22. (a) SUNSHINE

Dengan segala modal nekat yang ia miliki Jevi membuat banyak orang terkejut dengan ekspresi marahnya begitu sampai di kediaman istrinya selama ini bersembunyi.

"Jevi?" sambut Widya dengan wajah bingung.

"Mayang di mana, Ma?" Jevi tidak berbasa-basi lagi untuk menanyakan keberadaan istrinya itu. Ya, istri. Mereka bahkan belum benar-benar resmi untuk berpisah.

"Dia masih di rumah sakit, Jev."

"Bisa anterin aku ke sana? Aku benar-benar ingin ketemu Mayang, Ma."

Widya yang tidak tahu kronologis permasalahan rumah tangga putrinya hanya bisa menurut pada Jevi yang tampak tegang. Yang Widya yakini, Jevi marah entah untuk alasan apa. Jadi, Widya memilih buru-buru mengunci rumah dan ikut Jevi guna menemui Mayang yang ditemani Broto.

Selama perjalanan, Widya tidak merasa percaya diri untuk bertanya pada sang menantu.

"Kenapa nggak ada yang hubungi aku, Ma? Kenapa nggak ada yang ngasih tahu aku kalo selama ini ternyata Mayang sedang hamil?"

Widya melebarkan matanya terkejut. "Jujur, Jev. Mama sama sekali nggak mengira kalo Mayang nggak bilang soal kehamilannya. Justru mama pikir kamu yang nggak mau datang dan mengunjungi Mayang yang sedang hamil."

Desahan penuh frustrasi yang Jevi keluarkan menjelaskan bagaimana kondisi pria itu begitu terkejut.

"Ma, aku nggak mungkin mengabaikan Mayang. Dari tujuh bulan lalu aku berusaha dapet jawaban soal alamat lengkap Mayang berada. Tapi semuanya kompak nutupin dari aku!"

Widya merasa menyesal sudah menjadi salah satunya yang menuruti Mayang untuk tidak menghubungi Jevi atau apa pun itu. Dia seharusnya mengabari sang menantu langsung dan memastikan apa yang terjadi.

"Maaf, Jev. Mama nggak tahu."

Jevi mengangguk, sekarang semuanya udah terlanjur, Ma. Aku mau fokus memperjuangkan Mayang dan anak kami... yang baru aku ketahui kehadirannya."

Selama empat tahun menunggu, akhirnya mereka mendapatkan bayi yang dinanti. Namun, dalam kondisi dimana Jevi tidak mengerti apa-apa. Dia justru tahu dari orang lain. Bahkan hingga ucapan selamat datang silih berganti, dia adalah ayah terbodoh karena tak mengetahuinya sendiri.

*

Pintu kamar perawatan terbuka. Mayang jelas tidak menyangka jika Jevi datang bersama Widya ke sana. Pertanyaan paling besar perempuan itu adalah, darimana Jevi mendapatkan informasi mengenai tempat tinggalnya? Karena hingga hari ini, Mayang tadinya berpikir untuk tidak menemui Jevi dan fokus pada anaknya sendirian.

"Ayah, bisa temenin mama dulu?" Widya memberikan kode pada suaminya untuk meninggalkan pasangan muda itu. Mereka butuh waktu untuk bicara dan merenungkan segalanya.

"Iya." Broto mengalihkan pandangan pada putrinya. "Ayah tinggal dulu, Kamayang."

Apalagi yang bisa Mayang lakukan? Menahan kedua orangtuanya tidak akan berhasil dengan wajah Jevi yang menyiratkan kekecewaan.

"Jevi, nanti ada perawat yang mengantar bayi kalian. Si kecil sedang dimandikan."

Jantung Jevi terasa diremas kuat. Tidak menyangka akan mendengar kata 'bayi kalian' yang akhirnya datang juga. Meski begitu, Jevi masih merasa terlambat karena baru mengetahuinya sekarang.

"Apa kabar, Jev?" Mayang memaksakan diri untuk menyapa suaminya yang akan segera menjadi mantan itu.

"Kamu tahu aku nggak baik-baik saja tanpa kamu. Yang, jujur sama aku. Kenapa kamu lakukan hal sejauh ini? Aku nggak kamu izinkan untuk tahu sejak awal. Kamu memilih menjalani kehamilan sendirian. Kenapa, Yang?" tuntut Jevi dengan pertanyaan yang Mayang tahu cepat atu lambat akan terkuak juga.

Mayang tidak langsung menjawab. Dia baru menghela napasnya dan pintu kamarnya terbuka dengan perawat yang mendorong boks bayinya yang sudah selesai dibersihkan. Mereka langsung terdistraksi dengan keberadaan bayi yang belum bernama itu.

"Ibu, ini adeknya sudah dimandikan, ya. Untuk menyusunya sudah boleh dicoba, pelan-pelan saja." Perawat itu melirik pada Jevi. "Bapak suaminya?"

Jevi mengangguk tegas.

"Dibantu kalo begitu, ya, Pak. Nanti kalo adeknya menangis, jangan dihentikan. Memang proses untuk membiasakan bayinya untuk menyusu pada si ibu agak sulit. Pasti mereka menangis karena belum terbiasa."

Jevi menelan ludahnya sendiri. Bagaimana dia akan bisa tenang jika berurusan dengan kegiatan semacam itu? Sudah tujuh bulan mereka tak perna bersinggungan untuk kegiatan yang intim. Pastilah canggung menjadi poin utamanya.

"Saya permisi."

Mayang memberikan senyumannya pada si perawat. "Terima kasih, Sus."

Dan mereka bertiga diam. Keduanya adalah ayah dan ibu yang bisa disebut amatir, karena masih tidak terbiasa. Kehadiran si kecil bukan hal yang bisa mereka anggap biasa saja.

Mayang diam saja begitu melihat Jevi mendekati boks bayi mereka. Mengamati wajah bayi laki-laki yang sangat lucu dengan wajah yang masih mirip dengan mendiang ayah Mayang.

"Wajahnya mirip sama ayah Tirta, Yang." Jevi mengatakannya bersamaan dengan ekspresi memuja putranya.

"Hm. Mama juga bilang begitu. Dia mirip kakeknya, dan itu membuatnya sangat lucu."

Jevi mengulurkan tangannya untuk menyentuh wajah bayi mungil itu. Anaknya. Dia bak penggemar yang tidak bisa berkata-kata dengan ciptaan Tuhan itu. Namun, kebahagiaannya terusik dengan kalimat Mayang yang mengejutkan.

"Maafin aku, Jev. Maaf karena memilih mempertahankan anak ini."

Mayang ini ngomong apa, sih?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top