Chapter 9 : Conspiracy

Draca duduk, memandangi wajah Reta yang begitu pucat. Ia tak mengira, bahwa gadis yang ia cari ini ternyata berada di istana dingin.

"Apa yang kau pikirkan?" wanita paruh bayah yang merupakan Ratu bergabung, duduk disamping Draca.

"Tidak ada, hanya saja aku tak menyangka Ibu yang nememukannya," ucapnya dan wanita itu tersenyum.

"Jadi, gadis ini putri Meira?" Ratu menebak dan Draca mengangguk.

"Terlihat begitu baik, tapi kenapa kau bilang kalau ia sangat tidak bisa di tebak?" tanya sang Ratu yang cukup bersemangat kali ini.

Draca menghela napas. "Ibu sudah melihat gadis Rusa itu?" Dan Ratu mengangguk. "Dulu, mungkin ia tidak akan memperdulikan apapun. Kekanakan dan pongah tapi sekarang, hanya untuk melindungi gadis Rusa itu, ia harus terluka separah sampai seperti ini. Terkadang, aku ragu apakah ia benar-benar Meira yang ku kenal?" ucap Draca yang bahkan kini meraih tangan Reta yang masih tak sadarkan diri itu.

"Kau cemburu?" Ratu menggoda Draca yang membuatnya menoleh dan memandangi ibunya dengan wajah penuh sangkalan.

Wanita tua itu tersenyum. "Baiklah, aku akan meninggalkan kalian," katanya berdiri tapi tiba-tiba berhenti dan Draca memandanginya dengan heran. "Ini pertama kalinya, ibu merasa kau mempedulikan seseorang cukup dalam. Draca, cobalah untuk memahami perasaanmu. Sebelum kau menyesalinya karena sangat buruk jika sebuah hubungan dipenuhi dengan kebohongan," nasehatnya yang kini pergi meninggalkan Draca dengan kebisuan yang tak tertahankan.

"Sara ..." suara Reta yang mengigau. Draca berusaha untuk mengembalikan ekspresi dinginnya.

"Tidak Sara!" kali ini Reta berteriak dan terduduk dengan air mata yang mengalir.

"Kenapa?" Draca bertanya membuat Reta terkejut.

"Kau! Apa yang kau lakukan disini!" Suara Reta naik satu oktav.

"Justru aku yang seharusnya bertanya, apa yang kau lakukan disini? Bukankah kau harus berada di kerajaan Phoenix untuk persiapan pernikahan kita?"

Reta membisu, ia tidak mungkin menjelaskan alasannya kenapa bisa sampai di sini begitu saja.

"Yang Mulia, izinkan saya untuk merawat putri Meira," seru seseorang yang membuat Reta dan Draca mengalihkan perhatiannya.

"Darasiya, kau kah itu?" tanya Draca dan wanita berkulit sedikit gelap itu mengangguk.

Reta menganga, ia merasa sangat mengenali wanita dihadapannya ini.

"Adel ..." panggil Reta dengan lirih yang seketika membuat Draca dan wanita bernama Darasiya itu memandanginya.

"Dia adalah Darasiya, anak dari paman Mataraya yang selama ini telah menjaga Ratu. Bagaimana bisa kau menamai setiap orang dengan sesukamu?" protes Draca yang sangat tidak mengerti dengan apa yang di pikirkan putri Meiranya ini.

Reta seketika diam, mulai mengendalikan dirinya. Ia seharusnya tidak boleh bertindak gegabah atau ceroboh lagi. Reta sudah kehilangan Sara dan sekarang ia harus berjuang untuk mendapat Adel.

Melihat Reta tak berusaha untuk menyangkalnya. "Darasiya, lakukanlah tugasmu. Kau tidak perlu merasa sungkan kepadaku. Aku akan memberikanmu hadiah yang kau inginkan jika kau bisa menyembunyikan putri Meira dengan cepat," janji Draca yang membuat Darasiya berbinar dan Reta hanya bisa menatapnya sinis.

Darasiya pun mulai memeriksa keadaan Reta dan itu cukup membuat Reta terus menatapnya. Reta benar-benar tak menyangka jika wanita dihadapannya ini adalah Adel yang berusaha ia cari selama ini dan yang membuatnya kecewa melebihi apa pun adalah karena Adel menunjukkan gejala yang sama dengan Akira, yaitu tidak mengingatnya.

Sungguh, pekerjaannya akan bertambah sulit saja. Reta harus memikirkan bagaimana membuat kedua sahabatnya itu mengingat dirinya dan setelah itu barulah mereka bisa memikirkan bagaimana mereka akan kembali.

"Bagaimana keadaannya Darasiya?" Pertanyaan Draca cukup membuat kesadaran Reta kembali.

"Sudah lebih baik, hanya saja sayapnya masih belum membaik. Yang Mulia perlu mengalirinya energi untuk mempercepat pertumbuhannya karena kalian memiliki aliran kekuatan yang sama," terang Darasiya yang begitu sopan itu dan lagi-lagi membuat Reta menganga. Gelagat wanita ini sangat jauh dari sikap Adel yang sangat kritis. Apakah Reta memang salah untuk mengenali orang?

"Baiklah, kau boleh pergi," perintah Draca dan Darasiya pun membungkuk dan akan pergi tapi ia tiba-tiba berbalik.

"Sebaiknya saat menstranfer energi, gunakan tempat yang begitu sunyi," saran Darasiya.

"Baiklah ..." jawab Draca, menyanggupinya.

Darasiya pun akhirnya benar-benar pergi, meninggalkan Reta dengan ketermenungannya dan Draca yang memperhatikannya dengan seksama, mencoba menebak apa yang di pikirkannya.

"Aku sudah menemukan Nania, kau tak perlu mencemaskannya," ucap Draca yang mencoba membuat Reta tak terlalu sedih.

Reta menoleh. "Benarkah? Dimana dia? Aku ingin melihatnya!" Suaranya terdengar begitu bersemangat membuat Draca sedikit mengangkat sudut bibirnya.

"Bersama dengan Sadiya, gadis yang membawamu kemari," terangnya dan Reta masih menunjukkan keraguannya.

"Jika kau tak percaya, aku akan menunjukkannya kepadamu." Draca pun mendekat dan menunjukkan sebuah layar seperti kilasan memori seseorang dan benar Sara sedang bersenang-senang dengan tumpukan salju.

Reta seketika menghela napas panjang. Sangat lega melihat temannya ini baik-baik saja.

"Bagaimana kau menemukannya?" Seketika Reta penasaran dengan hal ini.

"Seseorang ingin menjualnya dan aku menemukannya saat berusaha mencarimu," terang Draca yang begitu singkat dan tak cukup mampu memuaskan Reta.

Saat Reta ingin bertanya lagi, Draca mendahuluinya. "Sebaikanya kita pergi, aku perlu menyembuhkan dirimu. Kita tidak punya banyak waktu untuk mempersiapkan pernikahan," kata Draca yang sangat membuat Reta tak setuju. Namun, bayang-bayang peperangan yang akan tercipta jika ia tak melakukannya, membuatnya benar-benar ngeri hanya dengan memikirkannya saja.

Reta tak menunjukkan respon, membuat Draca pun mengambil inisiatif untuk menggendongnya. Membawanya terbang dan Reta masih saja disibukkan dengan pemikiran yang beradu.

Bahkan hamparan salju memenuhi perbukitan pun tak membuatnya merasa kagum. Reta benar-benar merasa harus memikirkan semuanya dengan serius, sepertinya hanya dirinya yang bisa diandalkan untuk sementara.

"Apa kau bertemu Arslaan dan Marshal saat mencoba pergi?" Pertanyaan Draca membuyarkan segara pemikirannya. Reta sedikit heran mendengarkan pertanyaan yang tak biasa dari Draca.

"Tidak, aku tidak butuh bertemu dengan mereka. Aku berpikir hanya perlu membawa Nania pergi," ucap Reta dengan terus terang. Wajah Draca berubah lebih tenang.

"Apa Nania begitu penting?" Draca bertanya lagi, tidak dengan kata-kata dingin. Cukup lembut dan itu mencurigakan bagi Reta.

Tentu saja Reta tidak akan secara terang-terangan untuk mengatakan tujuannya. "Aku menghargainya seperti saudara perempuanku," ucapnya yang tentunya masih menyisahkan tanda tanya besar dalam benak Draca.

Namun, mereka telah sampai disebuah gua. Kali ini tak dipenuhi dengan tumpukan es. Bahkan udara di sekeliling begitu hangat. Reta masih dalam gendongan Draca, mencoba masuk menelusuri mulut gua hingga kedalam dan Reta dibuat takjub dengan pemandangan tengah-tengah gua. Cukup luas dengan banyak tanaman bunga, ada kolam kecil melingar yang diisi warna-warni ikan berkeliaran dengan riang.

"Ini, seperti tempat terawat," gumam Reta tanpa sadar.

"Aku yang merawatnya," sahut Draca yang seketika membuat Reta tak percaya. Bayangkan saja, pria kasar dan kejam sepertinya bisa memiliki seni, bahkan kesabaran untuk merawat tanaman dan ikan? Bukankah ini cukup menggelikan?

"Sepertinya kau tak cukup yakin." Draca menebak dan Reta menggendikkan bahunya.

"Aku pikir yang ada di otakmu hanya ada seribu macam strategi?" sindir Reta dan Draca tersenyum miring.

Draca berhasil membuat Reta duduk diatas sebuah rumput dan setelah itu, ia pun duduk disamping Reta. "Aku memiliki bubuk penumbuh tanaman dari ras rubah," katanya yang seketika membuat Reta bisa menebak, siapa yang memberi Draca bubuk itu.

"Aku pikir, Alika lebih serasi denganmu. Ia lebih mengerti dirimu dari pada siapa pun." Ada nada kegetiran pada ucapan Reta, membuat Draca memandanginya.

"Lalu bagaimana denganmu? Semenjak kecelakaan itu kau banyak berubah. Tidak terlalu kekanakan seperti dulu, bahkan kau terkesan menolakku," selidiknya, mata tajamnya menelusuri wajah pucat Reta.

Reta mendesah, ia tahu jika Draca akan selalu meragukannya dibanyak kesempatan. "Aku tidak mengingatmu," bohongnya, "dan aku juga tidak ingin menikah dengan siapa pun," lanjut Reta yang sepertinya sudah sangat lelah untuk menjelaskannya berulang kali pada Draca.

"Pernikahan ini sudah menjadi kesepakatan ratusan tahun. Baik aku dan siapa pun tidak bisa mencegahnya. Kau hanya perlu untuk menuruti apa yang ku katakan dan aku akan mengurus sisanya."

Kali ini Draca mulai mengalirkan energi pada Reta, membuat gadis itu memejamkan matanya dan mulai merasakan aliran yang mampu membuat nyeri di bagian tubuhnya semakin memudar.

Reta membuka matanya saat ia merasa energi yang di kirim ketubuhnya hilang. Menangkap wajah dingin Draca yang memberikan kesan candu tersendiri.

Bodoh, jika Reta bilang tidak menyukainya. Namun, sekeras mungkin ia berusaha untuk menekan rasa ketertarikan ini. Draca berbahaya, misterius dan licik, Reta tidak bisa menghadapi pria ini terlalu lama karena ia tidak memiliki pemikiran luas seperti Adel atau pun putri Alika.

"Apa yang kau pikirkan?" Draca meraih beberapa helai rambut Reta yang berantakan dan menyelipkan dibalik telinga gadis itu.

Tatapan intens keduanya, entah mengapa mengantarkan kehangatan yang menjalar. Reta berusaha mati-matian mencoba mengendalikan getaran yang berasal dari hatinya.

"Dirimu dengan semua rencana misteriusmu. Apa yang kau inginkan? Kekuasaan? Sebegitu menawankan?" Rentetan pertanyaan keluar dari mulut Reta dan terlihat sekali wajah Draca berubah.

"Kau perlu terdesak untuk mencapai tekat tak tertahankan," gumam Draca yang kali ini bahkan tubuhnya mulai condong, mendekati Reta membuatnya sedikit kikuk.

"Tekat? Aku pikir semua orang memilikinya, hanya saja yang menjadi pembedanya adalah di jalur mana kau akan berjalan, benar atau salah," sahut Reta yang sepertinya kali ini tertular rumus kritis milik Adel. Mungkin, saat pulang nanti ia bisa masuk di tim debat sosial yang cukup populer di sekolahnya.

Hanya dengan tarikan cepat, tubuh mereka menempel dan wajah mereka hanya berjarak beberapa inci.

"Sampai kapan kau akan mengkritikku?" Hembusan napas hangat Draca menyentuh kulit muka Reta, membuat gadis ini semakin tak nyaman. Reta pun mencoba untuk mundur, namun tangan Draca lebih cepat mencegahnya membuat Reta tak bisa lagi untuk menghindar.

"Apa yang ingin kau lakukan?" tanyanya dengan gugup saat dahi dan hidung merek saling menempel.

"Memberikan pelajaran pada mulut kritismu," ucapnya yang kemudian mulai melumat bibir Reta tanpa ragu.

Reta shock pada awalnya dan setelah itu ia berusaha melepaskan dirinya dari Draca. Namun, tubuh Reta yang masih dalam penyembuhan, serta minimnya pengalaman dalam mengatasi serangan mendadak seperti ini, membuat Reta tidak bisa melakukan apapun kecuali pasrah, mengikuti alur permainan yang Draca mulai.

Sialnya, saat ini Reta mulai terbiasa dengan lumatan dan gigitan-gigitan kecil Draca. Reta terlena dengan cumbuan ini, ia terlihat seperti sundal yang sedang membutuhkan belaian, menjijikan.

"Draca hentikan!" rancaunya yang mencoba menyadarkan dirinya dari pikiran gila nan penuh gairah ini.

Draca pun melepaskannya, pandangannya masih tak lepas dari wajah Reta yang memerah, gerakan napas naik turun sepertinya membuat Draca tak bisa melepaskan hal menarik dihadapannya sekarang.

Untuk kedua kalinya, Draca menyerang Reta dan kali ini ia tak membiarkan pemberontakan jenis apa pun.

"Kau adalah milikku," bisiknya yang melepaskan tautan bibirnya dan beralih pada leher jenjang Reta, mencoba bermain-main disana. Bahkan, kedua tangannya sudah berhasil menanggalkan satu persatu kain yang menutupi tubuh Reta, memisahkan kulit mulus seputih susu itu.

Reta benar-benar telah terperdaya oleh perlakuan Draca dan melewati malam purnama penuh gelora bersamanya.

Tidak ada alasan kuat, semua terjadi seperti pertunjukan opera bertabur romansa yang terkadang tak masuk akal atau suasana sunyi dengan kedinginan yang membuat seseorang ingin saling mendekap. Berdua lebih baik dari pada sendirian, itu bukan hanya sebuah pepatah namun realitanya hal seperti ini juga memicu seseorang untuk bertindak impulsif.

Malam indah penuh bergairah telah berganti dengan pagi yang menyilaukan. Cahaya sang mentari membuat Reta harus terbangun, ia mencoba membuka matanya dengan berlahan. Memeriksa tubuhnya yang hanya terselimuti jirah milik Draca dan Reta merasa malu sekaligus menyesal saat ingatannya kembali pada kegilaannya semalam.

Seharusnya, ia memikirkan bagaimana cara pulang?

Seharusnya, ia tidak boleh terjerat dengan hubungan dengan harapan kosong ini.

Seharusnya dan seharusnya! Hanya ada kata itu dalam benaknya saat ini.

"Kau sudah bangun?" Draca muncul, mengagetkannya saja.

"Mandilah dan pakai bajumu, kita akan kembali ke kerajaan Phoenix," katanya.

"Mandi? Dimana?" tanya Reta dengan bingung.

"Didalam sana, kau bisa menemukan mata air. Jangan terlalu lama, jika kau tak ingin aku datang untuk memandikanmu," katanya dengan nada menggoda membuat Reta malu setengah mati. Ia pun melilitkan jirah Draca pada tubuhnya yang mungil dan membawanya masuk dengan segera.

Draca yang hanya memakai celana dan separuh tubuh bagian atasnya terekspos, hanya tersenyum melihat kelucuan Reta.

"Aku harus segera memiliki keturunan denganmu dan setelah itu, aku bisa menantang suku naga api tanpa mengkhawatirkan apapun," gumamnya sambil menyeringai.

-Tbc-


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top