Kembalinya Sang Biduan

“Cah ayu, apa ndak kepingin seperti dulu?”

****

Ayu kembali. 

Ikhbar itu serupa api yang memakan hamparan alang-alang; semakin merambat, bertambah pula hawa panasnya. Banyak bisik yang beredar. Acap kali lewat depan rumah Karsa, tak kuasa mereka menatap depan, pasti menoleh. Meski yang didapat hanya halaman depan, banyak dari mereka yang sengaja wara-wiri. Semua penasaran. Hampir tiga bulan tak tatap mata mereka dengan Ayu. Terakhir terlihat di desa, tubuh Ayu masih dipenuhi koreng yang bernanah serta berbau amis. Wajah sang biduan pun tidak luput dari bentol-bentol menganga dan mengeluarkan darah. Konon sudah mati si Ayu di tanah orang. Berpatok pada kabar  burung itu, beberapa warga tidak percaya bahwa Ayu kini ada di rumah Karsa. Namun, malam ini berkumandang undangan. Panggung besar sudah didirikan di tanah lapang milik Karsa. Dendang tak lama terdengar. Membuat seluruh warga desa terbuai dengan suara yang dirindu. 

Tidaklah bohong, jika pernah Ayu menjadi biduan yang tersohor. Seperti ibunya, Ayu memiliki cengkok yang bikin candu. Paras Ayu pun selalu mendatangkan decak kagum; hidung bangir, bibir tebal, bulu mata lentik, sorot mata yang sayu, dan lekuk kecil yang muncul di pipi kala tersenyum, menjadi daya tarik yang tidak dimiliki biduan Karsa yang lain. Ditambah buah dada yang montok dan bokongnya yang sintal, sekali bergoyang membuat para lelaki enggan melupakan. Meski sering cekcok dengan beberapa perempuan lantaran dinilai terlalu menggoda, Ayu tetap diakui sebagai kembang desa.

Sebenarnya, menjadi biduan tidak pernah terlintas dalam benak di masa kecil Ayu. Walau sering membuntuti ibu, tak sekilas pun dia bayangkan berdiri di panggung sembari disawer. Kematian sang ibulah yang membuat langkahnya dikuasai Karsa. Karsa seolah penyelamat bagi Ayu yang putus sekolah dan tidak memiliki sanak saudara. Bersama Karsa dilatihnya suara, cara bersolek, dan teknik memanjakan mata lelaki saat bernyanyi. Banyak yang suka. Tidak sedikit yang rela mengeluarkan uang tiap kali Ayu ajak naik ke panggung. Perlahan dan pasti Ayu menjadi tambatan hati lelaki. 

“Mau lagi?”

Entah sudah berapa lagu yang dibawa, napas Ayu tidak tersengal. Pun suaranya masih jernih seperti tadi awal bernyanyi. Berbeda dengan para pemain musik, terutama peniup suling. Napas lelaki itu sudah putus-putus, tetapi tetap meniupkan nada yang dipinta. Begitu juga dengan seluruh orang desa. Termasuk keluarga Karsa yang turut berdiri di bawah panggung. Terlihat jelas pucat di masing-masing wajah dan keringat yang merembes di baju. Tangis anak-anak dalam gendongan para ibu pun semakin menjadi. Namun, sorot mata Ayu jauh lebih kuat menarik mereka untuk tetap larut dalam suasana yang dicipta. Tanpa bisa berhenti, bergoyang lagi mereka. 

Lagu terus mengalun. Cengkok Ayu semakin menjerat dan goyangannya kian mengikat. Di antara gerak bibirnya yang mengeluarkan lirik, senyum terpatri. Lalu tatapnya tertuju pada salah satu anak Karsa. Gendhis. 

Gendhis hanya lebih tua sedikit dari Ayu. Namun, sepanjang Ayu diajarkan Karsa, sikapnya sungguh melebihi istri Karsa. Pernah Ayu disuruh memijatinya hingga tengah malam. Sering juga diperintah membaluri lulur dan mengusap daki. Ayu lebih diperlakukan sebagai kacung. Karsa tahu. Istri Karsa tahu. Pun kedua anak yang lain. Meski tidak turut secara langsung menjadikan Ayu babu, perilaku mereka tetap merendahkan Ayu. Padahal, Ayulah yang membuat pundi-pundi Karsa semakin gemuk. 

Karsa memang tidak hanya punya satu orkes dangdut dengan tiga biduan, dia juga ada sawah yang luas. Namanya tercatat di setiap otak orang desa sebagai juragan. Namun, begitu Ayu naik panggung, sedikit demi sedikit Karsa membangun kekayaan. Sekarang tidak hanya sawah yang luas dan satu orkes dangdut, Karsa pun memiliki banyak kambing, toko kelontong, dan menjadi salah satu pemasok sayuran di pasar. Mobil sudah ada dua. Motor empat. Dari semua yang dia punya, Ayu hanya diberi sepetak rumah. Itu pun masih membuat iri Gendhis.

Sejak Karsa menjadikan Ayu biduan, tatap Gendhis tak pernah luput dari Ayu. Saban bertemu, pasti ada saja tingkah Gendhis. Pernah Ayu melawan, tetapi langsung dihadapkan pada Karsa dan istri. Meski sering dibeberkan Karsa apa saja yang mereka miliki, rasa tersaingi tetap tumbuh kuat dalam benak. Semakin hari bertambah pula sebal di hati. Terlebih Ayu tumbuh sesuai arti nama yang diberi. Ingin Gendhis tidak hanya orang-orang mengenalnya sebagai anak juragan, tetapi juga gadis tercantik di desa. Namun, mau sekeras apa pun dia berdandan, tetap Ayu yang bersinar. 

Puncak dari endapan emosi buruk di hati Gendhis adalah ketika secara langsung mendengar lelaki pujaannya kesengsem Ayu. Belum lagi ucapan orang-orang yang membandingkan dia dengan Ayu. Namun, bukan pada si pemuda dan orang-orang itu dia membalas, langsung Ayu yang dituju. Buah dari apa yang dia sepakati dengan seseorang di kaki gunung jelas terlihat sampai tiga bulan yang lalu.

Sekujur tubuh Ayu korengan bahkan sampai ke wajah. Ayu menjadi buruk rupa dan dijauhi. Tentu Ayu masih mengingat denyut nyeri dari setiap borok di seluruh badannya. Ayu yakin, orang-orang desa dan keluarga Karsa tahu bahwa itu bukan penyakit yang bisa sembuh dengan salep. Namun, sudah beberapa kali sendiri ke orang pintar, penyakit itu justru semakin menjadi. Bukannya ditolong, perlahan Ayu malah diusir. Bahkan Karsa membuang muka. 

Ayu menerka siapa dalang di balik ini. Semakin yakin dia, ketika mengingat alasan seluruh orang desa yang enggan membantu. Bukan takut ikutan sial seperti yang didengungkan. Di antara semua perempuan yang bermasalah dengannya, hanya Gendhis yang memiliki kuasa. Lebih dari itu, Gendhis selalu mencari gara-gara. Sikap Karsa dan istri yang acuh tak acuh pun semakin menguatkan dugaannya. 

Ayu tidak sama seperti dulu. Dia kembali bukan sebagai penyerahan diri untuk diperah dan disakiti lagi. Ada yang terpancar dari sepasang matanya. Sesuatu yang mengilat dan membuat siapa saja yang ditatap bertekuk lutut, tak mampu melawan apa yang dia mau. 

Bukan sembarang Ayu mendapatkan hal itu. Jiwanya sudah ditukar entah dengan dedemit atau dewa penunggu lautan. Dia sudah berada di jurang putus asa, ketika seorang wanita datang ke alam mimpinya. Menawarkan sesuatu yang menggiurkan. Tidak cuma-cuma, dia harus menyerahkan jiwa setelah dendam terbalas. Terjaga dari tidur, dia menuju laut. Tidak memedulikan ombak tinggi yang susul-menyusul menghempas dan menarik raganya, Ayu terus menuju ke tengah. Kalau itu hanya sekadar bunga tidur, tak mengapa. Toh dia juga ingin mati. 

Namun, Ayu kembali. 

Raga Ayu seperti sedia kala bahkan lebih bersih dan putih. Langkahnya kembali ke kampung halaman. Bukan ke rumah sepetaknya, melainkan tempat Karsa dan keluarga tinggal. Semua dugaannya terbukti saat memasuki lagi rumah Karsa. Dalam sorot matanya, kulit wajah mereka menjadi hitam. Terutama Gendhis. Teringat akan mimpinya, bukan lagi prasangka memang keluarga Karsa yang bersalah. Dia juga membuktikan bahwa hanya dengan menatap Karsa dan keluarga bisa patuh. Bahkan tak menolak kala dia minta dibuatkan panggung di tanah lapang. 

Ayu kembali bernyanyi. Kali ini semua orang desa menonton. Lelaki-perempuan. Tua-muda. Mereka berjoget di lapangan Karsa. Tetap bergoyang meski jantung serasa mendobrak dada dan keringat membanjiri raga. 

Ayu belum mau berhenti, walau penabuh gendang dan peniup suling tumbang. Beberapa warga juga terkapar, kejang-kejang, lalu menjadi kaku. Suara tangis anak-anak pun tak lagi terdengar. Ayu masih bernyanyi. Mereka yang masih berdiri pun terus bergoyang.

Sebelum yang tersisa tumbang, Ayu menuruni panggung. Dia injak tubuh-tubuh yang sudah tak bernyawa termasuk Karsa. Didekatinya Gendhis yang gemetar dan sudah terlihat kepayahan. Sengaja dia bernyanyi di sebelah Gendhis. Meminta Gendhis mengikuti gerakannya. Menggoyangkan pinggul sembari berjongkok kemudian berdiri lagi. Begitu seterusnya.

Dari sorot mata Gendhis tersirat permohonan, tetapi hati Ayu sudah keras. Bahkan bocah-bocah turut mati bersama orang tua mereka. Tak dibiarkan seorang pun dari desanya pulang dalam keadaan bernapas. Sadar Ayu perbuatannya memang  kejam. Namun, jika menelisik masa kanak-kanak dan remajanya, ini pantas.

Ayu selalu dihina karena tidak memiliki bapak. Sepeninggal sang ibu, keluarga Karsalah yang berkuasa atas dirinya. Tak boleh dia menolak setiap perintah Karsa, termasuk meniduri beberapa lelaki. Sakit yang diderita tidak mengundang iba dari para perempuan di desa, melainkan desas-desus tidak mengenakan. Beberapa anak bahkan mengatainya secara terang-terangan.

Sakit hati Ayu saat ini terbalas. Tubuh Gendhis ambruk. Tidak ada lagi yang berdiri kecuali Ayu. Meski terasa seperti baru beberapa jam, sudah berhari-hari dia bernyanyi. Sedikit pun tak dirasanya lelah. Kini, setelah meludahi wajah Gendhis, dia pergi sambil bersenandung. Sesekali tersenyum. Senang hatinya. 

SELESAI

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top