19. (a) SUNSHINE
Mayang tidak pernah suka dengan kondisinya sekarang. Mual bergejolak dan itu sangat mengganggu seluruh aktivitasnya. Bukan hanya aktivitas, bahkan semangatnya turun drastis. Kandungannya bahkan sudah memasuki usia lima bulan, tapi entah kenapa mualnya baru muncul sekarang. Jika kebanyakan perempuan akan merasakan mual di awal kehamilan, Mayang justru berbeda.
Ah, selain itu. Mayang juga jadi kembali ingat bahwa sudah tiga bulan ini dirinya meninggalkan Jevi. Kabar yang ternary dari Amore, pria itu masih suka bertandang me rumah Amore dan bermain dengan Mada. Sepertinya Jevi tidak memiliki pekerjaan yang jelas selain mencari tahu mengenai Mayang. Mungkin itu pekerjaan tetap Jevi semenjak ditinggal Mayang.
"Nih, teh anget. Minum dulu, Yang." Kata Widya membantu putrinya supaya tidak semakin mabuk.
"Mual, Ma."
Widya memajukan gelas teh tersebut pada Mayang. "Minum aja dulu."
Mayang menangis, mengelurkan airmata seolah Widya sudah sangat menyiksanya.
"Kok, malah nangis?" tanya Widya heran.
"Mama itu sayang aku nggak, sih?"
"Hah? Jelas sayang! Maksudnya apa kamu nanya begitu, Ayang?"
Mayang mendorong gelas teh kembali ke arah mamanya. "Kalo mama sayang sama aku, kenapa mama paksa aku buat minum terus??? Aku mual! Berapa kali harus aku bilang, aku mual!"
Widya paham betul bahwa putrinya bersikap emosional begini karena memang faktor dari kehamilannya yang menjadi sumber utama emosi yang berubah-ubah.
"Mama taruh sini. Mama nggak paksa lagi, kamu bisa minum setelah kamu siap buat minum. Maafin mama karena paksa kamu minum teh ini."
Ucapan Widya terdengar biasa saja bagi orang lain yang mendengar. Namun, bagi Mayang ucapan itu justru terdengar sebagai sebuah sindiran. Dia belum pernah seperti ini sebelumnya. Berpikiran negatif terhadap apa pun yang ada di sekitarnya. Ternyata hamil, atau mengandung, yang selama ini Mayang inginkan jelas tidak mudah. Begini rasanya, semua hal menjadi buruk dan negatif saja baginya. Padahal seharusnya tak begini. Mamanya jelas ingin membantu, memberikan pertolongan dan menemani Mayang yang sedang dalam kesulitan ini.
Ya, beginilah kehamilan yang Mayang jalani. Penuh emosi, meski ingin dalam dirinya sendiri tak begini.
"Jangan tinggalin aku, Ma." Lirih Mayang yang melihat mamanya akan keluar dari kamar mandi.
Widya menoleh. Menatap sejenak pada putrinya yang kepayahan dengan kehamilannya. Ada helaan napas yang tersirat tanpa benar-benar terlihat. Mungkin saja Widya juga sama lelahnya dengan Mayang yang harus bolak balik ke kamar mandi, berharap memuntahkan isi perut tapi tidak ada yang keluar sama sekali. Mungkin Widya juga lebih tak mengerti apa maunya si bayi dalam perut Mayang, lebih dari diri Mayang yang berbagi tubuh dengan si bayi.
"Mama di sini. Kamu bilang aja mau apa."
Ah, ibu. Memang tidak pernah ada tandingannya perjuanganmu.
*
Amore menggigiti bibirnya yang sudah gatal ingin bicara pada Jevi. Pria itu tanpa henti berusaha untuk menggali jawaban dari Amore mengenai keberadaan istrinya.
"Elo nggak punya kerjaan, Jev?" tanya Amo pada akhirnya.
Mada tetap asyik dengan ranah permainannya. Sudah mulai terbiasa juga dengan keberadaan Jevi di sana yang hanya lebih banyak mengamati Mada melakukan apa saja yang anak itu suka.
"Mayang apa kabarnya hari ini, Mo?" tanya Jevi yang justru berbalik membuat Amo pusing.
Menjawab Mayang dimana adalah hal yang tidak Amore bisa jawab dengan lugas. Dia sendiri belum diberitahu dimana tepatnya Mayang tinggal saat ini di Bandung. Yang Amore tahu, Mayang benar-benar merealisasikan untuk tinggal di daerah sejuk dan hidup seperti seorang yang seumur hidupnya dihabiskan untuk liburan dengan pemandangan asri.
"Jev, kalo gue tahu. Gue pasti bakalan kasih tahu elo tanpa basa basi lagi. Gue capek elo teror begini terus, tahu nggak?"
"Harusnya memang elo capek dan menyerah untuk sekongkol sama Mayang untuk membantunya bersembunyi terus, Mo."
"Astaga." Amore menepuk jidatnya dengan lelah. Dia merasa sangat sia-sia bicara dengan Jevi yang mengira Amore tahu segalanya. "Asal elo tahu, Jev. Mayang sama aja bersikap ke gue. Dia merahasiakan semuanya. dia menutupi segalanya untuk diri dia sendiri. Yang pasti, waktu itu dia pernah minta ke gue supaya bilang ke Anom dia mau cari rumah. Tapi sama Anom ditolak karena kita kenal dengan baik. Sebelum Mayang ngasih kepastian kalo elo kasih izin, Anom nggak mau bantu cariin rumah."
Jevi mendesah pelan. Kembali menatap Mada yang memiliki dunianya sendiri. Anak Amore sudah sebesar itu, tapi Jevi dan Mayang tidak bisa saling berkaca bahwa bukan lagi saatnya mereka saling bertengkar dan kabur-kaburan begini. Ya, walaupun Jevi tahu istrinya pergi dan meminta izin darinya. Tetap saja ini namanya kabur. Karena Jevi tidak diberitahu tempat tinggal yang baru perempuan itu, pun nomornya diblokir dari daftar kontak sang istri.
Jevi mulai frustasi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top