21. (b) SUNSHINE
Tepat pada bulan ketujuh, Jevi seperti mayat hidup yang tidak bisa bahagia dengan dirinya sendiri. Mungkin karena sudah terbiasa dengan keberadaan Mayang sebagai teman hidup yang sudah merasuk menjadi bagian dalam diri Jevi, makanya sulit untuk bebas merasakan kebahagiaan layaknya pria lajang. Padahal dia bisa saja seperti pria kebanyakan yang bisa bebas dan merasa kembali pada masa muda. Namun, Jevi ternyata bukan termasuk ke dalamnya.
"Kamu ada masalah sama Mayang, Jev?"
Pada titah yang diberikan oleh sang ayah yang menginginkan untuk bertemu putranya. Pertanyaan itu muncul.
"Semua rumah tangga pasti ada masalah, Yah. Nggak ada yang adem-adem aja." Jawaban diplomatis itu menggugah Mario untuk menyentil kening putranya itu.
"Jangan lari bahas yang lain. Ayah nanya kamu lagi ada masalah sama Mayang, kan?"
Memangnya Jevi bisa menjawab apa lagi? Selain mengiyakan lewat anggukan.
"Pantes kamu nggak keurus. Lihat itu janggut kamu, kumismu, terus itu rambut gondrong, tulang selangka yang makin nonjol." Mario berdecak dan menggelengkan kepala. "Ini tanda-tanda seorang suami yang nggak diurus sama istrinya."
"Ayah sok tahu." Jevi masih mencoba menyangkal tebakan ayahnya yang memang benar.
"Ayah memang tahu. Karena ayahnya Mayang sempet ngobrol dan ada di Bandung. Ayah jelas bingung, kenapa dia ada di Bandung nemenin Mayang."
Jevi tertarik dengan pembahasan itu. "Terus, gimana?"
"Ayah kulik info. Sejauh ini yang ayah dapet soal rumah mereka saat ini, ayah bilang secepatnya ayah mau silaturahmi ke sana."
"Ayah Broto bilang apa lagi?"
"Biasalah. Sama-sama orangtua paham apa yang sedang terjadi sama kalian. Kita nggak mau ikut campur, kamu sama Mayang aja yang selesaiin."
Mario tidak memiliki atensi untuk melanjutkan ucapannya. Dia tak ingin Jevi malah semakin bingung dengan pendapatnya nanti. Apalagi mereka tak benar-benar dekat lagi semenjak Jevi menikah dan ditambah dengan kehilangan sosok ibu yang Jevi sayangi. Ada jarak diantara kedua pria itu tentu saja, tanpa dilihatpun hal seperti itu sudah bisa dirasakan.
"Apa ayah bisa kasih alamat lengkapnya ke aku?" tanya Jevi berharap sekali segera mendapatkannya.
"Belum dapet, Jev. Nanti, ayah akan langsung kabari begitu dapat."
Ah, rupanya Mayang sengaja bersekongkol juga dengan ayah Broto hingga sulit sekali memberikan alamat lengkap pada orang yang bisa dikatakan dekat dengan perempuan itu.
*
Belum sampai keinginannya untuk mendapatkan alamat lengkap istrinya, surat yang tidak dia sangka akan datang menjemputnya sudah berada di rumah. Tak disangka akan seperti ini yang dia dapatkan.
"Astaga Mayang...." Jevi merasa jantungnya berdenyut nyeri. Sebegini kerasnya pendirian sang istri, hingga tujuh bulan berlalu dia yang mendapatkan gugatan dari sang istri.
Menangis? Sudah pasti. Jevi tidak merasa rugi untuk mengeluarkan airmatanya untuk kesedihan semacam ini. Dia ingin menumpahkan rasa yang bertubrukan menjadi satu.
Sebelum esok dia harus menyongsong pagi dengan pemikiran baru yang harus waras, tentu saja.
*
"Selamat, ya, Pak!"
Sejak memasuki kantor pagi ini, Jevi heran kenapa ucapan selamat ditujukan padanya.
"Eh, ya." Sahut Jevi tak serius menanggapi.
Hari ini harusnya bukan menjadi bagian dari perayaan. Jevi mendapatkan surat dari pengadilan, kenapa dia diberikan selamat? Mana ada perceraian yang dirayakan? Kecuali memang anak buah serta rekan kerjanya bahagia atas perpisahannya dengan Kamayang.
"Pagi, Pak. Selamat, Pak. Akhirnya yang ditunggu hadir juga, ya, Pak."
Lagi, Jevi mendapatkan kalimat yang sangat aneh. Kenapa semua orang seakan mencintai keretakan rumah tangganya dengan Mayang???
"Orissa, coba kamu kasih tahu saya. Apa yang terjadi di kantor hari ini?" tanya Jevi pada sang asisten.
"Biasa saja, Pak. Seperti biasa, nggak ada yang spesial." Jawab Orissa meyakinkan Jevi bahwa tidak ada yang aneh. "Oh, ya, Pak. Saya belum menyampaikan rasa turut bahagia saya. Selamat, ya, Pak! Memang nggak salah saya punya bos tampan seperti bapak."
Jevi mengerutkan dahi. "Ini ada apa, sih, Orissa? Kenapa kamu juga memberi selamat ke saya?"
Orissa menatap Jevi lebih bingung. "Lho? Bapak gimana, sih. Saya ngasih selamat buat si kecil yang udah lahir, dong! Di Instagram sama status WhatsApp bu Mayang pasang foto bayi bapak sama ibu. Lucu! Kalau saja lahirannya di Jakarta saya pasti—"
"Istri saya pasang foto bayi?" potong Jevi.
Orissa kebingungan hingga tergagap menjawabnya. "I-iya, Pak. Memangnya bapak nggak suka bu Mayang pasang foto bayi kalian, ya, Pak?"
Jevi mendapatkan kesimpulannya. Mayang memang sahabatnya, tapi juga istrinya. Tapi kenapa tega menipunya?
"Atur ulang jadwal saya, Sa! Saya mau ke Bandung sekarang juga."
"Lho? Tapi, Pak—"
"Atur semuanya! Saya mau lihat istri dan anak saya!"
Ya. Istri dan anaknya.
Bego, Jev! Selama hampir tujuh bulan ini ternyata Mayang menghindarinya bukan karena memberi jarak untuk hubungan mereka. Mayang menjauh untuk menyembunyikan kehamilannya. Menutupi fakta bahwa ada nyawa yang tidak pernah Jevi sangka.
"Apa-apaan kamu, Yang? Kenapa kamu sengaja hide semua status kamu dariku?!"
Bodoh. Jevi memang pria bodoh yang tergiur kedatangan mantan kekasihnya, Aurora. Padahal, sumber cahaya dari kehangatan jiwanya bukanlah perempuan itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top