8. SUNSHINE
Menatap jarum jam Yang terus bergerak ternyata menjadi kebiasaan baru Mayang. Ini belum resmi agenda dirinya menjadi seutuhnya ibu rumah tangga, tapi rasanya Mayang sudah tahu bagaimana sensasi lebih banyak duduk diam di rumah saja guna menunggu suami pulang. Padahal, ini yang dia inginkan sejak lama begitu dirinya resmi dipinang dan memiliki suami. Ketika merasakan lelah bekerja, Mayang merasa harus segera mengundurkan diri walaupun belum ada tabungan untuk meyakinkannya untuk berhenti. Namun, kini Mayang tidak tahu harus melakukan apa. Selain menunggu Jevi, tentu saja.
Ah, Jevi. Bicara mengenai pria itu, Mayang sama sekali tidak bisa menghubunginya. Ucapan pria itu yang bilang malas ke kantor, malah pergi entah kemana. Mayang tidak dihubungi guna diberitahu. Padahal mereka sudah membangun komunikasi untuk saling memberi kabar meski tidak begitu sering menelepon. Paling tidak aplikasi pesan harus berjalan untuk memastikan satu sama lain baik-baik saja.
Menekan-nekan pipinya sendiri, Mayang yang sudah rapi dan harum menyangga kepalanya dengan tangan yang lain. Perempuan itu duduk di atas sofa dan menyalakan TV. Siaran yang ada tidak penting sama sekali justru dia malah termenung sendiri di sana.
"Yang." Mayang tidak tahu apakah itu benar suaminya atau halusinasinya. Karena tidak mendengar mesin mobil yang terparkir.
"Jev?"
Jevi muncul dengan kaus yang sebelumnya tidak pernah Mayang lihat ada dalam lemari. Itu menjadi pertimbangannya untuk bertanya.
"Kamu dari mana?!" todong Mayang cepat. Dia tak lupa dengan kekesalan tak mendapati suaminya di rumah seperti yang pria itu katakan.
Jevi yang mendapati raut kesal istrinya lupa untuk menyiapkan alasan.
"Ke kantor papa." Jawab Jevi jujur.
"Katanya tadi males ke kantor papa?!"
Jevi menggaruk pelipisnya gugup. "Tadi ada klien yang minta, maksa lebih tepatnya, buat ketemu untuk bahas urusan interior hotel gitu. Mereka maunya ambil bahan baku dari aku dan semacamnya. Intinya minta diurusin supaya barang-barang mereka beda dari hotel lainnya."
Jawaban itu juga jujur, meski tidak melibatkan nama Aurora di dalamnya yang itu artinya Jevi menyembunyikan nama mantannya. Bisakah itu disebut dengan berbohong?
"Terus itu pake baju siapa?! Kamu ke kantor pake baju itu?? Aku nggak pernah tahu ada baju itu yang kamu punya."
Pertanyaan Mayang sudah sangat menjurus. Jevi jelas kelimpungan untuk menjawab hal yang berhubungan dengan baju yang dipakainya sekarang ini.
"Baju resmi. Tadi berangkat pake baju kantor, tapi karena kena hujan di jalan, makanya aku minta dibelikan baju baru untuk pulang."
Mayang memicing. "Kamu, tuh! Baju baru juga kotor, Jev! Itu dari gudang langsung kamu pake? Udah, sana mandi!"
Diam-diam Jevi mendesah napas lega Mayang tidak lagi menginterogasinya. Sungguh, dia tak ingin ada pertengkaran antara dirinya dan Mayang.
*
Anom membawa keluarganya untuk makan malam di salah satu restoran dengan tag family friendly. Sengaja tidak meminta istrinya untuk memasak di rumah. Salah satu alasannya adalah untuk bertemu dengan keluarga besarnya.
Ramai sudah pasti. Anom memiliki keluarga yang cukup besar. Untuk ukuran orangtuanya yang memiliki sembilan anak, dan Anom menjadi anak ketiga, jelas Amore harus terbiasa dengan keramaian tersebut.
"Om Anom, makasih, ya udah dicarikan tempat yang oke banget untuk hotelnya!" kata sang ponakan.
Anom yang memang suka sekali untuk bercengkerama dengan keluarga membalas ucapan terima kasih itu. "Udah mulai kelihatan, kan, bentuknya, Ra?"
Aurora mengangguk dengan semangat.
"Kamu ini. Om sampe bingung pas ada orang tanya, katanya om mau bangun hotel. Itu gara-gara ulah kamu, ya? Kamu ngomong ke relasi yang om kenalkan kalo kamu itu ngurusin hotel keluarga? Padahal itu punya kamu."
Aurora terkekeh. "Iya, sengaja, Om. Lagian ngapain aku jelasin itu punyaku? Orang uangnya sebagian besar memang aku dapetin dari keluarga."
Amore tidak pernah canggung meski menikahi pria yang usianya memang agak terpaut jauh. Anom sudah dipanggil om oleh ponakan dari adik pria itu. Ya, maklum saja, Anom ini memang susah menikah dulu. Tapi untungnya memang penampilan pria itu tidak terlihat begitu tua ketika disandingkan dengan Amore.
"Pa, pipis." Mada yang memang menjadikan Anom idola, tidak akan meminta pada Amore jika ada sang papa.
"Oke, Nak." Anom menoleh pada Aurora. "Ngobrol dulu sama tante kamu, ya. Jagoan om manjanya kumat."
"Oke, Om!"
Amore merasa tidak pantas dipanggil tante, dari segi umur mereka jelas tidak berbeda jauh.
"Baru balik dari luar negeri langsung bikin hotel, cerah banget lagi auranya. Ada apa, nih, sama Indo? Bule di Jerman nggak oke?" tanya Amo yang paham betul gelagat berseri perempuan yang sedang jatuh cinta.
"Ah, tante Mo bisa aja! Kelihatan banget, ya?" tanya Aurora.
Amo tertawa pelan. "Kelihatan. Tapi nggak banget, sih. Tadi aku asal nebak aja. Berarti tebakanku jitu, ya."
"Tolong rahasiain, ya, Tante Mo. Soalnya yang ini dari dulu belum dapet restu dari bunda sama ayah." Bisik Aurora.
Amo melirik orangtua Aurora. "Oke. Jangan bahas itu kalo begitu. Nanti ayah bunda kamu bisa curiga."
Obrolan mereka berlanjut hingga Amore bertukar tempat duduk dengan suaminya yang sibuk mengurusi manjanya tingkah Mada.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top