23. (a) SUNSHINE
23. (a) SUNSHINE
Jujur, Mayang lebih suka menjalani apa pun berdua. Apalagi dengan kondisinya seperti ini. Dia sangat menyukai momen kebersamaannya dengan Jevi dan anak mereka. Menatap suaminya yang fokus dan suka sekali mengamati setiap tingkah kecil dari bayi mungil yang sukanya tidur dan menangis itu. Bagaimana, ya. Sekalipun Mayang akan tetap memaksa Jevi berjuang lebih keras untuk hubungan mereka, momen semacam ini mendilemakan dirinya untuk memilih memudahkan langkah pria itu saja.
Apa lebih baik dia memaafkan Jevi dan saling memaafkan dengan mudah saja?
Mayang menggelengkan kepala dengan cepat. Dia tak mau Jevi begitu mudahnya untuk perjuangannya. Ini waktunya pria itu menunjukkan apa yang bisa dilakukan untuk Mayang dan anak mereka.
"Sudah rundingan mau kasih nama apa?" tanya Widya begitu melihat interaksi antara Jevi dan Mayang sudah mulai tenang.
Jevi menatap Mayang, begitu juga sebaliknya. Mereka bertatapan seakan memastikan satu sama lain siapa yang ingin angkat bicara atas pertanyaan Widya.
"Mungkin Jevi udah nyiapin, Ma." Mayang menjawab pertanyaan ibunya dengan melimpahkan tanggung jawab memberi nama. Meski alasan sebenarnya adalah karena Mayang merasa bersalah tidak bisa memberikan tempat untuk Jevi mengadzani anak mereka ketika baru lahir.
"Kamu udah siapin, Jev?" Widya beralih memastikan pada menantunya.
Pria itu mengangguk. "Sebenernya sejak lama udah bikin, Ma." Ungkap Jevi dengan jujur. Ucapan itu mengejutkan Mayang yang tidak menyangka demikian.
"Beneran, Jev? Kok, aku bisa nggak tahu kamu siapin nama buat anak kita?"
Sekali lagi, Jevi tidak tahu apakah perempuan itu sadar atau tidak mengatakan 'anak kita' dengan lancarnya. Yang jelas Jevi menyukai ungakapan itu.
"Beneran, Yang. Aku emang sengaja tulis di memo kerja. Udah tertarik sama beberapa nama sejak kamu sibuk nyobain alat tes kehamilan. Aku mau udah siap ketika anak kita lahir."
Tersanjung, Mayang tidak bisa menahan genangan airmata harunya lagi. "Kenapa kamu nggak bilang-bilang, sih?? Aku juga pengen tahu, Jev."
Widya dan Broto tersenyum penuh arti melihatnya. Putri mereka sengaja bersikap mandiri ketika Jevi tak ada. Sekarang perempuan itu manja sekali pada suaminya. Hingga bicara saja menggunakan bahasa yang manja dan mudah sekali menangis di depan Jevi.
Pria itu mengecup kening Mayang. "Ketika nanti kamu pulang ke rumah kita, aku akan tunjukkin memo dan deretan nama yang aku tulis."
Itu adalah harapan sekaligus doa yang akan terus Jevi simpan dan usahakan untuk terjadi. Mayang harus pulang bersamanya ke rumah mereka yang sudah begitu sepi. Pulang bersama bayi mungil yang akan menemani hari-hari mereka dengan cerita baru.
"Jadi, nama apa yang mau kamu kasih ke anak kita?" Mayang yang salah tingkah memilih mengalihkan pembicaraan.
"Jayendra Mahes Nugra."
Itu adalah nama yang memiliki unsur dari nama Jevi dan Mayang. "Kamu setuju, nggak, Yang?" tanya Jevi dengan hati-hati.
Mayang mengangguk. "Nggak ada alasan untuk aku nggak suka. Itu nama yang sangat bagus dan perkasa."
Jevi merekahkan senyumannya atas pujian dari sang istri atas nama yang dia berikan untuk putra pertama mereka.
"Aku masih punya stok nama yang lain, Yang. Mungkin kita harus segera membuat nama-nama itu terealisasikan segera."
Widya dan Broto-pun tersedak. Sedangkan wajah Mayang memerah dan tak bisa menahan diri untuk menyembunyikannya.
*
"Mahes udah dibawa sama susternya, ya, Jev?" tanya Mayang yang begitu bangun dari tidurnya, yang lebih lelap dibandingkan dua hari lalu, tidak mendapati anak mereka.
"Iya, mandi pagi. Tadi susternya minta kain sama baju, dan guritanya. Aku sempet bingung. Tapi langsung paham begitu kemarin ingat mama gantiin pakaian Mahes."
Mayang tertawa pelan. Tak berani untuk tertawa lantang dan terlalu banyak bergerak karena bekas operasinya masih begitu terasa hingga membuatnya meringis sakit hampir setiap saat.
"Kok, kamu ketawa, Yang?" tanya Jevi yang mendapati raut istrinya yang lebih ranum. Lebih hidup ketimbang melihatnya pertama kali dan saat perempuan itu menangisi usahanya yang gagal untuk membuat Mahes menyusu darinya langsung.
"Ya, akhirnya kamu bisa jadi sosok papa yang ngerti komponen apa aja yang harus ada buat anak kamu, Jev. Biasanya kamu, kan, masih ngerasa kayak laki-laki lajang."
Jevi berlagak seperti memikirkan sesuatu. "Masa aku bersikap kayak laki-laki lajang?"
Mayang mengangguk. "Kalo ngerasa nggak kayak laki-laki lajang, mana mungkin diem aja waktu ada perempuan yang deketin? Harusnya, kan, nggak begitu. Tolak secara tegas, kasih tahu kalo punya keluarga dan benar-benar mencintai keluarga. Bukannya diem aja sampe perempuan lain salah paham sama sikap baiknya."
Jevi menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Tidak akan bisa mengelak dan jelas malu karena disindir terus menerus oleh sang istri. "Masih aja dibahas, Yang." Gumam pria itu.
Balasannya? Jelas Mayang merentet banyak balasan yang memang menyudutkan Jevi dan membuat pria itu hanya bisa mendesah napas lelah saja. Laki-laki jika sudah terlihat salah akan terus disudutkan, meski semuanya sudah terlewati, mulut istri akan lebih melewati batas normal dalam menarik ulang pembahasan yang sama berulang kali.
Nasib, nasib, Jev.
[Sekali lagi informasi bagi yang belum tahu, cerita Sunshine ini udah tamat, bisa dibaca di KBM atau beli langsung e-book nya di google playbook. Yang aku post di Wattpad cuma sebagian aja, ya.]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top