23. (b) SUNSHINE


Aku akan melakukan semuanya seperti yang seharusnya.

Gara benci sekali melihat tulisan itu berada dalam catatan perempuan yang sudah belakangan ini bersamanya. Hubungan mereka bukan hanya menjadi sekedar hubungan satu malam yang bisa diselesaikan begitu saja. Melainkan hubungan yang rumit dan tidak akan pernah Gara lepaskan begitu saja. Jadi, dia melihat bagaimana perempuan yang dia miliki itu terobsesi dalam balutan yang mengerikan.

"Apa yang kamu bikin ini?!" Gara langsung mengkonfrontasi apa yang dilihatnya.

"Apaan, sih?" balas Aurora dengan nada yang jelas tak suka dengan semua yang Gara lakukan. "Jangan ikut campur sama apa pun yang gue lakuin, ya!"

"Oh!" Gara mendengus. "Nggak usah ikut campur? Belakangan ini apa yang kita lakuin nggak berhubungan sama sekali untuk saling terlibat? Kamu ngerasa ini hubungan yang nggak bisa saling ikut campur??!" Marah Gara.

"Iya! Kalo elo terlalu banyak omong begini, mendingan elo pergi dari hidup gue dan jangan banyak omong lagi! Kita nggak usah saling kenal! Gue benci laki-laki yang suka ikut campur urusan orang lain!"

Itu sudah penghinaan bagi Gara. Jadi, pria itu memilih untuk pergi dan tidak memedulikan Aurora. "Saya benci perempuan yang nggak punya nalar. Sudah tahu orang yang kamu cari itu milik orang lain, masih berusaha kamu gapai? Sakit kamu!"

Setelah ucapan yang menyakitkan itu meluncur dari bibir Gara, semuanya menjadi sepi. Aurora kembali sendiri dan menjadi perempuan kesepian. Gara yang menemaninya sejak dirinya ditendang oleh Jevi kembali histeris.

"Gue benciiiiiii!!!"

*

Berbeda dengan Aurora yang bersikap seperti perempuan gila. Maka Jevi dan Mayang mulai merekatkan diri mereka satu sama lain dengan keberadaan anak mereka yang sungguh seperti magnet hingga membuat mereka saling tarik menarik. Mungkin juga karena efek dari menjadi orangtua baru yang membuat mereka begitu bersemangat sekali untuk saling terlibat mengurus Mahes.

"Yang, aku nggak ngerti caranya ganti popoknya Mahes." Karena sudah lebih dari seminggu. Mayang sudah tak betah untuk berada di rumah sakit meminta untuk rawat jalan dan Jevi mendedikasikan diri untuk mengurus Mayang dan Mahes.

"Masa masih nggak ngerti? Kamu, kan, udah diajari sama mama."

Jevi menggaruk pelipisnya. Dia dalam posisi terhimpit saat ini.

"Tunggu..." Mayang menyipitkan matanya. Sudah bisa berjalan, meski harus berhati-hati, Mayang mendekati Jevi yang sudah memasang wajah takut. "... kamu jijik sama bau kotorannya Mahes, kan? Ngaku!"

Tebakan Mayang memang tidak akan pernah meleset jika menyangkut Jevi. Karakter yang sudah sering didapati Mayang memang benar adanya. Pria itupun meringis tak sampai hati untuk mengatakan hal itu.

"Yaudah, minggir! Kamu emang kerjaannya cuma gangguin Mahes pas lagi wangi aja."

Jevi mundur, dia memang tak berani untuk mengangkat-angkat kedua kaki putranya yang masih begitu lembut. Dia tak tega jika melihat wajah Mahes yang tak mengerti apa-apa harus merasakan air yang mengusap permukaan bokongnya yang masih suka ruam jika tak menjaga areanya tetap kering.

"Aku bikin makanan dulu. Kamu mau apa?"

"Nasi sama telor yang biasanya aku bikin aja."

Jevi mulai berpikir. "Telornya pake apa aja waktu itu, Yang?"

"Bawang merah, iris asal aja. Terus daun bawang. Kasih bumbu penyedap dikit, ya!"

Jevi membentuk gerakan jempol yang menandakan dia mengerti dengan baik apa yang Mayang sampaikan.

Jika melihat hal semacam ini, mereka tak seperti pasangan yang akan bercerai. Mereka tak terlihat seperti sedang saling mempertaruhkan rumah tangga. Bahagia dan tenang sekali melihatnya. Namun, dibalik semua itu mereka sedang ketar ketir. Jevi yang cemas jika Mayang akan keras kepala bertahan untuk menceraikannya. Dan Mayang yang cemas jika Jevi tidak akan berusaha untuk mempertahankan keinginannya bersama Mayang ketika persidangan nanti.

"Mahes, mama lagi takut. Gimana kalo nanti papa kamu nggak mau berusaha buat mama?"

*

"Yang, jangan ke kanan! Kiri dikit."

Mayang menggeser posisinya. "Gini? Udah pas?"

"Nah! Oke, tuh. Jangan gerak lagi."

Pada masanya, foto-foto yang mereka ambil adalah yang paling bagus. Cerita sebagai sahabat, semuanya tertuang dalam ekspresi foto yang mereka ambil saat berlibur bersama. Entah itu saat keluarga mereka berlibur bersama atau keduanya bergantian ikut liburan keluarga masing-masing.

"Eh, fotoin gue sama Jevi, May!" Amore saat itu yang masih sendiri suka sekali mendekati Jevi.

"Sini-"

"Nggak! Mo, elo fotoin gue sama Mayang." Kata Jevi tak mau dibantah.

"Lah? Kenapa?" Amore memberengut karena Jevi memilih memberikannya kamera dan pria itu sibuk bersiap mengatur posisi dengan Mayang.

"Deketan!" teriak Amo.

"Elo jangan kaku, Yang. Pegang gue kenapa? Lu najis sama sahabat sendiri?"

Momen dimana harusnya mereka segera mengambil potret, justru habis dengan perdebatan. Amore yang melihat itu mulanya ingin protes, tapi matanya menangkap kegiatan dua sahabat itu menggugah jiwa sok tahunya. Amo, dengan segala kemampuan memotret apa adanya mengambil tangkapan sebanyak mungkin dan bangga begitu melihat ada momen dimana keduanya saling bertatapan dan ... cinta terlihat di sana.

"Woy! Kalian udah kayak suami istri, tau nggak? Perang mulu!"

Dan mereka tak pernah menduga ucapan Amo adalah doa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top