[45] Pelindung

"Jelaskan dengan runtut dalam waktu enam puluh detik!" Aizawa murka, tentu saja.

Jam tidurnya terganggu karena notifikasi beruntun dari robot patroli sekolah. Bisa-bisanya mereka bertengkar di area sekolah yang mana gedung tersebut masih digunakan. Berkaca dari pengalaman sebelumnya, Aizawa dengan cepat pergi ke TKP baku hantam dan mengamankan dua bocah yang akan dia tatar habis-habisan sekarang juga.

Aizawa udah mikirin hukuman paling mengerikan untuk mereka. Mencari kadal berekor tiga, anjing mengeong, harimau kembar siam, atau ikan hiu berquirk terbang. Atau Aizawa skors saja mereka berdua?

Wali kelas berpenampilan suram itu mengamati keadaan kedua muridnya. Todoroki tidak mendapat luka serius. Namun, bibirnya sobek dan mengeluarkan darah sedang pelipis kanannya lebam. Si pelaku aniaya menampung luka frostbite di tangan kirinya, tentu efek dari perlawanan quirk Todoroki.

"Aku memukulnya lebih dulu," ucap Bakugo, sesuai perkiraan Aizawa. Dilihat dari mana pun, bocah peledak itu memang paling mungkin untuk memulai pertikaian. Kepalanya kan selalu panas. Kalau aja ada cara yang bisa membuat akhlak anak satu itu lurus sedikit.

"Alasanmu?" Aizawa bertanya balik.

Bakugo diam. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Mungkin lebih tepatnya ia tidak ingin menjelaskan apa pun.

"Aku.... membuat (Name) menangis." Todoroki menyela, membuat Bakugo berdecih kesal. Kenapa anak setengah-setengah itu gak diam aja coba? Kan kalau begini jadi ditanya lebih banyak.

"Kalian ini memangnya masih kecil? Kenapa harus bertengkar?" Aizawa mengusap wajahnya, lelah. Dan masalah ini berpusat ke anak itu lagi. (Name) lagi. Selalu gadis itu.

Ini kayaknya Aizawa memang harus merekomendasikan anak itu dipindah kelas aja.

"Aku mengatakan sesuatu yang jahat untuk gadis itu. Bakugo hanya berusaha memperingatkanku," jelas Todoroki yang entah bagaimana malah berusaha melindungi pelaku yang membuat wajahnya bengkak.

Aizawa mengangkat sebelah alisnya. Dilihat dari reaksi Todoroki yang tidak melawan, ia bisa menemukan kepasrahan dan rasa bersalah di sana. Seakan-akan dia sendiri pun tidak keberatan jika malam itu dihajar Bakugo sampai pingsan.

"Tetap saja, ada cara memberitahu yang lebih baik daripada saling pukul kan?" Kali ini Aizawa melirik Bakugo tajam. Laki-laki seperti landak itu sebenarnya pintar, tapi mengapa dia selalu memilih cara rumit dan aneh seperti ini sih?

"Sensei, sudahi detensi yang tak diperlukan ini. Cepatlah beri aku hukuman!" balas Bakugo gerah.

"Kau begitu santai karena ini kali keduamu?" cibir Aizawa, membuat Bakugo mengingat pertengkarannya yang lain dengan Midoriya.

"Sensei, pertengkaran ini tidak akan terjadi kalau sekolah tidak menyembunyikan informasi tentang (Name). Dan si Polos Setengah-Setengah ini terlalu penasaran dengan anak yang Sensei bawa tiba-tiba ke dalam kelas sampai-sampai ia tidak memedulikan perasaannya," jelas Bakugo, berusaha tidak meninggikan suaranya dihadapan sang Pahlawan Pro Eraser Head.

Aizawa terdiam sejenak. Seperti ada anomali di sini. Dia bersyukur bahwa Bakugo sudah sangat berkembang. Bocah teruk itu bisa memikirkan perasaan orang lain juga ternyata. Walau caranya agak lain.

"Apa maksudmu?" tanya Aizawa.

"Kami tahu (Name) berasal dari keluarga penjahat terkeji di Jepang," kata Bakugo.

"Dan nama ibunya (Surename) Shina. Seorang penjahat yang baru muncul di peperangan bertahun-tahun lalu, memimpin pasukan, dan berada di sisi All for One," sambung Todoroki. "Karena itu aku dengan bodohnya berpikir bahwa dia adalah anak iblis."

Aizawa terkejut. Ini adalah informasi rahasia yang hanya diketahui bahkan oleh segelintir guru. All Might bahkan tidak suka dengan fakta ini, terutama tentang situasi sebenarnya orang tua (Name). Bagaimana bisa kedua anak ini mengetahui hal tersebut?

"(Name) yang mengatakannya sendiri padaku," tambah Todoroki lagi.

"Bagaimana jika dia berbohong?"

"Saat gadis bar-bar itu memaksakan kekuatannya untuk menyelamatkanku siang tadi, dia nyaris kehabisan seluruh tenaga. Kemudian lambang aneh seperti bunga muncul di keningnya, mengingatkan kami tentang lambang di kimono yang dipakai penjahat wanita mengerikan itu saat berperang. Penjahat yang kami duga adalah Ibunya." Bakugo menjelaskan dengan runtut, langsung membuat Aizawa paham.

Memang foto sekilas tentang (Surename) Shina muncul sedikit di internet. Diunggah hanya sebagai arsip dan bukti dari bekas perang. Aizawa lupa bahwa murid-muridnya sejeli itu. Hanya berdasarkan informasi minim mereka dapat menyimpulkan dengan cepat.

Namun kini, Aizawa lah yang diterjang banyak informasi dan spekulasi baru. Tentang (Name) yang menembus batas kekuatannya hanya demi mengobati Bakugo, lambang keluarga, dan rasa penasaran yang mungkin sebenarnya telah dikubur seluruh muridnya mati-matian.

"Kenapa kita jadi membahas gadis itu?" komentar Aizawa lelah.

"Sensei, (Name) itu teman sekelas kami. Bukankah kami berhak tahu mengenai siapa dirinya dan latar belakangnya juga? Memasukkan orang asing ke dalam kelas sama saja seperti U.A berusaha membahayakan kami semua," tukas Todoroki, membuat Bakugo geram. Ia tidak ingin mendengarkan hal itu walau seratus persen benar.

"Aku percaya (Name) adalah gadis yang baik. Tapi semua rahasia dan segala hal tertutup yang ternyata disimpan olehnya dan juga sekolah tentu membuat kami semua khawatir."

"Si Setengah-Setengah benar. Kalaupun kalian ingin menyembunyikan sosoknya dengan baik, paling tidak kalian harus mengajar agar gadis kecambah itu bersikap lebih waras," komentar Bakugo. "Sikap dan mulutnya itu menyebalkan sekali."

"Kau berkata begitu seakan-akan kau adalah yang paling waras! Kau itu problematik sekali asal kau tahu!" balas Aizawa. Kan guru satu itu jadi kesal banget. Toh mulut Bakugo juga lebih parah dari (Name).

Namun bagaimanapun Aizawa telah memprediksi kejadian ini. Keputusan sekolah memang terlalu terburu-buru. Di sisi lain ia tidak bisa memperkirakan adanya kemungkinan kebocoran informasi. Aizawa tahu seberapa benci (Name) dengan keluarganya sampai gadis itu tidak mengizinkan siapa pun menyinggung hal itu. Dan hal seremeh tapi rumit yang muncul di kening (Name) membuyarkan segalanya.

Apa sebenarnya yang terjadi dengan gadis itu?

"Lalu bagaimana keadaan (Name) sekarang?"

"Beristirahat. Dia demam tinggi," balas Todoroki.

Aizawa menghela napasnya panjang, sarat akan kelelahan. "Baiklah, ini sudah terlalu malam. Aku akan memberi hukuman untuk kalian besok. Sekarang obati luka kalian masing-masing dan tidur. Dilihat-lihat ini hanya pertengkaran kecil, tapi lain kali kalau kalian ingin melakukannya lagi, sebaiknya lakukan di luar area sekolah agar aku tidak tahu," tutup Aizawa. Guru satu itu pun pergi dari asrama 1-A.

Ketika Aizawa telah menghilang dari balik gerbang, sisa anak 1-A yang sejak tadi menguping detensi darurat Bakugo dan Todoroki keluar.

"Hei, yang kalian katakan itu tidak salah?" tanya Mina.

"Tidak mungkin orang tua (Name) adalah penjahat kan?" tambah Hagakure terkejut.

"Mengapa kalian sampai membuat keributan seperti ini?" omel Iida sambil membawakan kotak P3K. Yaoyorozu dengan ligat langsung membantu ketua kelasnya mengobati dua orang itu.

"Kalian harus menjelaskan apa yang kalian ketahui!" imbuh Kirishima disusul dengan Kaminari dan tatapan tidak percayanya.

"(Name) tidak mungkin penjahat kan?"

*****

(Name) membuka matanya dan ia sadar sepenuhnya. Gadis itu tidak berada di tempat yang seharusnya. Tidak ada kasur asrama yang empuk, wewangian orange yang memenuhi ruangannya, kaos kaki dan seragam yang belum dicuci, sampai tumpukan baju yang udah dia lipat tapi belum dimasukin ke lemari.

Yang terbentang di depan matanya malah pekarangan rumahnya dahulu. Sebuah lapangan cukup luas, menjadi tempat latihannya yang biasa. Tanaman-tanaman hijau tumbuh menghiasi lapangan tersebut. Pohon sakura yang lebih tinggi juga terlihat, bermekaran penuh menandakan musim semi.

"Aku pasti mimpi nih! Aduh harus bangun! Harus bangun! Ini gimana bangunnya?" (Name) berubah panik, membuatnya sadar bahwa suaranya berubah menjadi terlalu menggemaskan. Seratus persen membuat gadis itu agak jijik.

Ia meluruskan tangannya, melihat pakaian yang dipakai gadis itu. (Name) pikir mungkin dia cuma bakal pakai pakaian putih, kayak orang yang udah mati dan pindah kehidupan. Tapi yang ia dapati malah tangannya mengecil dan dibalut dengan yukata berwarna merah muda. Dengan cepat gadis itu beranjak dari tempatnya. Dengan tergopoh-gopoh ia menuruni tangga dan berjalan menuju kolam air terdekat.

"Ini masa aku kecil lagi? Serius?"

(Name) terkejut saat melihat bayangannya di permukaan kolam. Rambutnya memendek hingga sebatas leher. Pipinya menjadi lebih bulat dan merah. Matanya bersinar terang memantulkan cahaya matahari musim semi, dan hiasan rambut serta kimono yang dipakainya manis sekali.

"Ya ampun aku dulu imut banget," puji (Name) sambil bergaya di dekat kolam. "Ohohoho, udah besar pun tetep imut juga sih!" Ia lanjut mengangkat bawahan kimononya, siap-siap split terus sikap lilin. Namun, belum juga sempat (Name) ngangkang lebar-lebar sesuatu menariknya, membuat gadis itu tersentak. "Apa yang--"

"Sayang, jangan bermain di dekat kolam, berbahaya!" omel orang itu. Tangannya yang terasa kuat mengangkat (Name) kemudian membawa gadis itu ke pelukannya. "Kalau kamu gak ada rencana jadi ikan koi dan mangap-mangap, jangan masuk ke kolam!"

(Name) mengerjapkan matanya sedikit sebelum melihat betul siapa yang mengangkatnya. Ingin gadis itu langsung jambak saja kepalanya, hingga sepasang bola mata sewarna laut ia temukan.

Lelaki berusia pertengahan dua puluh menggendong (Name) kecil dengan hangat. Senyumnya lebar dan menguarkan perasaan rindu yang langsung menusuk gadis itu dari arah mana saja. Rambut sewarna matahari miliknya, rahang yang tegas, dan tatapan yang tajam namun lembut itu jelas (Name) tahu milik siapa.

Ayah? Bagaimana bisa aku melupakan suaramu?

(Name) langsung menenggelamkan wajahnya ke dalam pelukan lelaki itu. Dia rindu sekali dengan sosok Ayah. Wangi musim semi yang memenuhi paru-parunya membuat ingatan (Name) terbuka. Ia ingat ini adalah hari terakhir ia bertemu Ayahnya dahulu.

"Maaf Ayah baru bisa mengunjungimu lagi. Sekarang, pekerjaan merepotkan sialan itu sudah selesai. (Name) mau menemani Ayah minum sake?" tanyanya dengan suara lembut yang khas. "Oh, tentu saja untukmu sudah Ayah siapkan susu rasa pisang."

(Name) menegakkan wajahnya, masih tidak percaya. Gadis itu memegang wajah Ayahnya dan mengangguk. Ya ampun wajah Ayah emang paling ganteng sedunia.

Iyalah, makanya aku cantik banget! batinnya sambil tersenyum miring.

"Ahahaha ya ampun anak Ayah menggemaskan sekali! Jadi ingin gelindingin sampai Tokyo!" serunya sambil membawa gadis itu ke sisi lain rumah.

(Name) menatap Ayahnya horor. Apa ayahnya memang selalu seperti ini? Ya walau akhirnya (Name) jadi tahu darimana asal sikap dan cara bicaranya berasal. Gadis itu tipe 'anak ayah' banget pokoknya.

Kali ini mereka berada di taman rumah. (Name) masih ingat sesi rumahnya yang ini, tempat yang paling ia sukai. Taman rumahnya dipenuhi beragam bunga warna-warni, apalagi semuanya bermekaran saat musim semi begini. Di bawah salah satu pohon sakura, sebuah tikar dan berbagai macam peralatan piknik telah tersedia.

Gadis itu kemudian diturunkan oleh ayahnya. (Name) didudukkan di pangkuan lelaki itu, membuatnya langsung bersender, mentransfer seluruh kelelahannya.

"(Name) sayang.... Kau kelihatan lelah sekali." Ayah mengambil sepiring nagamashi berbagai macam bentuk imut, kemudian menyodorkannya kepada anak satu-satunya itu.

Dengan tangan kecilnya gadis itu mengambil salah satu nagamashi dan memakannya. Ini aneh tentang bagaimana di alam mimpi (Name) masih bisa merasakan manisnya kue tersebut.

"Ayah dengar dari Ibu bahwa bakatmu telah muncul. Anak Ayah sudah semakin kuat. Coba (Name) tunjukkan pada Ayah sedikit!" pinta lelaki dengan garis wajah Eropa itu.

(Name) terdiam sebentar. Sebuah perasaan menusuk memenuhi dadanya, membuat kunyahannya berhenti. Rasa sakitnya muncul tepat ketika Ayah menyebut kata 'ibu'. Hal ini membuat (Name) ingat, setakut itulah ia pada ibunya saat masih kecil. Namun, ini hanya mimpi, ia bisa menahannha.

Perkataan Ayah juga mengingatkan (Name) bahwa ini tepat seminggu ketika ia baru mendapat quirknya. Selama seminggu itu (Name) telah tersiksa penuh karena pelatihan dari ibunya yang entah untuk apa. Gadis itu terus-terusan diam dan mengorek ingatannya lagi. Tepat di hari keenam (Name) jatuh sakit dan hari ini ia baru sembuh. Kemudian Ayahnya yang khawatir datang untuk mengunjungi (Name) seperti saat ini.

Sebuah piknik kecil menyenangkan yang (Name) suka digelar untuk menghiburnya saat itu. Pertama kalinya (Name) menghabiskan waktu dengan ayahnya berdua saja karena ayahnya yang super tampan itu terlalu sibuk bekerja. Saat itu ia tidak tahu bahwa keesokannya ia tidak lagi melihat ayahnya di ruang mana pun di rumah besar ini selain di ruang kerjanya. Entah apa yang membuat Ayah tidak pernah keluar dari sana.

(Name) benar-benar tidak tahu hal itu. Bahkan sampai kini. Sampai saat peperangan datang, All Might membunuh ibunya, (Name) yang ditransfer ke cabang keluarga Ukanami, hingga sampai saat ia hidup di U.A pun, ia masih tidak mengerti mengapa Ayah tidak pernah terlihat.

"Ah benar! (Name) baru sembuh dari demam semalam! Kau tidak perlu memaksakan diri," tukas lelaki itu kemudian. Ia mengelus-elus kepala anaknya, merasakan suhu tubuh gadis kecil itu.

"Ayah sudah dengar, bakat (Name) kuat. Sangat kuat. Sampai-sampai Ayah sangat takut kau bisa terluka karenanya."

(Name) terkejut. Ini bukanlah bagian yang tersisa dari ingatan gadis itu. Namun, ia memilih diam, membiarkan rasa rindunya tumpah ruah di mimpi singkat ini.

"Apa yang ingin (Name) lakukan dengan bakat itu? Apa kau punya cita-cita?"

(Name) masih diam. Ia ingin bilang tidak ada. Ia cuma ingin seperti ini, bersender dengan Ayah di bawah pohon sakura sambil memandangi langit biru yang indah. (Name) tidak ingin melakukan apa pun. Tapi memangnya boleh?

"Aku.... Aku ingin ikut dengan Ayah," ucapnya pelan. Satu-satunya keinginan yang diutarakan gadis itu dengan tulus.

Ayah tertawa ringan. "Ayah tidak akan kemana-mana, Sayang. Ayah selalu berada di rumah ini. Kalau gak percaya tanya saja sama tetangga."

Kau selalu ada, tapi seperti tidak ada.

"Ayah kita tidak punya tetangga."

"Ahahaha kau benar! Jadi, apa cita-citamu?"

(Name) menghela napasnya. "Aku melihat aktifitas pahlawan." Gadis itu membicarakan tentang teman sekelasnya. "Mereka sangat keren. Mereka bekerja keras untuk menyelamatkan orang lain dan mereka semua selalu tersenyum. Ayah, kalau sudah besar nanti apa (Name) boleh menjadi pahlawan?"

Ayah tertegun. Dia menatap anak gadisnya dalam-dalam, kemudian tersenyum. "Kau punya mimpi yang unik ya! Sama seperti Ayah!"

Ah, (Name) mengerti tatapan itu. Memang ia sudah pasti tidak mungkin menjadi pahlawan. Terlalu mengada-ada. Dia itu harusnya membangkitkan kembali keluarga (Surename) dan lanjut berjualan narkoba aja atau mengubur orang lain dengan semen di fondasi bangunan baru.

"Tapi Ayah kan bukan pahlawan?" balas gadis itu. Bagaimana mungkin sosok yang merupakan petinggi dunia bawah seperti ayahnya punya cita-cita menjadi pahlawan. (Name) kecil bukannya tidak tahu, berbagai perusahaan yang dipimpin Ayahnya seperti rumah sakit, pusat perbelanjaan, dan lainnya hanyalah kedok. Semuanya hanya penutup manis untuk menyelundupkan banyak barang haram dan kegiatan keji yang dikelola keluarganya sejak generasi terdahulu.

Dan sebelum perang pecah, hari-hari (Name) habis untuk menguasai seluruh hal mendasar dalam memimpin semua itu. Ia belajar bertarung, menghafal seluruh kolega keluarga, strategi bisnis, dan hal-hal rumit yang sulit masuk ke otaknya yang masih ingin bermain.

Mendengar pertanyaan gadis kecilnya, Ayah hanya tertawa. "Ayah tidak ingin menjadi pahlawan untuk orang-orang di luar sana. Ayah cuma ingin menjadi pahlawan untuk (Name) seorang."

Gadis itu menjadi agak kesal. Bisa-bisanya dulu Ayahnya membual tentang hal ini. "Memangnya Ayah bisa melindungiku dengan cara apa?"

"Dengan bakat Ayah tentu saja!" Lelaki itu mengambil pisau buah yang terletak di samping sekeranjang apel. (Name) yang sibuk menenggak susu pisang tidak melihat ayahnya yang tengah melukai ibu jarinya sendiri.

Lelaki itu memperbaiki posisi duduk (Name), membuat gadis itu mendongak, menatap wajah Ayah dengan jelas. Andai (Name) bisa terus melihat bola mata yang mengkristal seperti mutiara di bawah laut itu. (Name) selalu suka jika cahaya matahari terpantul dari sana, membuat iris biru ayahnya menjadi begitu memukau.

Ayah mengarahkan jarinya yang ternoda oleh darah ke kening (Name), membuat gadis itu bergidik karena rasa lengketnya. Sebuah simbol ia gambar di kening kecil itu. Setelah selesai Ayah mengusap kening (Name) dan seketika simbol tersebut sirna seperti sulap.

"Apa yang Ayah lakukan?"

"Melindungimu dengan quirk Ayah."

"Quirk Ayah? Aku tidak pernah tahu quirk Ayah. Memangnya bagaimana cara quirk Ayah bekerja?" tanya (Name) antusias sambil memegangi keningnya. Ia tahu betul apa yang digambar ayahnya di sana. Mungkinkah lambang keluarganya muncul saat itu karena bakat Ayahnya bekerja padanya.

Jika bakat Ayahnya masih bekerja hingga gadis itu remaja, bukankah ini pertanda bahwa Ayahnya masih hidup di suatu tempat di luar sana?

"Ayah sangat khawatir karena kau jatuh sakit karena bakatmu. Saat dewasa nanti kau akan belajar mengendalikannya, tapi perkembangan bakat (Name) begitu luas dan jauh. Jika tubuhmu tidak mampu menanganinya kau bisa dilahap oleh bakatmu sendiri, karena itu ayah menahannya sedikit. Bakat (Name) hanya akan keluar sampai batas di mana (Name) tidak akan membahayakan diri sendiri," jelasnya sambil membenarkan letak jepit rambut (Name) yang mulai bergeser tidak rapi.

"Aku tidak bisa melihatmu terluka lebih dari ini. Dengar, Ayah ingin kau mengingat lambang yang akan selalu menghubungkanmu dengan Ayah," Ayah menunjukkan simbol keluarga (Surename) yang ada di lengan kimono gadis itu, "Ini simbol keluarga kita. Saat kau melihat ini ingatlah bahwa Ayah akan selalu melindungimu di mana pun kau berada, bahkan saat (Name) tidak melihat Ayah."

"Lambangnya jelek," komentar (Name), berusaha menutupi perasaan jengkelnya.

Apanya yang melindungi coba? Toh sampai hari ini dia tidak tahu Ayahnya ada di mana. Dia kehilangan ibunya saat perang walau di dasar hatinya (Name) benci perempuan itu. Namun tetap saja kehilangannya membuat (Name) rasanya ingin ikut menyusul ke neraka saja. Di dunia ini pun rasanya tidak jauh berbeda. Penderitaannya cukup terobati saat bertemu Kazuo. Dan sekali lagi Dewa yang Agung mengambil kembali apa yang dicintai gadis itu.

Semuanya seakan-akan membenci senyuman (Name). Tidak ada satu pun hal di dunia ini yang menginginkannya untuk bahagia dan bernapas dengan tenang.

"Ya kau benar. Sayangnya Ayah bukan kepala keluarga jadi Ayah tidak bisa mengubah lambang keluarga kita. Kalau Ayah sih lebih suka buaya. Sangar banget kan?"

"Apa-apaan buaya! Berhubung nanti aku yang jadi kepala keluarga, lambangnya kuganti dengan sendal jepit atau nampan, atau centong!"

"Dih semuanya itu lebih jelek ketimbang bunga tau tidak!" balas Ayah gak terima. "Pokoknya kalau mau ganti ada buayanya lah!"

"Ayah tuh gak tahu apa yang bisa aku lakukan dengan ketiga barang itu. Memang ya orang tua itu cuma pura-pura mengerti anaknya." Dalam perdebatan tak berarti ini tentu (Name) tidak akan kalah. Meski mengesalkan, ia bisa sedikit melupakan kesedihannya. Kalau saja (Name) terus-terusan bermimpi seperti ini ia tidak ingin terbangun.

"Kenapa bicaramu tidak seperti anak empat tahun sih? Suaramu dan gaya bicaramu jadi tidak cocok," komentar Ayah.

(Name) hanya tertawa geli. "(Name) kan ingin cepat besar biar bisa mengganti lambang keluarga kita!"

"Menjadi buaya?"

"Iya, tapi pakai sendal jepit."

"Rupanya kau ini benar-benar anakku," tukas Ayah sambil memeluk (Name) erat. Ia memeluk gadis itu lama sekali, memberikan kehangatan yang tidak akan pernah (Name) rasakan lagi saat ia terbangun nanti. Dalam perasaan nyaman yang membuncah itu ia samar-samar mendengar Ayahnya berbisik.

"Sayangku saat sudah besar nanti kau bebas melakukan apa yang kau inginkan. Hidup dan berbahagialah. Di sini aku akan melakukan apa pun untukmu."

*****

02.33

"Transeric Aldrich. Paman kau sadar tidak sih kau itu terlalu protektif?" gumam Kazuo sambil mengelus kening kakaknya yang tengah tertidur pulas. "Tapi tenang saja, aku akan menjadi pelindung (Name) untukmu."

Memanfaatkan kesempatan yang ia curi, Kazuo menghabiskan waktu dengan memandangi kakaknya setelah mengambil foto gadis itu untuk kemudian dikirim kepada Tuan Todoroki, jelas untuk memanas-manasi dan membuatnya panik.

Sebelum ia kembali menyatu bersama kegelapan dan meninggalkan kakak tercintanya, Kazuo lebih dulu mencium punggung tangan yang terasa panas itu.

"Maaf (Name) nee-san, aku tidak berhasil membuat dunia ini cukup indah untuk kau tinggali."

•••••

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top