6. SUNSHINE

Jevi tidak bisa dibuat bersantai barang sebentar saja dengan telepon yang berdering meminta untuk diangkat. Dia tidak mengerti kenapa nomor kantor menjadi suka mengganggunya yang berniat beristirahat di rumah. Bahkan pikirannya tidak bisa dibuat santai karena kejadian demi kejadian beberapa hari belakangan ini. Sebab nama Aurora yang kembali dan seakan terus menerornya hingga tak berani menyambangi kantor yang papanya besarkan untuk menggaji karyawan yang termasuk dirinya sebagai pengganti sang papa sebagai penanggung jawab terbesar.

"Apa lagi!?" jawab Jevi langsung pada nomor kantor yang menghubunginya terus pagi ini.

"Jev? Kamu nggak masuk kantor?" Jevi tahu suara itu berasal. Dan entah kenapa, bukannya semakin kesal dia justru mendadak mematung.

"Jevi? Hello? kamu masih di sana?" Sekali lagi pria itu mendengarkan suara Rora yang lembut.

"Ya. Aku ... masih di sini."

Bahkan sekarang Jevi bisa mendengar desah napas lega dari perempuan itu. Bagaimana bisa? Apa sebegitu berpengaruhnya Aurora bagi Jevi?

"Ada apa?" tanya Jevi pada akhirnya.

"Bisa ketemu sebentar? Soal pembangunan hotel yang mau keluargaku buat, niatnya ngambil bahan baku dari kamu."

"Perusahaan papaku itu bahan baku untuk barang-barang interior. Bukan toko bahan bangunan." Balas Jevi berusaha sekejam mungkin. Dia tak ingin menghadapi Aurora dengan cara yang sama seperti dulu lagi, itu akan merusak pertahanannya dan tentu saja merusak kepercayaan Mayang.

"Ya, kamu pasti mengerti itu tujuannya aku ingin bertemu sama kamu. Jelas kalo aku akan membahas soal properti untuk hotelku."

Auror ini ... sepertinya tidak akan menyerah untuk membuat Jevi keluar dari sarangnya. Padahal Jevi sudah enggan datang, tapi masih dicari saja.

"Kamu bisa bicara sama asistenku. Aku sedang nggak ingin diganggu dulu."

Seperti tidak memilih untuk mendengarkan apa yang Jevi katakan, Aurora membalas ucapan pria itu dengan kalimat enteng yang sarat dengan makna bahwa Aurora tidak menerima penolakan Jevi.

"Aku tunggu di sini. Setengah jam, itu cukup, kan? Aku tahu kamu bukan tipe yang mau membuat orang lain menunggu lama karena kamu."

Jevi sukses dibuat termenung, hingga beberapa menit panggilan itu dimatikan, barulah Jevi bergerak cepat untuk bersiap menuju kantor papanya guna menemui Aurora.

Ini hanya kebutuhan kerja! Jevi mengulangi terus kalimat itu di dalam pikirannya sendiri.

*

Alasan yang Mayang berikan pada atasannya mengenai kenapa dirinya memilih resign jelas karena ingin fokus menjadi ibu rumah tangga serta tak ingin kelelahan dengan pekerjaan demi lebih cepatnya datang sang buah hati. Bukan alasan yang mengandung kebohongan, tetapi entah bagaimana Mayang merasa sangat tak tepat memberikan alasan demikian.

Dalam lubuk hatinya yang terdalam, Mayang menyuarakan bahwa dia ingin bisa lebih sering bersama Jevi di rumah. Memastikan pria itu betah berada di rumah, bersamanya. Tak tahu apa faktor utamanya, tapi ungkapan jujur Jevi mengenai bertemunya kembali sang suami dengan mantan kekasihnya itu sedikit mengusik Mayang.

Bagaimana bisa dia berbohong bahwa hatinya cemas? Jevi mungkin mengatakan di mulut bahwa tidak akan ada apa-apa yang terjadi antara diri pria itu dengan Aurora. Namun, Mayang tak bisa menjamin isi hati suaminya sendiri. Terlepas dari mereka yang sudah saling memahami sejak lama karena bersahabat, tapi Mayang paling tahu bahwa Jevi dulu begitu tergila-gila pada Aurora. Hingga hubungan itu kandas, Mayang juga tak paham apa yang terjadi. Jevi tidak ingin menguak luka lama dengan menceritakan masa lalunya dengan Rora.

Hingga tadi pagi, Mayang merasakan gelagat aneh suaminya. Bolehkah dia curiga? Bahwa sikap enggan Jevi me kantor papanya karena ada sangkut pautnya dengan mantan kekasihnya.

"May, beneran, deh. Elo kelihatan aneh belakangan ini." Kata Amore yang kembali diminta menemani Mayang.

"Aneh kenapa, Mo?" Mayang balik bertanya.

Amo menaikkan kedua bahunya. "Nggak ngerti, gue ngerasanya elo makin aneh aja. Gue cerita sama suami, katanya buat apa seorang istri yang sudah dijamin rumah sama suaminya nyari rumah untuk diri sendiri? Suami gue nggak bersedia nyariin kalo elo belum pastiin sendiri Jevi ngasih izin."

Mayang menghela napas. "Segitunya suami elo, Mo?"

Amore mengangguki dengan yakin. Lalu pandangannya dengan cepat beralih ke tempat bermain anak-anak. "Mada! Hey, don't touch anything! That isn't yours, Mada!" seru Amore yang terlihat tegas sekali mengajarkan tentang kepemilikan pada anaknya yang berusia tiga tahun itu.

Diam-diam Mayang membayangkan dirinya juga bisa bersikap tegas pada anaknya suatu saat nanti.

"Anom itu tipikal orang yang super lurus, May. Dia nggak mau tiba-tiba terlibat urusan rumah tangga elo sama Jevi seandainya—semoga nggak—kalian ada masalah."

"Kalian nggak akan kena masalah apa-apa, Mo."

Amo menggelengkan kepala tegas. "Nggak bisa gitu, May. Anom punya banyak saudara, dan dia sering kesangkut urusan rumah tangga saudaranya karena Anom yang awalnya nggak paham, menjadi perantara properti yang dicarikannya. Pekerjaannya jadi kacau karena rumah ternyata jadi kasus terbesar dari sebuah perselingkuhan, perdebatan harta, penyitaan, dan lain sebagainya. Dan dia menolak mencarikan elo rumah kalo Jevi nggak mengizinkan atau malah nggak tahu sama sekali."

"Mommaaa, Mada aus!"

Amore kembali sibuk dengan putranya, maka Mayang kembali sibuk dengan pikirannya mengenai rumah yang ingin dia miliki tanpa sepengetahuan siapapun. Itu privasinya, satu-satunya privasi jika dia ingin menjauh dari Jevi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top