I Love You, But ...
Varsha terbangun dari tidur panjang, ia mengerjap membiasakan matanya yang sudah tertutup cukup lama dengan cahaya lampu di ruang tempatnya dirawat. Sudah hampir satu bulan Varsha mengalami koma akibat benturan keras di bagian belakang kepalanya sesaat setelah terpeleset di kamar mandi sekolah.
Setelah matanya beradaptasi dengan keadaan, Varsha hendak menggerakkan kepalanya, mencari keberadaan orang yang ia bisa mintai pertolongan. Ia butuh minum, tenggorokannya terasa sangat kering.
“To–tolong, aku haus,” ucap Varsha dengan terbata-bata setelah melihat seorang gadis seusianya tengah berdiri di sebelah bangsal seberang tempatnya dirawat.
Gadis itu menoleh sambil mengernyitkan dahi. Ekspresi yang ditunjukkan sang gadis membuat Varsha heran, bukannya membantu gadis itu malah terlihat kebingungan.
“He–hei, bisakah kamu mengambilkan gelas itu untukku?” pinta Varsha lagi karena gadis itu masih diam tak bergerak.
“Kau bisa melihatku?” Bukannya membantu Varsha, gadis itu malah bertanya. Kini, Varsha yang kebingungan dengan pertanyaan gadis itu.
“Daripada kau bertanya yang tidak-tidak, lebih baik bantu aku mengambil gelas itu. Aku mohon, tenggorokanku sudah terasa sangat kering.”
Gadis itu mendekati gelas yang ada di atas nakas sebelah tempat Varsha berbaring, meski ia tidak yakin bisa membantu pemuda yang bisa melihatnya itu. Namun, belum sempat gadis itu mengambil gelas yang ditunjukkan Varsha, suara derap kaki mendekat ke arah mereka.
“Varsha, kamu sudah sadar, Dek!”
~~~
Dua minggu berlalu, keadaan Varsha pun semakin membaik, dan kini ia sudah dipindahkan ke ruang perawatan setelah bertarung antara hidup dan mati di ruang ICU. Tapi Varsha tidak lagi menemukan gadis yang ia lihat saat pertama kali ia membuka mata setelah melewati tidur panjangnya.
Varsha mulai berpikir, apakah gadis yang ia temui seminggu yang lalu itu adalah sesosok hantu?
“Ah, masa, sih ada hantu secantik itu?”
“Siapa yang cantik, Var?”
Varsha tergagap, gumamannya ternyata ternyata terdengar oleh kakaknya yang baru saja masuk ke dalam ruangannya setelah membeli sarapan.
“Cantik apaan, sih, Kak? Perasaan kakak aja kali itu mah!” Varsha mengelak. Bahkan ia belum menceritakan pertemuannya dengan gadis cantik yang hampir saja membantunya mengambilkan minum, jika saja kakaknya tidak tiba-tiba datang.
“Dih, kamu kira kakak budeg apa?”
“Kak, aku kapan pulang?” tanya Varsha mengalihkan pembicaraan.
“Kamu tuh baru aja sadar dua minggu yang lalu, Dek. Sabar, masih harus pemulihan juga, ‘kan.” Varsha mendengus kesal, ia sudah bosan berada di rumah sakit.
Dua minggu yang ia rasakan terasa sangat lama. Ditambah, sehari-hari Varsha hanya ditemani sepi, apalagi saat kakaknya sedang kuliah. Jika menanyakan dimana kedua orang tua Varsha, mereka sibuk dengan pekerjaan dan bahkan terlihat tidak peduli dengan kejadian yang menimpa anaknya.
Varsha mengayuh kursi rodanya menuju taman, sepanjang jalan Varsha melihat banyak manusia yang menatap dirinya. Tapi, manusia-manusia ini terlihat sangat berbeda, wajah mereka pucat seperti tidak ada darah yang mengalir di sepanjang nadi mereka.
Semenjak sadar dari koma, Varsha sering melihat sosok-sosok manusia yang terlihat aneh. Namun ia masih menganggap kalau mereka itu adalah pasien yang sama seperti dirinya. Memang, sepanjang hidupnya Varsha kurang meyakini adanya makhluk ghaib, termasuk setan, hantu dan sejenisnya.
Setelah sampai di taman rumah sakit, Varsha mengunci kursi rodanya menikmati semilir angin sore yang hangat. Varsha menengadah, menatap langit biru yang mulai dihiasi semburat jingga.
Varsha tiba-tiba merasakan seseorang berdiri tepat di sebelahnya.
“Eh….” Varsha berseru saat melihat gadis yang ia temui di ICU dua minggu lalu berdiri di sebelahnya. Rambut sebahunya tertiup angin membuatnya terlihat sangat cantik meski wajahnya terlihat sangat pucat.
“Kamu, laki-laki yang bisa melihatku itu, ‘kan?” tanya gadis itu pada Varsha yang mendongak dari kursi rodanya.
“Iya, lah. Aku punya mata, sudah pasti bisa melihatmu.” Gadis itu malah terkekeh mendengar jawaban dari Varsha.
“Apa kau mengira tempat ini ramai?” tanya gadis itu lagi. Varsha mengangguk, sepenglihatannya ada lebih dari tiga puluh orang yang berlalu-lalang di taman belakang rumah sakit ini. “Tapi nyatanya, kalau di mata orang lain, di taman ini hanya ada kamu sendiri.”
Varsha membelalakkan matanya, ia tidak percaya jika saat ini ia berada di tengah-tengah para hantu yang berkeliaran.
“Tapi, jika kamu berpikir kalau aku dan orang-orang ini hantu, itu salah besar. Kita sebenarnya sedang dalam posisi antara hidup dan mati.”
“Ja–jadi, m–maksudnya?” Varsha ketakutan dan hendak pergi dari taman itu. Namun, entah mengapa tangannya seakan-akan membeku, tidak bisa menarik tuas rem yang menahan kursi rodanya.
“Aku dan orang-orang ini sebenarnya dalam keadaan koma. Kamu juga pernah mengalaminya, bukan?” Varsha mengangguk, “Tapi bedanya, kamu hanya tertidur. Sementara aku, raga dan jiwaku terpisah. Mungkin sebenarnya aku belum waktunya untuk mati, tapi kecelakaan membuatku harus berada di posisi menuju mati.”
Gadis itu melangkahkan kakinya, berdiri di hadapan Varsha.
“Oh, iya. Namaku Rain. Kamu?” Rain, nama gadis itu. Ia mengulurkan tangannya memperkenalkan diri.
“Varsha.” Varsha hendak membalas uluran tangan Rain, namun malah menembus tangan gadis cantik itu.
Varsha dan Rain terkekeh, mereka berdua lupa kalau dunia mereka itu berbeda.
~~~
Setelah obrolan singkat itu, Varsha mulai terbiasa dengan sosok-sosok manusia setengah hidup, meski hanya Rain lah selalu berkomunikasi dengannya. Rain juga pernah mengajak Varsha menjenguk raganya yang terbujur kaku di ruang ICU, tepat berada di depan bangsal tempat Varsha dirawat saat masih koma beberapa saat yang lalu.
Varsha kini sudah tidak merasa kesepian lagi, ada Rain yang selalu menemani Varsha saat kakaknya sedang kuliah atau bahkan sibuk dan tidak bisa menjaganya. Rain sendiri merasa senang, akhirnya ada orang yang seumuran dengannya yang bisa ia ajak bicara.
Hari ini Varsha kembali ke taman menggunakan kruk. Kakinya sudah mulai bisa digerakan dengan normal, namun masih belum kuat untuk menumpu badannya dengan sempurna.
“Rain!” Varsha berseru mencari keberadaan Rain. Biasanya tanpa dipanggil pun Rain sudah muncul di hadapannya. Tapi, sudah berkali-kali dipanggil Rain belum juga muncul di hadapannya.
Varsha akhirnya memilih berjalan ke tengah-tengah taman, duduk di hamparan rumput yang sedikit basah setelah diguyur gerimis siang tadi. Ia menengadahkan kepala, menatap langit biru yang menjadi kebiasaannya.
Saking asyiknya menikmati angin sore, Varsha sampai tidak menyadari kalau Rain sekarang sedang duduk di sebelahnya.
“Rain?” Rain masih bergeming, wajah cantiknya ia sembunyikan di balik lutut yang ia tekuk. terdengar suara isak tangis yang membuat Varsha merasa khawatir.
“Rain, kenapa?” tanya Varsha yang dibalas gelengan kepala oleh Rain. Namun, gelengan kepala Rain tidak membuatnya lega, namun ia semakin bertambah khawatir karena isakan tangis Rain semakin terdengar jelas.
Sependek pertemuannya dengan Rain, Varsha tidak pernah melihat gadis itu bersedih, malah Rain lah yang membuatnya semangat untuk sembuh. Dan sepertinya, Varsha juga menaruh hati pada gadis yang kini berada di antara hidup dan mati.
“Varsha, bisakah aku memelukmu?” tanya Rain setelah tangisnya reda. Wajah cantik Rain terlihat sembab, sepertinya gadis itu sudah menangis sangat lama.
“Kalau saja aku bi–” Tiba-tiba saja Varsha merasakan pelukan dari samping tubuhnya. Tapi pelukan ini sangat berbeda, rasanya sangat dingin menusuk tulang.
“Mungkin hari ini pertemuan terakhir kita. Dokter sudah menyetujui untuk menyuntik mati ragaku. Memang sudah seharusnya hari itu aku mati saja, daripada terombang-ambing seperti ini. Hidup tidak, matipun belum waktunya.” Varsha semakin merasakan dingin di tubuhnya karena Rain memeluknya semakin erat.
“Terima kasih, Sha. Karena kamu aku bisa merasakan jatuh cinta, meski dalam keadaan mati. Walau aku belum tahu apakah dalam waktu kurang dari satu bulan ini kamu juga mencintaiku. Haha.” Varsha yang sejak tadi diam kini membalas pelukan Rain.
“Kalau boleh jujur, saat pertama kali aku membuka mata dan melihat sosokmu, aku sudah merasakan sesuatu yang berbeda, Rain.” Varsha menjeda ucapannya, ia merasakan sesak mendengar apa yang baru saja diucapkan Rain. “Aku merasa bahagia saat berada di dekatmu, kamu selalu menjadi makhluk pertama yang ada saat aku butuhkan. Dan, aku juga mencintaimu Rain.”
Mereka melepaskan pelukannya, lalu memberi sedikit jarak di antara mereka. Varsha mengusap wajah cantik Rain yang kini berubah menjadi lebih cerah, rona wajahnya yang sudah hilang bertahun-tahun kembali.
Entah siapa yang memulai, keduanya mendekatkan wajah mereka, hingga bibir keduanya bersentuhan, kecupan-kecupan tipis dari Varsha dibalas oleh Rain. Sampai akhirnya, Rain hilang tersapu angin.
-END-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top