25. (b) SUNSHINE
Dalam perjalanan manusia untuk mencari apa arti dari kehidupan mereka, maka terkadang tak ada jawaban adalah yang terbanyak. Kebanyakan dari manusia yang ada tidak benar-benar menemukan jawaban akan apa yang dicari dalam hidup. Sama hal-nya dengan Mayang yang tidak pernah menemukan jawaban pasti dari apa yang dicarinya dalam kehidupan rumah tangganya. Bahagia itu sifatnya hanya sementara, begitu juga duka. Mayang menyadari betul dalam waktu beberapa bulan semuanya sudah bisa dia rasakan. Suka dan duka adalah hal yang biasa untuk datang silih berganti dan tidak akan bertahan untuk selamanya begitu saja.
Cinta yang tumbuh diantara dirinya dan Jevi juga tak akan selamanya bertahan. Jadi, yang tersedia hanya kesiapan untuk hidup bersama. Lebih lagi, kehadiran Mahes adalah faktor utama yang membuat Mayang tak ingin membuat keluarga yang timpang dalam perkembangan putranya. Bukan berarti Mayang hanya memanfaatkan demikian, tetapi memang memiliki Mahes memberikan dampak yang berbeda bagi pemikirannya selama dia memilih keras hati untuk bersembunyi dari Jevi.
Sekarang, keputusan terbesarnya selalu ditimbang dari seberapa besar Mahes akan mendapatkan hal yang 'sempurna' untuk anak itu. Selalu akan begitu dan tidak akan ada hal yang bisa menandingi hal itu. Mahes adalah segala hal dari hal lainnya, termasuk Jevi yang mungkin bisa menyakitinya dengan banyak hal. Hanya Mahes yang tidak akan pernah Mayang benci meskipun nantinya dia akan belajar dan melakukan kesalahan dalam prosesnya.
"Suami kamu masih tidur, Kamayang?" tanya Broto yang hanya melihat putrinya dan sang cucu yang sedang asyik makan bersama.
Mahes makan melalui ibunya dan Mayang makan sembari memberi asupan pada putranya itu.
"Belum, Yah." Jawab Mayang dengan mulut hampir penuh.
"Kasihan. Dia harus bolak balik, Kamayang. Apa nggak ada niatan suamimu untuk pindah ke sini?" Broto mengambil kacang dalam toples dan Widya datang dengan cepat menepuk dada suaminya.
"Nopo?" Broto memandang Widya dengan tampang polos.
"Kacang! Asam urat kamu itu, lho, pikiran, Mas!"
Mayang memilih tak ikut campur dengan urusan kedua orangtua yang sudah berkutat dengan penyakit bawaan tubuh mereka. Dia memilih asyik makan sembari menyusui Mahes dengan kain penutup di dadanya tentu saja. Dia tak cukup percaya diri dengan membiarkan orang lain melihatnya, sekalipun itu adalah Broto yang sudah menjadi ayahnya.
"Lagian kamu ini, lho. Kenapa malah nyuruh Jevi yang tinggal di sini? Pekerjaannya di sana, Mas. Gimana caranya dia bisa menghidupi anak dan istri kalo dia asyik-asyik'an tinggal di sini?"
Mayang hanya mengamati pembicaraan itu dengan mulut membumbung.
"Menurut Kamayang gimana? Kalo ternyata di sini dia bisa lebih hidup tenang, kenapa nggak, Ma? Jevi pasti bisa memutar otak untuk usaha dan penghasilannya."
"Aku yang mau pindah, Yah." Mayang memberikan jawabannya. "Rumah kami memang di sana, kalo di sini rumahku."
Broto tertawa. "Kamu ini prinsipnya tinggi, Kamayang. Rumahmu tetap rumahmu, ya? Nggak peduli Jevi sering bolak balik dan dia suamimu."
"Oh. Aku realistis, Yah. Betul kata mama, dia harus menghidupi aku dan Mahes. Salah satunya menyediakan tempat tinggal untuk kami."
Mayang jelas tidak ingin memberi tumpangan pada Jevi untuk menjadi pengangguran. Jadi, lebih baik ikut bersama suaminya itu dan menjalani rumah tangga yang lebih tepat dengan tinggal bersama. Jangan sampai ada gangguan dari Aurora-Aurora yang lain.
*
"Anak siapa yang kamu kandung!!??" Harris membanting guci mahal yang sudah tidak harganya lagi setelah kemarahan menghabisinya.
Aurora tak mau menjawab. Mulutnya masih terbungkam.
"Kenapa kamu hanya diam?! Jawab papa!"
"Aku nggak akan pernah jawab sebelum aku bisa mendapatkan kehidupan yang aku mau."
Dalam posisi bersalah seperti ini Aurora masih sempat saja mengancam kedua orangtuanya.
"Kehidupan macam apa yang kamu maksud?! Jangan gila kamu, Aurora! Selama ini kamu sudah banyak menyebabkan masalah, dan kami sebagai orangtua nggak ada pilihan lain untuk mempertanggungjawabkan tingkah kamu ini!"
Perempuan itu menatap papanya dengan malas, sedangkan Liane tak tahu apa yang harus dilakukannya. Tingkah putrinya memang sudah keterlaluan. Namun, bisa apa dirinya dengan semua ini? Kehamilan itu sudah terjadi, dan bahkan perut putri mereka sudah terlihat menyembul. Liane tak tahu harus bagaimana lagi mempertanggungjawabkan apa yang Aurora perbuat jika begini caranya.
"Aku mau bebas melakukan apa pun yang aku mau. Papa dan mama nggak boleh mencampuri apa yang aku lakukan. Itu kehidupan yang aku mau."
Harris menekan kepalanya, menarik helaian rambutnya dengan keras. Bahkan rasa sakitnya tak sebanding dengan kebingungan akibat ulah anaknya.
"Kamu membuat banyak masalah, bagaimana papa dan mama nggak ikut campur?! Kami yang harus mengurus semua kekacauan yang kamu buat!"
"Kalo gitu mulai sekarang aku nggak akan bikin masalah yang melibatkan orang lain. Dan papa nggak perlu membayar pinalti apa pun lagi untukku. Aku akan mengurus mengenai anak ini."
Harris berniat untuk melayangkan tamparan. Tak sempat mengenai pipi Aurora, tangan itu justru digunakan untuk menekan dadanya yang menghimpit nyeri kesakitan.
"Papa! Papa!" Liane langsung menangkap tubuh suaminya yang terjatuh.
"Jangan diam aja, Aurora! Telepon ambulan! Ini pasti jantung papa! Cepat!"
Kacau. Rumah itu kacau.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top