24. (a) SUNSHINE
Berjalan berdua dengan Mahes dalam gendongan Jevi adalah hal yang tidak Mayang duga bisa terjadi. Sebenarnya Mayang sudah pernah memimpikannya, sebelum hubungan mereka yang kokoh itu kacau dengan kehadiran Aurora. Namun, mimpi itu sempat sirna karena karena rencana Mayang memang kokoh juga untuk bercerai dari Jevi. Sekarang, dua bulan berjalan. Panggilan pengadilan belum ada, karena, ya... bercerai tak semudah cerita-cerita yang ada di serial televisi.
"Mahes sama aku aja, Jev." Kata Mayang yang kasihan juga melihat Jevi. Pria itu harus berkorban untuk pulang pergi Jakarta-Bandung untuk memiliki waktu bersama anak dan istrinya.
"Nggak apa. Kamu udah pangku dia dari tadi. Lagian, aku udah tiga hari ini nggak gendong anakku ini, Yang."
Mendengarnya membuat Mayang merasa tenang. Sungguh, dia membawa perasaan yang begitu rumit untuk keputusan rumah tangganya dan Jevi. Cinta saja bukan satu-satunya perasaan yang ada dalam hubungan itu. Karena berurusan dengan rumah tangga atau pernikahan selalu memiliki sisi rumit tersendiri yang memasukkan segala perasaan dan prasangka di dalamnya.
"Ini tebel, ya, Yang?" tanya Jevi menyentuh bagian bawah putranya.
"Pampers."
Jevi mengangguki. Dia merasa aneh dengan yang namanya pampers, diapers, atau apalah itu. Sebab Mayang tak pernah membiasakan bayi mereka menggunakan yang semacam itu ketik di rumah. Kalau Mahes mengompol, ya sudah, mereka yang harus rajin menggantinya.
"Pantes. Mahes agak nggak nyaman di gendongan aku."
Mayang terkekeh. Dia memeriksa gendongan suaminya pada Mahes. Kain menggendong yang digunakan oleh pria itu dibenarkan posisinya dan Mahes sedikit menggeram ala bayinya.
"Maaf, ya, Jagoan. Mama sama papa harus gendong kamu begini karena kita mau belanja."
Oh, Tuhan. Mayang senang sekali mendengar kalimat itu. Ketika Jevi mengajak anak mereka untuk bicara adalah waktu dan momen paling menyenangkan untuk diamati dan menjadi kebahagiaan tersendiri baginya.
Karena gemas, Mayang mencium pipi Mahes yang matanya berkelop-kelop menyesuaikan cahaya dan banyak menggerakan kepalanya karena tak merasakan ayunannya yang menjadi tempat paling asyik untuk tidur.
"Mahes aja, nih, yang dicium?" Jevi sengaja menggoda Mayang yang langsung salah tingkah.
"Yaiyalah! Siapa lagi?" balas Mayang pura-pura tak mengerti.
"Papanya Mahes nggak dicium?"
Berdecak, Mayang melangkah lebih dulu memasuki pusat perbelanjaan. Jevi tertawa pelan dan mengejar langkah istrinya.
Mengambil troli, Mayang yang semula memiliki tugas mendorongnya ditahan oleh Jevi. "Aku aja yang dorong. Kamu pilih yang kamu cari, Yang."
"Kamu bawa Mahes."
"Nggak jadi halangan. Aku ini multitalenta, Yang. Mahes aja setuju. Ya, kan, Jagoan?" Bagi orang lain, mungkin saja mereka berpikir bahwa Jevi gila karena mengajak seorang bayi yang masih tidak bisa diajak berkomunikasi untuk dimintai persetujuan.
Mayang masih memicing, tak percaya dengan ucapan Jevi yang setengah bercanda.
"Masih nggak percaya aku bisa?" kata Jevi. "Nih! Aku bisa dorong pake satu tangan Yang. Aku jaga Mahes, dan dorong troli. Ini tugas yang mudah."
"Ya, terserah kamulah!" Mayang mengikuti kemauan suaminya. Berjalan menyusuri satu rak pada rak lainnya. Mengisi troli dengan kebutuhan yang luar biasa banyak. Karena dia tak terlalu sering ke pusat perbelanjaan mengingat jarak rumahnya yang jauh dari mana-mana. Membutuhkan waktu untuk membeli ini itu. Makanya Mayang tak mau ada satupun barang yang terlewat untuk di-stok di rumah.
"Kamu mau makan apa?" tanya Mayang pada Jevi.
"Hah? Makan? Kamu mau masak?"
Mayang menggumam sebagai jawaban iya.
"Aku lagi pengen soto daging." Jevi mengamati reaksi Mayang. Jika perempuan itu tidak mengernyit, berarti ada kesempatan bagi Jevi untuk merasakan masakan perempuan itu lagi. "Beneran kamu mau masak?" tanya Jevi kembali memastikan dengan nada sepelan mungkin. Dia tak mau Mayang malah berubah pikiran.
"Iya. Soto daging yang kamu suka itu." Kata Mayang.
Jevi yang kegirangan tidak bisa menyembunyikan reaksinya. Dia berucap 'yes' dan itu terdengar oleh telinga Mayang.
"Eh, sori-sori." Jevi berkata begitu melihat istrinya menatap dengan tajam. "Aku nggak bakalan malu-maluin kamu di sini, Yang. Tapi makasih, ya. Aku udah lama nggak ngerasain masakan kamu."
Bukan hanya Jevi yang sedih dengan hal itu. Mayang juga. Dia merasa sedih karena tak bisa menjadi sosok istri yang baik untuk suaminya. Ini juga menyiksanya karena tidak bisa memberikan apa yang seharusnya dia berikan untuk Jevi. Maafin aku, Jev.
"Eh, Yang."
"Kenapa?"
"Kamu cium sesuatu, nggak?" tanya Jevi sembari mengendus-endus pusat dari bau yang ditangkap oleh indera penciumannya.
Mayang jadi ikut melakukan apa yang Jevi lakukan. Merasa tak asing dengan aroma yang masuk dalam penciumannya.
"Bentar, kayaknya aku tahu. Ini sumbernya pasti dari anak kamu, Jev."
Kening Jevi mengerut dengan dalam. "Mahes kenapa? Biasanya emang dia..." Jevi langsung menepuk jidat. "... Mahes buang air."
Melihat wajah suaminya yang mendadak pias, Mayang tertawa. Tawa itu menular pada Jevi karena mereka ini pengalaman yang unik untuk mereka.
"Cari kamar mandi sebentar, deh. Aku udah bawa persiapan di tas." Mayang berjalan kembali setelah mengambil daging untuk dimasak, dan Jevi mengiyakan saja.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top