22. (b) SUNSHINE
Ucapan Mayang jelas tak masuk akal bagi Jevi. Bagaimana bisa perempuan itu mengatakan hal demikian padanya? Sudah lama mereka menanti, lalu pemikirannya terisi dengan apa hingga mengatakan begitu?
"Apa maksud kamu, Yang?" balas Jevi.
Mayang tidak tampak terganggu dengan nada marah yang Jevi gunakan. Pria itu sudah pasti tak terima, tapi itulah yang Mayang inginkan. Dia ingin Jevi meradang, merasakan bagaimana jika apa yang selama ini mereka perjuangkan dianggap tak sama seperti apa yang Mayang inginkan.
"Aku mau kamu bahagia, Jev. Salah satu sumber kebahagiaan kamu adalah Aurora, kan? Seandainya nggak ada anak ini diantara kita, itu memudahkan kamu untuk bahagia dengan perempuan yang kamu cinta. Itulah kenapa aku memilih nggak memberitahu kamu soal kehamilanku. Supaya kamu bahagia." Supaya kamu berjuang keras untuk kepercayaanku.
"Aku sama sekali nggak bahagia dengan Aurora! Aku sama sekali nggak menerima perasaannya."
"Tapi kamu diam saja waktu dia mengatakan kalo dia cinta sama kamu." Balas Mayang dengan tegas.
"Itu karena saat itu aku belum menyadari perasaanku sendiri. Aku bodoh karena mengira aku belum cinta sama kamu, tapi begitu kamu tinggalkan aku... aku tahu jawabannya."
Dan itulah tujuan Mayang. Sudah pasti Jevi mencintainya, hanya saja sikap tak tegas pria itu yang membuat Mayang melakukan semua ini. Meski terkesan gambling, karena bisa saja Jevi akan menuruti kemauannya untuk bercerai, itu menjadi risiko paling menakutkan dan Mayang mungkin akan turut menyesal dengan hal itu.
"Oh. Kamu baru sadar setelah aku ajukan surat cerai, ya? Kamu baru sadar begitu aku tinggalkan dan pernikahan kita ada diujung tanduk. Itu harus terjadi dulu, ya, Jev? Baru kamu bisa sadar sama perasaanmu? Kenapa nggak dari awal kamu sadar, kenapa sedari aku menyatakan perasaan kamu balas aku dengan kalimat yang sama. Kenapa kamu..." Mayang menarik napasnya dengan kesal. "Udahlah. Kamu pasti punya alasanmu sendiri."
"Itu karena aku bodoh, Yang. Aku yang bodoh membuat aku nggak sadar bahwa kamulah yang aku mau. Kamu yang aku cinta, Yang."
Mayang bergetar dengan ucapan yang keluar dari bibir suaminya. Sungguh tidak ada hal yang bisa membuat perempuan tersentuh selain hal-hal berbau emosional begini. Ditambah dengan momen pasca melahirkan begini, Mayang jelas semakin baper dengan kalimat cinta yang sudah dia tunggu.
Membuang muka ke jendela, Mayang tak ingin Jevi mendapati wajah memerahnya sekaligus tangis haru yang ingin keluar ketika bertatapan lekat dengan pria itu.
"Yang--" Jevi baru saja berniat untuk membujuk istrinya itu. Namun bayi mereka menangis. Hampir lupa dengan agenda yang perawat tadi ucapkan.
"Bawa sini, Jev. Aku akan berusaha untuk menyusuinya."
Jevi mengangguk dengan kaku. Dia pria tanpa pengalaman menggendong bayi dengan benar. Ketakutan terpancar jelas dari wajah Jevi begitu tangisan anaknya semakin keras.
"Jev! Jangan malah dilihatin aja! Angkat anak kamu, Jev."
Itu mungkin ucapan yang spontan keluar karena Mayang sudah gemas dengan tingkah Jevi. Namun, hal itu semakin mendebarkan Jevi sekaligus menjadi semangat bagi pria itu untuk menggendong sang putra.
"Sstt, Sayang. Maaf, maaf. Papa nggak jago gendong, makanya papa takut, Nak." Bisik Jevi yang diperhatikan oleh Mayang.
Oh, itu sangat menambah keharuan yang membuat airmata Mayang meniti turun. Meski perempuan itu usap secepat yang dia bisa.
Begitu bayi mereka dalam dekapan Mayang, Jevi menjadi kikuk kembali. Dia bingung harus bagaimana dan kemana. Sedangkan Mayang sibuk untuk membuat bayi mereka nyaman.
Bukannya langsung tenang bersama Mayang, bayi mereka justru semakin menangis karena apa yang dicari tidak cukup mudah untuk masuk ke dalam mulut bayi itu.
"Sayang... ini susunya." Mayang terlihat ketakutan. Terlihat tangan perempuan itu bergetar menyentuh putingnya untuk diarahkan ke mulut bayi mereka.
Jevi yang melihat itu bukan bernafsu, tapi turut bingung karena si kecil semakin keras menangis.
"Pelan-pelan, Yang. Mulutnya lebih kecil dari punya kamu." Kata Jevi menyabarkan istrinya.
Mayang semakin kalut. Dia tidak bisa berpikir jernih dan malah ikut menangis karena merasa gagal untuk melakukannya.
Jevi menggendong bayinya. Memberikan waktu sebentar untuk sang istri menenangkan diri. "Tenang, Yang. Kamu nggak sendirian."
Pelan-pelan, si kecil mengecilkan volume tangisannya. Mayang kembali mendapatkan waktu untuk berusaha menyusui bayinya. Jevi menyemangati lewat perkataan. "Kalo sakit jangan dipaksakan. Aku akan minta susu formula untuk bayi kita."
Mayang tidak membalas ucapan Jevi. Pria itu tetap berjalan keluar untuk meminta bantuan pihak rumah sakit guna meneyediakan susu formula. Dia kembali dengan botol di tangan dan usaha istrinya belum berhasil.
"Ini susunya."
Mayang menangis. Merasa gagal karena tidak bisa menyusui anaknya secara langsung. Jevi memeluk kepala Mayang dan mengecupi kepala perempuan itu. "Tenang, Yang. Nanti akan bisa. Jangan nyerah, kita berjuang sama-sama."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top