26. (a) SUNSHINE
Berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya memang tidak bisa dikatakan mudah. Sama seperti Mayang yang harus mengurus kembali kepindahannya menuju rumah yang hampir satu tahun ini sudah dia tinggalkan. Jevi menyambut selayaknya pemilik rumah yang menanti kedatangan anggota baru. Sangat bersemangat dan seolah tak memiliki kegiatan lain selain menyambut Mayang bersama Mahes, bayi lima bulan yang semakin sejahtera.
"Ayo, Sayang. Masuk!"
Mayang tidak tahu mana yang menjadi panggilannya dan mana yang menjadi panggilan Jevi untuk Mahes. Karena terkadang pria itu memanggil Mahes sayang, begitu juga memanggil Mayang dengan panggilan sayang setelah momen perdamaian mereka.
"Kamu manggil siapa, Jev? Aku atau Mahes?"
Jevi tertawa renyah. "Dua-duanya. Kalian berdua, kan, kesayanganku."
Sial. Mayang hampir lupa caranya untuk bernapas karena godaan dari bibir pria itu. Entah itu masuk dalam kategori menggoda atau tidak, yang pasti Mayang selalu kesulitan untuk menyembunyikan rona pipi merahnya di hadapan Jevi.
"Aku kesulitan untuk mengira mana yang kamu panggil, aku atau Mahes kalo kamu nggak bedain panggilanku dan anak kita ini."
"Ehm, gitu? Jadi kamu maunya aku bikin nama kesayangan yang beda buat kamu, Yang?"
Perempuan itu buru-buru menggelengkan kepala. Tidak bisa menata ekspresi lagi karena Jevi.
"Nggak! Nggak usah! Kamu panggil aku pake itu aja, nama belakangku. Jangan pake yang kamu gunakan untuk Mahes."
Salah tingkahnya Mayang membuat Jevi gemas sekali. Tidak menyangka akan memiliki Mayang yang seperti ini. Karena menjadi sahabat selalu memiliki batasannya sendiri. Itu yang menyebabkan mereka tak benar-benar bisa menyadari perasaan yang sebenarnya sudah lama dimiliki.
"Yang masih di mobil itu apa aja, Yang?" tanya Jevi mengalihkan pembicaraan mereka.
"Baju aku, baju Mahes."
Sejak pergi dari rumah yang dulu mereka tinggali bersama, Mayang memang tidak banyak membawa barang. Hanya pakaian yang terpenting yang dia bawa. Begitu juga saat ini, dia hanya membawa pakaian saja. Peralatan masak dan lainnya sudah pasti dia tinggalkan. Meski tergolong penting, tak mungkin Mayang akan memboyongnya ke sana ke mari.
"Aku ambil tas dulu, kamu sama Mahes bisa istirahat di kamar."
Mayang menyadari tidak ada yang dirubah sama sekali pada dekorasi atau bahkan posisi yang ada di rumah itu. Yang membedakan saat ini adalah tambahan kamar yang ternyata sudah dipersiapkan oleh Jevi entah sejak kapan.
Menggendong Mahes seraya menilik setiap ruangan, Mayang terkagum dengan kamar anak yang memiliki pintu menuju kamar mereka dan begitu luas.
"Yang, ini pakaian Mahes taruh di kamarnya, ya? Soalnya aku nggak beli lemari tambahan buat di kamar kita." Jevi datang dengan tas yang dibopong dengan entengnya. Padahal pakaian Mahes itu yang paling banyak ketimbang Mayang.
"Ya. Tapi nanti siapin buat di kamar kita, taruh aja deket meja kerja kamu. Aku nggak mau tidur terpisah dari Mahes."
Jevi mengiyakan. Pria itu sibuk sendiri mengurus semua kebutuhan sang istri dan putranya sendirian. Jevi tidak mau Mayang kelelahan, karena mengurus Mahes saja sudah lebih-lebih dari sulit.
"Udah beli kebutuhan mandi Mahes, Yang?" tanya Jevi lagi.
"Belum. Aku juga nggak bawa yang di rumah Bandung."
"Udah ada, kok. Hadiah dari anak-anak kantor numpuk, tuh. Dari temen bisnisku juga ada. Makanya aku nanya, aku kira kamu udah beli dianterin ayah. Mubadzir nanti kalo hadiahnya nggak dipake."
"Yaudah, tolong kamu rapihin buat nanti sore Mahes mandi, ya, Jev. Aku mau tidur dulu. Boleh, kan?"
Jevi mengangguk dan mencium kening istrinya. "Boleh, Yang. Istirahat aja sama Mahes."
Jika begini, Mayang tidak akan tahu bagaimana bisa menemukan sosok yang lebih pengertian dari Jevi. Karena standar pria dalam kategori idealnya kini adalah Jevi Nugraha.
*
Amore tidak tahu harus bertindak dan memberikan masukan apa. Keluarga suaminya memang memiliki keunikannya masing-masing. Meski Anom menghindari untuk berurusan dengan keluarganya, tetap saja akan ada waktu dimana mereka akan terlibat dengan semua itu juga.
"Mbak, yang sabar, Mbak." Anom memberikan semangatnya pada sang ipar.
Harris yang masuk rumah sakit adalah pertanda bahwa permasalahan keluarga itu tidak main-main lagi. Ada yang tidak bisa ditutupi oleh mereka semua mengenai keburukan Aurora.
"Makasih, Anom." Liane masih menangis. Suaminya belum ada tanda-tanda untuk membuka mata. "Mas mu mungkin sudah begitu capek ngurusin Aurora, Nom. Sampai dia begini."
Keluhan demi keluhan Liane yang mengindikasikan bahwa dirinya begitu putus asa terus keluar dari bibir wanita itu.
"Mbak, jangan bicara begitu. Nggak ada orangtua yang akan menyerah untuk anak-anaknya. Bang Harris juga pasti gitu."
Amore mengusapi bahu wanita yang selalu bersikap baik padanya itu. Tidak ada yang tahu bahwa keluarga Liane yang terlihat sempurna dari luar, nyatanya tak sekokoh itu dalam menghadapi segala hal. Aurora, putri yang mereka sayangi dan andalkan nyatanya adalah pihak yang paling pandai untuk menyakiti. Memang, dunia ini penuh misteri. Sampai Amore-pun bergidik ngeri karena membayangkan bahwa anak-anak di masa depan tidak bisa mereka tentukan layaknya yang diinginkan. Orangtua-lah yang harus menyesuaikan diri. Doa Amore, semoga saja Mada dan adik-adiknya kelak memiliki sifat yang tidak menghancurkan keluarga.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top