Poetry Fairy

Aku ingin menggapai mimpi itu untuk bertemu denganmu

Lalu kita bercampur menjadi satu

Dan melahirkan sebuah alunan lagu

Dari imajinasi yang menggebu

Udara hangat menyengat kulit, seperti seekor nyamuk yang ragu-ragu meminum darah targetnya. Ada rasa geli dari keringat yang berjalan pada permukaan kulit. Keringat yang lahir, berjalan, kemudian mati ditimpa telapak tangan. Sederhananya, gerah.

Aku Adalia Avery. Adalia berarti indah, Avery berarti pemimpin para peri. Terdengar mengada-ada, tapi aku membaca di situs arti nama begitu adanya. Aku belum pernah bertemu peri. Ada beberapa pendapat tentang peri di dunia ini, ada yang bilang peri itu cantik dan cerminan wanita idaman, ada juga yang bilang peri itu buruk rupa, kecil, dan menyeramkan.

Kutemukan nada menggema merdu di sela-sela suara angin yang saling memanggil. Ada seseorang wanita yang menurutku cantik, sampai nafsu bicara panjang lebar menjelaskan kalau dirinya adalah makhluk terindah di sekitar taman ini. Dia mengenakan gaun putih bersih yang seolah bersinar terkena pantulan cahaya mentari. Entah apa yang membuatku begitu gelisah, rasanya ingin sekali kurangkai kata untuknya. Namun, untuk apa pula? Kurangkai kata pun tidak akan membuatnya terpanggil. Dia berada cukup jauh, terlalu memalukan untuk berteriak memanggil.

“Putih, lukiskan terik siang ini. Memandangi, hanya memandangi saja. Ingin rasanya dirinya singgah, mengutarakan perasaannya. Ingin rasa hati menjadi cintanya.” Spontan aku merapal puisi, parasnya seolah menyihir otak dan lidahku. Dalam satu kedip, wanita itu menghilang.

“Hai, kamu pasti Adalia Avery.” Tiba-tiba wanita itu duduk di sebelahku. Sejenak tubuh ini menggigil. Udara dingin apa ini?

“Ka … kamu siapa?”

“Aku Bianka, peri puisi. Aku menyukaimu. Aku rasa kamu adalah cinta pertamaku.”

Seperti puisi yang menjadi nyata. Wanita bernama Bianka yang mengaku dirinya peri puisi ini mengungkapkan perasaannya dan menjadikanku cintanya. Apa yang terjadi?

“Kenapa kamu menyukaiku?”

“Aku tidak tahu tapi aku menyukaimu. Kamu ….” Dia terdiam.

“Hai, hai. Kok diam?” tanyaku.

“Ternyata kamu mewarisi kekuatan itu. Kekuatan untuk memimpin para peri,” ucap Bianka.

“Tapi aku manusia, dari mana kamu tahu? Bagaimana bisa aku mendapatkan kekuatan itu?” tanyaku.

“Aku melihat cahaya merah di dahimu. Aku tidak tahu kamu dapat kekuatan dari mana, tapi Avery adalah simbol pemimpin di negeri kami.”

“Lalu apa yang membuat puisiku menjadi nyata?”

“Aku yang membuatmu berpuisi karena aku adalah peri puisi. Namun, di puisimu terdapat perintah untuk mengungkapkan perasaanku padamu, hingga aku tidak kuasa untuk menolaknya,” jawabnya.

“Begitu ya. Apa kekuatanku hanya berlaku untuk peri?”

“Kekuatan untuk memimpin para peri setahuku hanya berlaku untuk peri. Aku tidak tahu itu bisa berlaku untuk menusia. Jadi, aku harap kamu tidak asal menggunakannya.”

“Maukah kamu menjadi pengikutku?” tanyaku kepada Bianka.

“Aku … mau,” ucap Bianka. Aku tersenyum.

“Kamu menggunakan untuk kesenanganmu ya?” Bianka terlihat kesal.

“Aku suka puisi. Jika aku di dekatmu, membuat puisi akan menjadi lebih mudah. Jadi, aku ingin kamu di dekatku.”

“Baik, Tuan.”

“Panggil saja, Adalia.”

“Kamu … kurang ajar!”

“Siapa yang suruh panggil ‘Tuan’?” tanyaku sambil tertawa.

“Ih, dasar!”

Bianka meminta izin untuk pergi ke dunianya. Kurasa kesepian akan datang kembali. Aku mengiakan. Dia bilang, jika terjadi sesuatu tinggal panggil namanya saja, dia akan langsung berada di sebelahku. Menarik. Dia pun menghilang.

Aku memutuskan untuk beranjak pulang naik motor. Di tengah perjalanan, aku membeli donat dan kopi. Perjalanan masih jauh dan rasa kantuk sudah cukup menguasai. Mataku sepertinya sayu. Setelah menghabiskan donat dan kopi, aku kembali melaju.

Jalanan cukup sepi, padahal masih sore hari. Aku mempercepat laju motor karena dengar-dengar di sekitar sini ada komplotan penyamun yang belum tertangkap. Beberapa hari lalu ada korbannya, seorang pengendara motor juga. Semakin khawatir rasanya.

Beberapa saat kemudian, ada tiga motor yang kulihat mengikuti. Beberapa persimpangan terlewati tapi mereka masih mengikuti. Tiba-tiba dua motor menyergapku dari kanan dan kiri. Sial, bagaimana ini?

Penumpang masing-masing memegang parang dan rasanya siap menebasku kapan saja.

“Berhenti! Turun lu!” ucap salah satu dari mereka. Aku mengabaikannya dan terus meningkatkan kecepatan motor. Mereka juga demikian, menyeimbangkan kecepatan motor. Aku panik dan yang terpikir olehku adalah Bianka. Meski rasanya dia baru saja pergi ke dunianya, tapi ini darurat. Aku mencoba memanggilnya.

“Bianka!”

Tiba-tiba motor-motor itu menjauh, beberapa jatuh menabrak trotoar. Aku lihat kaca spion ternyata Bianka sedang duduk di belakangku. Sepertinya mereka mengira Bianka adalah makhluk halus. Ya, tidak sepenuhnya salah juga. Aku memanfaatkan keadaan ini untuk kabur.

“Kamu ini ya, baru juga ditinggal sebentar,” ucap Bianka.

“Entahlah, mungkin peri kesialan sedang mengikutiku.” Aku bergurau mencoba mencairkan suasana.

“Bisa jadi,” ucap Bianka.

“Eh, apa?”

“Iya, peri kesialan bisa saja mengincarmu atau mungkin mencoba membunuhmu.”

Cukup merinding mendengarnya. Namun, aku tetap melaju. Tak lama Bianka menghilang, sepertinya dia kembali ke dunianya. Peri kesialan ya, aku tidak tahu seperti apa dia, tapi kuharap tidak bertemu dengannya.

Seketika langit menjadi gelap. Kilatan demi kilatan bersahutan. Namun, hujan belum juga turun. Aku sudah menurunkan kecepatan motor untuk berhenti ketika hujan turun, untuk memakai jas hujan. Tiba-tiba di depanku petir menyambar sebuah pohon. Petir yang dahsyat membakar pohon tersebut.

“Dia datang, peri kesialan.” Suara Bianka dari belakang. Dia kembali.

“Kukira kamu pergi,” ucapku.

“Kamu yang bilang aku harus mengikutimu. Dari tadi aku di sini tahu.”

“Lalu ada apa dengan peri kesialan?”

“Dia datang untuk membunuhmu. Kurasa dia tahu kekuatanmu.”

Pohon yang terbakar petir pun tumbang, jatuh menghalangi jalan. Kini jalan tertutup.

“Itu dia!” ucap Bianka.

Aku melihat wanita bergaun kuning dengan mata merah menyala dan bersayap! Dia terbang di atas nyala api yang besar.

“Jadi kamu orangnya, pemilik kekuatan untuk memimpin para peri.”

“Eleonora, apa maumu?” Nama peri kesialan itu ternyata Eleonora.

“Ah, Bianka. Kamu sudah jadi budak orang ini rupanya.”

“Tidak, dia tidak menganggapku budak!”

“Kamu sudah terkena sihirnya. Lihat, di mana sayapmu? Kamu ingin menjadi manusia? Sekarang biarkan aku membebaskanmu. Aku akan membunuhnya.”

“Ele ….” Petir menyambar kembali, memotong pohon menjadi beberapa bagian. Potongan pohon itu dibuat melayang.

“Sekarang rasakan ini!”

“Adalia, berpuisilah!” Aku mengangguk.

“Petir menyambar. Sebuah pohon menjadi tumbal. Kini kuingin semua kembali seperti semula. Hilang kekuatan, hilang daya, menyerah. Jadilah, asap menjadi rantai, yang mengikat sampai kata ampun keluar menguap.”

Hujan turun dengan deras. Mengubah api menjadi asap yang tebal. Asap tersebut seolah mengikat Eleonora. Dia terlihat lemas. Mata merahnya yang semula menyala pun redup.

“Sa … kit. Bagaimana kamu bisa punya kekuatan itu? Manusia rendahan. Argh!” Sepertinya semakin dia merendahkanku, semakin dia terlihat kesakitan. Padahal itu hanya asap.

“Bagai petir yang menyambar, merenggut kata ampun dari mulutnya!”

Eleonora teriak sejadi-jadinya. Bianka mencoba menghentikanku. Dia sepertinya mencabut efek kekuatan peri puisinya dariku.

“Minta ampun sekarang!” ucapku.

“Ampun! Ampun! Ampun! Tolong hentikan!” teriak Eleonora.

“Berhenti!” ucapku.

Hujan kembali membesar, hingga tak lama asapnya menghilang. Eleonora terlihat menangis kesakitan. Dia pun menghilang.

“Kamu benar-benar kelewatan, Adalia,” ucap Bianka.

“Maaf, aku tidak mau kita terluka. Terima kasih sudah membantuku.”

Bianka pun duduk di belakang. Kali ini dia tidak menghilang. Aku melanjutkan perjalanan pulang. Hari yang melelahkan. Setelah ini aku harus tidur pulas.

***

Note:

Adalia: Mulia, Indah, Ningrat (Jerman/Mancanegara)

Avery: Pemimpin para peri (Inggris-Amerika)

Bianka: Putih bersih (Italia)

Eleonora: Cahaya, Obor (Polandia)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top