pun membunuh logika. Seperti istri yang menjadi budak suaminya sendiri dan menjual anak perempuannya demi segenggam uang emas; diriku.
Aku mengambil keranjang rotan dan beberapa uang logam. Dengan berat hati mengenakan tudung dan melangkah menuju pasar.
Bukan hanya tungkai, pikiranku pun mengelana. Manusia dan hati. Hari dan cinta. Lalu kulihat bagaimana anak-anak dengan jahilnya menarik-narik ekor anak kecil dengan teganya. Atau tentang seorang laki-laki gendut memaki pekerjanya. Atau tentang ibu yang memukul anak lelakinya. Jika manusia serendah ini ... Kenapa juga harus jadi manusia?
Aku berhenti pada kios bahan makanan, namun dahulu mengerut. Siapa lelaki ini?
Dia adalah seorang pria muda pendek dengan hidung bulat dan rambut ikal merah yang lucu. Dengan ramah tersenyum ketika aku berhenti di hadapannya.
“Apa yang Anda butuhkan, Nona Cantik?”
Aku menunjuk tumpukan jamur kancing dan juga kentang, serta beberapa dedaunan. Tanpa bicara aku memberikan uang, dan ia tersenyum lagi.
“Anda sangat pucat dan kurus. Anda harus memperhatikan tubuh Anda, menjaganya, karena kalau tubuh Anda sakit Anda juga yang susah bukan?”
Aku menolak dengan isyarat tangan.
“Jangan terlalu keras pada diri Anda sendiri. Sesekali tak apa menjadi memanjakan diri. Ambillah!”
Aku tertegun. Dan untuk waktu yang entah sejak kapan, aku akhirnya tersenyum, lalu membungkuk.
Terima kasih!
Dengan senyum merekah kuberlari dengan semangat menuju gubuk, mematut pantulan diriku sekali lagi pada kaca.
Kenapa harus mencari orang lain untuk dicintai ketika aku masih punya diri sendiri? Kumenoleh, melihat ada sedikit tanda bahwa tanaman hatiku akan segera berbunga.
Selesai
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top