Menikmati Hidup

“Karena bosan, akhirnya kami memutuskan untuk menggambar wajah masing-masing. Siapa yang paling mirip, dia pemenangnya-hey! Arion, kamu dengar aku, ‘kan?” 

“Ah? Iya, maaf.” Dia, Arion, tersenyum malu sambil menggaruk surai tebalnya. “Kurasa aku terlalu merindukanmu.”

Aku tersenyum miris. “Tidak apa, tidak apa. Aku di sini. Aku selalu ada di samping Arion, lho.” Memasang senyum terbaik, aku menggenggam tangannya erat.

“Kalau begitu ... “

“Ah, ini sudah waktunya!” Aku bisa merasakan tubuhku semakin ringan dan jadi transparan. “Sampai bertemu besok, Arion!”

“Lisa, aku benar-benar merindukanmu. Kumohon, bangunlah.” Arion kelihatan sangat sedih saat ia berusaha menggapaiku.

Aku tidak bisa berjanji. “Aku juga sangat merindukanmu, Arion!” Aku tak yakin apa Arion bisa mendengarku, karena tubuhku sudah terpental keluar dari mimpinya. 

***

Rumah sakit pagi ini cukup sepi, khususnya bagian kamar rawat inap. Aku melangkah menuju kamarku, tersenyum saat melihat Arion sudah duduk di dalam. Sepertinya Mama sudah pergi kerja lagi. 

“Selamat pagi, Arion!” Aku buru-buru menyapanya, kuharap aku tidak terlambat setelah keluyuran semalaman. Duduk di atas kasur, aku bersiap mendengarkan Arion lagi hari ini.

Arion hanya duduk termenung seolah tak mendengarku. Akan tetapi, tangannya menggenggam erat tanganku yang tidak diinfus. “Semalam aku memimpikanmu. Kamu kelihatan sehat dan cantik seperti biasa.”

Pipiku sedikit memanas. “Arion, sejak kapan kamu pintar menggombal?” Padahal Arion juga sangat ganteng dan tampan. Namun, aku terlalu malu untuk mengatakannya secara langsung.

“Di mimpi, aku bisa memelukmu, kamu bisa menyentuhku juga. Kenapa kamu tidak datang dari jauh-jauh hari?”

“Yah, ini salah Arion sendiri. Kamu tidak tidur nyenyak beberapa minggu terakhir. Kamu harus tidur dengan baik jika ingin aku mendatangi mimpimu!” Aku mengomelinya, sudah begitu lama aku khawatir melihat kantong hitam di bawah matanya itu. Bukan hanya tidak tidur, Arion juga nakal dan tidak mau makan. Aku terlalu repot mengingatkannya, tetapi Arion keras kepala dan tidak mau mendengarku. “Sepanjang kamu tidur, aku pasti akan menemuimu di sana!” 

“Maaf.”

Senyumku luntur. Ah, dia mulai lagi. “Hentikan.”

“Maafkan aku. Maaf. Lisa, kumohon maafkan aku.” Arion meletakkan dahinya di tanganku, seolah membungkuk meminta maaf.

“Kenapa Arion minta maaf? Arion tidak salah apa-apa, lho.” Setiap melihat Arion begini, hatiku sangat sedih. Sangat sangat sedih.

 “Aku menyesal, Lisa. Aku benar-benar menyesal.” Arion selalu begini, menolak untuk mendengarku seperti ini. Dia tidak akan berhenti sampai dia mulai menangis. “Kalau saja sejak awal aku menolak taruhan itu. Kalau saja aku tidak bodoh. Apakah kita masih bisa bersama?”

Entah sejak kapan air mataku sudah keluar. Arion kelihatan hancur. Dan ini semua karenaku? “Arion bodoh. Sudah kubilang aku tidak tahu apa-apa soal taruhan. Aku meminta putus bukan karena itu. Malahan, aku senang kalau itu semua hanya taruhan. Berhentilah minta maaf.” Berapa kali aku harus menjelaskannya agar Arion mengerti? 

“Maaf, maafkan kau. Tolong beri aku satu kesempatan lagi. Aku mohon, Lisa.” 

“Cukup! Hentikan! Aku memaafkanmu! Aku memaafkanmu! Apa ini tidak cukup? Sudah, jangan menangis lagi. Arion, jangan menangis.” Hatiku sakit melihatmu begini. Apa kamu tidak lelah, mengulang rutinitas yang sama? Arion, apa air matamu tidak habis? 

***

“Kenapa semalam kamu tidak datang ke mimpiku?”

Rasanya aku ingin sekali menjitak kepala Arion. “Menurut kamu kenapa? Jangan bohong, kamu tidak tidur tadi malam!” Anehnya, meskipun Arion tidak tidur, dia kelihatan lebih segar. Minus kantong mata yang masih hitam dan wajah yang sedikit pucat, sebenarnya Arion terlihat lebih ... ceria?

Aku jadi penasaran. Jika Arion datang dengan kabar baik, mungkin dia tidak akan menangis lagi hari ini!

Arion mengeratkan genggamannya pada tanganku, lalu tersenyum. “Aku sudah memutuskan, aku akan kembali memotret.” 

Mataku membesar. “Apa? Sungguh? Kamu akan memotret lagi? Arion, kamu tidak boleh berbohong, lho!” Aku ingin sekali memeluk Arion dengan erat. Apa ini artinya Arion sudah memilih untuk move on?

“Aku memikirkannya sepanjang malam. Sudah banyak orang yang menceramahiku, mengomel dan sebagainya. Katanya, aku tidak bisa lama-lama seperti ini. Mereka bilang, kamu akan sedih jika melihatku begini terus.” 

“Mhmph! Setelah membuatku menangis hampir tiap hari, kamu baru sadar? Arion, kamu ini bodoh atau bagaimana, sih?” Arion keras kepala, butuh berapa orang yang harus berteriak ke telinganya agar dia mengerti? Untung saja sekarang dia sudah sadar.

“Tapi mungkin aku akan beli kamera baru. Di kamera lama, ada banyak sekali kenangan tentang kita. Maaf ya, aku lemah.” Arion meminta maaf lagi, kepalanya menunduk sambil jempolnya mengelus punggung tanganku dengan lembut.

Aku mengembuskan napas. “Oh, ayolah, Arion. Kamu selalu begini. Awalnya senang-senang, lalu meminta maaf, merusak suasana saja! Beli saja kamera baru, lebih canggih dan bagus! Aku tidak akan marah!”

Untungnya, Arion tidak lagi memohon-mohon maaf padaku. Malahan, dia langsung berdiri dari tempat duduknya. “Mungkin aku akan lebih sibuk, tapi aku janji akan melihatmu sesering mungkin.”

“Janji, ya! Janji tidur nyenyak juga!”

Arion hanya tersenyum, lalu berbalik menuju pintu kamar rumah sakitku. Aku menatap punggungnya yang kini sudah lebih tegap dengan bangga. Saat Arion melihat ke belakang untuk terakhir kalinya, aku melambaikan tangan. Akhirnya, Arion benar-benar pergi.

Sudah berapa lama? Oh iya, sudah hampir dua bulan.

Aku melirik pada sosok yang berbaring di kasur. Sosok yang tangannya digenggam Arion tiap hari. Sosok yang matanya tertutup rapat dan didukung berbagai macam alat medis agar tetap hidup.

Sosok diriku sendiri.

***

Arion adalah mantan pacarku. Dia yang mendekatiku duluan, dan karena Arion baik dan menyenangkan, lama-kelamaan aku pun jatuh hati. Kami pun menjadi sepasang kekasih. Arion hobi memotret. Bukan hanya hobi, dia juga menghasilkan uang dengan memotret. Arion suka memotretku setiap kita pergi kencan. Dia tidak pernah memperlakukanku dengan kasar, dan selalu mengantarku pulang sebelum jam malam. Aku sayang Arion. Aku sangat sayang Arion.

Makanya, hubungan kami harus berakhir.

“Lisa, aku tidak mau putus.”

Sebenarnya hatiku hancur berkeping-keping mendengarnya. Tapi aku harus memutuskan hubungan Arion. Aku tidak bisa mengikatnya dengan seseorang sepertiku. Makanya, begitu dia mengaku soal taruhan, aku tidak marah. Arion mengira aku minta putus karena tahu bahwa aku hanya bahan taruhan Arion dan teman-temannya. Padahal, aku tidak minta putus karena itu.

Aku sakit parah dan harus dioperasi. Operasinya memiliki tingkat keberhasilan kecil. Setelah operasi, aku bisa sembuh, atau jatuh koma, atau kehilangan nyawa. Hidup dengan penyakit tidak menyenangkan sama sekali. Dulu, aku tidak memperhitungkan hidupku sedalam itu. Aku setuju untuk operasi karena aku tidak mempermasalahkan apa pun hasilnya nanti, Papa dan Mama juga sudah ikhlas.

Lalu, Arion datang ke hidupku. Berkatnya, aku ingin tetap hidup, aku mau sembuh. Namun, tetap saja operasi ini berisiko. Satu-satunya cara adalah putus. Dengan begini, Arion tidak akan terlalu sedih jika sesuatu terjadi padaku.

Siapa sangka semuanya akan jadi begini?

Begitu membuka mata, tak seorang pun bisa melihat dan mendengarku. Tubuhku masih tertidur sangat dalam, tetapi ragaku tidak bisa kembali. Apa artinya aku mati? Atau aku menjadi arwah penasaran? Entahlah.

Sudah empat bulan berlalu. Aku sudah melihat Arion jatuh terpuruk, dan aku juga sudah melihatnya perlahan bangkit. Melihat Arion tersenyum lagi dan menjadi dirinya yang kukenal, rasanya aku tidak punya penyesalan lagi.

“Lisa!”

Aku melihat ke arah pintu yang dibuka dengan kasar. “Arion...” Senyumku mengembang, suaraku masih lemah karena baru bangun. Detik berikutnya, aku sudah berada dalam rengkuhan hangat laki-laki yang masih aku cintai.

“Apa ini mimpi? Apa aku bermimpi? Lisa, kamu benar-benar bangun? Lisa, Lisa ....”

“Arion, kenapa kamu menangis ....” Tak kusangka aku akan melihat Arion menangis lagi. Bedanya, kali ini aku bisa menghapus air matanya secara langsung. “Ini bukan mimpi. Aku di sini, Arion. Aku selalu di sini.”

Arion kembali memelukku. Pelukannya erat, tetapi aku tahu dia menahan diri untuk tidak menyakitiku. “Kamu di sini. Ya. Ini memang bukan mimpi.”

“Arion ... kamu bisa dengar aku, ‘kan?”

“Tentu saja.”

Mataku terasa buram. Bohong jika aku tidak takut. Setiap hari aku gelisah karena tak kunjung bisa memasuki tubuhku kembali. Bagaimana jika aku mati? Aku belum mau mati. Aku masih ingin menghabiskan waktu dengan Arion. Aku ingin Arion bisa melihat dan mendengarku. Empat bulan ini terasa seperti mimpi buruk.

Kami berdua menangis sambil berpelukan cukup lama. Aku bahkan tidak sadar sejak kapan Mama sudah masuk ke kamar lagi, tetapi Mama hanya membiarkan kami. 

Bagaimana aku bisa bangun dan kembali? Aku juga tidak tahu. Tapi aku benar-benar bersyukur semua sudah berakhir. 

“Aku sayang kamu, Lisa.”

“Aku juga sayang Arion.”

Kini waktunya aku menikmati hidup dengan orang-orang yang kusayang.

SELESAI

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top