2. SUNSHINE
Satu tahun pernikahan....
Mayang menatap resah pada tes kehamilan yang dia coba pagi ini. Sulit untuk percaya bahwa ini adalah kali kesepuluh dia mengecek urinnya untuk mendapatkan hasil yang menunjukkan bahwa dia sudah berbadan dua.
"Katanya buang air." Suara Jevi terdengar. Harusnya Mayang mengunci pintu kamar mandi dan bukan hanya sekadar menutup serta berteriak 'aku lagi pup' pada pria itu saja. Karena seperti ini, Jevi suka masuk untuk memastikan apa yang istrinya lakukan di dalam kamar mandi sebenarnya.
Dalam satu tahun, bukan satu dua kali Jevi mendapati hal semacam ini. Pria itu sudah kenal betul kebiasaan baru Mayang semenjak bulan kedua pernikahan mereka.
Dari pantulan cermin, Mayang menyempatkan senyumannya yang serupa ringisan. "Sorry. Aku takut kamu ngomel, Jev."
Jevi menghela napasnya perlahan. "Udah tahu bakalan bikin kecewa, masih aja kamu lakuin? Gimana aku nggak marah, sih, Yang?! Kamu selalu nangis, diemin aku, terus tahu-tahu testpack numpuk di tempat sampah!"
Mayang tahu dia memang konyol. Mungkin tidak banyak perempuan seperti dirinya yang malah melakukan hal ini. Bukannya trauma dan enggan mengecek, Mayang justru berulang kali mencobanya ketika pagi hari.
"Siapa tahu ada rezekinya, Jev. Aku, kan, cuma coba. Kalo dapet seneng, kalo kayak gini ...."
"Kalo kayak gini kamu uring-uringan!" lanjut Jevi yang paham apa yang akan dilakukan perempuan itu.
Tak bisa menatap Jevi dari cermin, Mayang menunduk. Menangisi sikapnya yang memang tidak masuk akal ini. Sudah tahu akan menangis dan kesal sendiri, masih saja dilakukan dengan harapan hasilnya akan berubah.
Jevi mendekati sahabat sekaligus istrinya. Menarik tubuh itu dan membiarkannya menangis di dada Jevi.
"Udah, dong, Yang. Kita nikah bukan untuk dapetin anak aja. Kita nikah untuk bahagia, berdua."
"Kita nikah juga buat keluarga. Mereka akan bahagia kalo kita punya anak, Jev." Kata Mayang seraya mengeluarkan tangisannya.
"Udahlah, cukup kita nikah kemarin karena wasiat. Aku mau jalanin pernikahan sebenarnya sama kamu. Kalo memang kita diizinin berduaan aja, itu juga bagus. Kita pacaran sepuasnya. Mumpung dulu kita cuma habisin buat main sebagai sahabat aja."
Tahu bahwa ucapan suaminya itu benar, Mayang mendongak. Menatap Jevi yang kini membersihkan airmatanya. "Emang kamu nggak mau punya anak, Jev?" tanya Mayang.
"Mau. Apalagi sama kamu, yang ngurusin aku aja kamu bisa. Apalagi ngurusin anakku."
"Terus, kamu nggak keberatan aku belum hamil juga? Ini udah mau setahun lebih, masa aku belum hamil juga, Jev? Nanti kalo pada nanya—"
"Yang, kamu bilang begitu sama aja kamu nyindir aku sebagai laki-laki, suami yang harusnya bisa bikin kamu bahagia dengan ngasih anak. Kalo kamu nggak bisa hamil, itu bukan karena kamu sendiri, Yang. Memangnya kamu perawan? Mereka yang nyalahin kamu itu tolol! Karena kamu nggak mungkin berusaha hamil sendirian, ada aku yang jadi pemasok utama supaya kamu hamil. Aku nggak terima kamu nyalahin diri kamu begini, Yang."
Mayang memeluk Jevi semakin erat. Dia kecup leher suaminya berulang kali untuk mengalihkan pikirannya dari apa pun itu yang berkaitan dengan kegelisahannya.
"Jadi, kita pacaran aja, ya?" tanya Mayang dengan wajah sembab yang lucu.
"Hm. Pacaran aja, kita. Enak juga, kok, pacaran berdua terus. Apalagi udah sah. Nggak takut buat mantab-mantab."
Mau tak mau Mayang menjadi tertawa karena bahasa yang suaminya gunakan.
"Yaudah. Pacaran, yuk!" ajak Mayang.
"Lah? Sekarang banget? Kamu memangnya nggak kerja hari ini?"
Mayang menggelengkan kepala. "Aku mau izin sama pak Seda."
"Emang boleh? Katanya atasan kamu itu pemarah?" tanya Jevi serius.
"Ya, pasti marah. Tapi kalo aku bilang mau ke rumah sakit buat program hamil, dia pasti izinin."
Jevi menaikkan kedua bahunya. "Resto-ku bisa dicek nanti siangan. Kantor papa juga bisalah aku alasan mau rehat sejenak. Aku, sih, oke aja kalo kamu mau pacaran hari ini."
Mayang mengangguki, dia melesat ke kamar untuk mengambil ponsel dan menghubungi atasannya yang memang pemarah, tetapi perhatian itu.
Jevi memandangi Mayang yang sibuk memberikan alasan untuk cuti mendadak hari ini. Dia menerawang pada langit pagi yang mulai bergerak. Jendela kamar mereka yang luas memperlihatkan bagaimana mentari terpampang nyata. Dia juga diam-diam merasa kecewa pada dirinya sendiri karena belum bisa membuat raut bahagia Mayang muncul.
Mulai dari dasar mereka menikah, hingga sekarang satu tahun pernikahan, Jevi merasa gagal membahagiakan Mayang.
"Jev?"
"Ya. Gimana, Yang? Dikasih izin?" tanya Jevi.
Perempuan itu mengangguk. Setidaknya sekarang Mayang sudah tak menangis lagi.
"Terus, kita mau ngapain dulu pagi ini sebagai awal kencan kita?" tanya Jevi.
Mayang menubruk tubuh Jevi dan mengecup bibir pria itu cepat. Tanpa menunda, Jevi membalas hingga menjadikan gerakan itu sebagai kuluman. Tangan Jevi bergerak, menekan bokong istrinya dan mengusapnya hingga ke pinggul perempuan itu.
"Make out aja?" tanya Jevi yang merasakan istrinya menarik diri dan menatapnya.
Mayang menggeleng. "Make love!" balas Mayang dan segera menarik lepas pakaiannya.
"With all my pleasure, Yang!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top