18. (a) SUNSHINE

Hal yang paling membuat Jevi sedih sekarang adalah dirinya tidak bisa menghubungi Mayang sama sekali. Kontak Mayang seperti tak bisa diraih. Sepertinya perempuan itu sengaja memblokir nomor Jevi dikontaknya. Sudah lama Jevi tidak merasakan patah hati, sekarang dia merasakannya kembali.

Rencana perceraian itu juga sebenarnya dia harapkan supaya tidak terlaksanakan. Semoga saja Mayang bisa berubah pikiran dan mereka bisa bersatu kembali. Karena jujur saja, Jevi tidak suka sendiri. Dia tak suka sendirian di rumah yang seharusnya terisi oleh suara dari ocehan sang istri.

Sekalipun tak ada kalimat cinta yang keluar, tapi Jevi merasa tanpa cinta mereka sudah saling terikat dan memiliki ikatan yang kuat.

"Orissa."

"Ya, Pak?"

"Kenapa perempuan suka sekali menanyakan soal cinta?" tanya Jevi pada Orissa yang bingung dengan pertanyaan atasannya itu.

"Eh... kalo saya sendiri memang lebih suka hubungan yang berdasar dari rasa saling cinta, Pak."

"Memangnya tanpa cinta nggak bisa saling berhubungan?"

Wajah Orissa memerah sekejap. Dia menyalah artikan kata 'berhubungan' yang Jevi sampaikan.

"Maksudnya berhubungan bagaimana, ya, Pak? Soalnya jenis hubungan di dunia ini, kan, banyak, Pak."

Jevi menghela napasnya keras. Dia malas mengulang-ulang pertanyaan dan jawabannya hanya mengambang. Namun, dia juga ingin jawaban yang pasti. Ah, wanita. Apa semuanya suka menggantungkan makna dari ucapan mereka?

"Ya, hubungan yang melibatkan lawan jenis di dalamnya. Kenapa harus ada cinta? Sedangkan tanpa cinta semuanya bisa berjalan apa adanya."

Orissa terlihat berpikir sejenak. "Kayaknya di dunia ini, yang namanya manusia nggak akan suka dengan semua yang bergaris besar 'apa adanya', Pak. Semua orang pasti sukanya nuntut, Pak. Memang nggak akan dapat kesempurnaan, tapi seenggaknya cukup untuk merasa 'ada sesuatunya'. Maksud saya, ada timbal balik yang sepadan gitu, Pak."

Jevi semakin tidak mengerti akar dari jawaban Orissa. "Apa maksudnya, Orissa? Saya benar-benar nggak paham."

"Gini aja. Bapak kalo nikah sama bu Mayang, apa nggak masalah semisal bu Mayang nggak cinta sama bapak? Pasti jadi masalah, kan? Soalnya, bapak bakalan mikir bu Mayang cinta sama pria lain. Nah, kalo sampe perasaan bu Mayang buat orang lain, apa bapak nggak berpikir sewaktu dekat dan skinship bu Mayang bayangin sosok yang dia cinta?"

Jevi-pun terdiam. Dia sama sekali tidak pernah mempermasalahkan mengenai hal itu. Sebab sedari awal dirinya dan Mayang menikah karena wasiat mendiang ibunya. Bukan karena cinta yang saling menggebu hingga merasa perlu untuk menuntut perasaan.

"Itu yang jadi masalah." Gumam Jevi membuat Orissa menyahut bingung.

"Apa, Pak?"

Pria itu menggeleng dan membiarkan Orissa untuk kembali ke tempatnya dan bekerja. Dia tidak akan merasa semuanya baik-baik saja setelah menanyakan apa yang ingin dirinya tahu pada Orissa. Tapi sesi bercerita itu saja cukup untuk hari ini.

*

Beberapa hari setelahnya, Jevi tetaplah linglung karena ditinggal oleh Mayang. Makan, minum, mandi, pakaian, pekerjaan rumah, semuanya terbengkalai.

"Yang, kopi aku mana, ya?" teriaknya ketika sedang bekerja di depan laptop di kamarnya.

Padahal, jika ada Mayang di rumah, pekerjaan tak diizinkan mampir di ranjang mereka. Karena mereka akan mengerjakan yang lainnya di sana.

"Yang--" Jevi baru tersadar. Dia teriak seperti orang sinting. Padahal yang diteriaki namanya jelas dia ketahui kepergiannya. "Astaghfirullah."

Memang, ya, saat terdesak dan putus asa seperti ini manusia seakan baru mau sering-sering meminta ampun pada Tuhannya. Giliran hari biasa yang membawa hal menyenangkan tak pernah menjadi masalah jika tak ingat.

"Kacau! Kacau, Jev!" serunya pada diri sendiri.

Jevi berdiri dari kasur dan berjalan menuju dapur untuk membuat kopinya sendiri. Tidak dipedulikannya cucian piring yang masih menumpuk. Dalam hati, besok-besok juga masih bisa dikerjakan. Padahal tidak pernah ada yang tahu mengenai hari esok.

Kala kalut begini, Jevi merasa sendiri. Karena semenjak ibunya meninggal karena diabetes yang diderita, Jevi tidak begitu akrab dengan ayahnya. Sesekali adik perempuannya memang menanyakan kabar melalui telepon. Tapi setahun belakangan mereka jarang saling mengabari karena adik perempuan Jevi sudah sibuk dengan keluarganya sendiri.

Keluarga bukan keluarga yang Jevi utamakan. Itulah mengapa dia lebih merasa kehilangan ketika Mayang menjauhinya, ketimbang rasa kehilangan sosok keluarga. Jika biasanya Jevi akan berlari pada Mayang, lalu sekarang dia harus berlari dan menceritakan segalanya pada siapa?

Bunyi keras dari ceret yang merebus air melunturkan lamunan Jevi. Dia justru merasa terganggu dan mengumpat pelan. "Sialan." Buru-buru meraih gagangnya dan sekali lagi mengumpat lebih keras karena ternyata ceret itu panas dan mengakibatkan Jevi menjatuhkannya. "Brengsek!"

Hidupnya tak pernah baik-baik saja ketika Mayang tak ada di sisinya.

"Pulang, Yang. Aku nggak bisa apa-apa tanpa kamu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top