19. (b) SUNSHINE

Sepulangnya dari rumah Amore yang malah membuat Jevi berakhir di jalanan tanpa tujuan jelas, mendorong pria itu untuk membeli sesuatu guna meredakan isi kepalanya yang hampir meledak. Jevi memang drama. Baru mengalami yang semacam ini saja dia merasa dunianya akan runtuh, merasa isi kepala terlalu penuh. Padahal dia belum tahu masalah seperti apa lagi yang akan dirinya hadapi ketika nanti saatnya tiba.

Jevi ingat bahwa dulu Aurora pernah berkata memiliki keluarga yang menjual minuman beralkohol mahal secara private. Terbiasa tinggal di luar negeri membuat keluarga Aurora itu memiliki bisnis yang terbilang tabu ketika berada di Indonesia. Jevi akan mencoba untuk mengoleksinya. Atau justru mengonsumsinya untuk menemani hari-hari ke depan tanpa Mayang.

Jika ada sang istri, ini akan menjadi hal yang sangat dilarang masuk rumah mereka. Segala jenis wine dan apa pun itu yang memiliki kadar alkohol ringan tidak akan Mayang izinkan ada di rumah mereka. Lihat saja. Jevi akan bertingkah tak masuk akal seperti Bella Swan ketika ditinggalkan oleh Edward Cullen. Dengan cara melakukan apa yang tidak disukai dan dilarang orang yang mereka harapkan ada di sisi. Jevi akan melakukannya hingga Mayang hadir dalam kepalanya, meski itu hanya semu semata.

"Aku akan lakukan yang tokoh dari film kesukaan kamu lakukan, Yang."

*

Tak masuk akal memang, tapi begitulah cinta. Oh, tunggu! Cinta? Memangnya Jevi sudah cinta pada istrinya? Ya, lupakanlah soal cinta. Yang jelas Jevi memang seperti orang gila. Menghabiskan uang simpanannya yang dia kira akan dihabiskan untuk membeli mobil atau motor gede baru, malah terkuras dengan membeli minuman yang satu botolnya bisa untuk membeli ginjal orang lain yang putus asa.

Ketika ada beberapa botol yang Jevi tata di meja, rasa bersalah menaunginya. Sesungguhnya Jevi tidak benar-benar ingin seperti ini. Dia selalu ingat Mayang yang akan marah padanya. Dia akan membuat Mayang kecewa jika istrinya itu tahu seperti ini perilakunya.

"Tapi aku begini juga karena kamu, Yang."

Jevi menyangkalnya sendiri. Padahal Mayang juga sepertinya tak akan peduli dia melakukan hal gila apa. Namun, Jevi masih merasa bahwa Mayang tidak akan setega itu mengabaikannya.

Semakin pusing dengan semua itu. Jevi mulai kalap untuk merasakan dunia yang melayang-layang tak jelas arahnya. Jujur Jevi bukan maniak alkohol. Dia tidak memiliki kebiasaan buruk itu. Ya, meskipun sewaktu muda dia juga bergaul dan minum dengan teman-teman lelakinya. Tapi setelah menikah kegiatan semacam itu tidak ada lagi dalam kamusnya. Dunianya sudah berkutat dengan Mayang, Mayang, dan Mayang.

Kondisi yang mabuk memang selalu dapat membuat orang tak sadar dan melakukan hal gila lainnya. Jevi mencari kontak sang istri, meneleponnya berkali-kali dan tidak terhubung sama sekali. Dia tambah kadar mabuknya dan kembali menekan nomor yang ternyata kali ini sukses dengan nada tunggu. Begitu bunyi pip menandakan panggilannya diangkat terdengar. Jevi mulai meracau.

"Yang, aku beneran nggak bisa hidup tanpa kamu. Coba jujur, kamu sekarang tinggal dimana? Kamu kenapa kemarin-kemarin nge-blok nomorku? Aku ini salah apa, Yang? Aku nggak tahu harus gimana. Kamu mau aku ngejar kamu kayak cerita-cerita yang ada? Kamu mau aku berjuang, kan? Kalo gitu kasih tahu aku kamu dimana? Bahkan temenmu aja pelit nggak mau kasih tahu aku, Yang!"

Rentetan kalimat itu bercampur dengan isak tangis Jevi yang tanpa sadar sudah mengiringi suaranya. Cengeng. Tapi memang begitulah Jevi sekarang. Jika ada yang bisa membantunya untuk tidak cengeng seperti ini, itu adalah Mayang orangnya.

"Pulang, Yang. Pulang! Aku butuh kamu, Sayang."

Dan panggilan itu terus berlanjut, Jevi sendiri akhirnya juga tepar setelah mengeluhkan apa yang ada dipikiran.

"Yang. Aku sayang kamu."

*

Keesokannya, Jevi membuka mata dan menyesuaikan dengan cahaya terang yang bersinar dari jendela kamarnya. Jevi menggaruk dadanya dan tak ingin buru-buru bangun karena nyawanya belum pulih dari ketidaksadarannya sendiri.

Ketika tangannya direntangkan, Jevi tertegun dengan kulit pipi yang dia rasakan. Itu pasti manusia, bukan makhluk jadi-jadian. Maka dengan cepat dia membuka mata dan begitu terkejut dengan keberadaan Aurora di sana. Di kamarnya. Lebih parahnya di ranjangnya.

"Rora!" seru Jevi membangunkan Aurora yang berlagak mengucek mata dan menyesuaikan cahaya.

"Eh. Hai, Jev."

Hai, Jev? Bisa-bisanya Aurora menyapa seolah semua biasa saja.

"Kamu ngapain di sini, Ra!?"

Aurora duduk dengan wajah lugu. "Kamu yang telepon aku semalam. Kamu minta aku datang."

"Apa?!" sahut Jevi dengan panik. Dia tidak merasa menghubungi Aurora. Dia semalam menghubungi ... apa nama Mayang berubah haluan jadi nelepon mantan?

"Kita ... kita ngapain semalam? Kamu sadar, kan? Aku yang mabuk!"

Aurora menyembunyikan senyum tipisnya. Dia usap dada telanjang Jevi. "Tenang aja, Jev. Kita nggak ngapa-ngapain. Rileks, Jev. Nggak ada yang tahu soal ini. Hanya kita berdua."

Jevi geram. Dia bangun dari tempat tidur, untungnya celananya tidak terlepas dari tempatnya berada. Dia tarik paksa Aurora untuk keluar dari rumahnya. Mendorong barang-barang perempuan itu juga untuk segera pergi dari rumahnya dan Mayang.

"Jangan pernah berani ke sini lagi! Dan setelah ini aku akan membatalkan kerjasama kita. Nggak peduli biaya pinaltinya! Kamu bukan siapa-siapa lagi bagiku, Ra."

"Tapi kamu cinta aku--"

"Aku udah sadar sekarang. Bukan kamu, tapi Mayang yang aku cinta! Istriku itu yang aku mau untuk ada untukku, bukan kamu!"

Aurora menggelengkan kepala tak percaya. "Nggak mungkin! Nggak bisa gitu, Jev!"

"Pergi! Jangan pernah tunjukkin muka kamu lagi. Kita sudah benar-benar selesai!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top