17. (b) SUNSHINE
Mayang hidup dengan lebih teratur di sana. Rumah yang dia beli dari Banubiru ternyata membuat alam pikirannya lebih tenang dan santai. Terbukti, bagaimana cara dia bisa berpikir lebih jerniah dan tidak melulu terpenuhi dengan nama Jevi Nugraha terus menerus. Di sana, dia bisa menyibukkan diri dengan tanaman. Ada cabai, tomat, dan segala jenis bahan dapur yang bisa dirinya kembang biakkan sendiri tanpa pusing mengenai dimana lahan yang tersedia.
Tepat tiga hari kemudian sang mama datang dari Surabaya. Bersama ayah tirinya yang semakin tebal. Ya, maknanya tebal adalah bobot tubuh pria yang menikahi ibunya pasca meninggalnya papa Mayang enam tahun lalu semakin subur saja.
"Ayah Broto makin subur aja, Ma." Kata Mayang tanpa menutupi atau rasa sungkan. Padahal pria itu berada di sana.
"Lho? Kamu ini bagaimana, tho, Kamayang? Mama kamu ini jago masak, seperti kamu itu. Gimana ayah ndak makin subur kalo dicekoki makanan enak, Nduk?"
Mayang tertawa keras dibuatnya. Ayah tirinya tidak buruk. Justru sangat baik hingga lebih bersedia jika Mayang membutuhkan segala sesuatu. Namun, Mayang yang justru tak enak hati. Makanya memilih tinggal berjauhan dari mama dan ayah tirinya. Jika tidak begitu, Mayang tidak akan mandiri dan terus mengandalkan bantuan ayah tirinya.
"Ini rumah enak sekali, Kamayang." Komentar Broto melihat sekeliling rumah dengan gaya khas pria itu sendiri. "Kamu dapat dari mana bisa menemukan yang begini? Awalnya ayah kira kamu akan tinggal di perumahan yang berderet saling menempel. Soalnya, terakhir kali ayah main ke rumah teman, tipenya yang seperti itu."
"Dari orang yang butuh, Yah. Awalnya minta bantuan temen, tapi nggak dapet yang Mayang mau. Terus iseng pasang pertanyaan di sosial media, dapet kenalan yang lagi jual rumah ini."
Broto mengangguk dengan kumis yang bergerak tipis karena menutupi gerakan bibirnya.
"Kamu bisa carikan ayah rumah yang begini juga kalo begitu, Kamayang? Enak, asri."
Mayang tidak bisa langsung menemukannya tentu saja. "Banu cuma punya satu rumah ini yang dijual, Yah. Rumah yang lainnya di masih ditinggali."
"Ya, jangan yang itu. Kenalan kamu di sosial media itu, lho. Soale ayah rak paham seng ngono-ngono nan."
Kalau sudah menggunakan bahasa Jawanya, Mayang suka tertawa karena ayah tirinya itu sangat lucu ketika berkata dengan logat Jawa Timur-nya dan dicampur dengan bahasa Indonesia.
"Ya, nanti Mayang carikan."
"Tenan, lho ini. Ayah ndak sekedar iseng nanya."
Mayang menoleh pada sang mama. "Udah ibu suri izinkan emangnya, Yah?" tanya Mayang hati-hati.
"Sudah. Sehari setelah kamu hubungi, ayah jadi kepikiran untuk punya rumah di Bandung juga. Buat aset lumayan. Terus kalo liburan enak, tinggal carikan orang untuk mengurusnya aja."
Widya, mama Mayang hanya menggelengkan kepala. "Itu alasan aja, Yang. Aslinya ayahmu khawatir kamu tinggal sendirian di Bandung. Dia mau beli rumah, nanti paling dipakai orang yang dia percaya. Terus jagain kamu selama kamu tinggal di daerah ini."
Nah, kan. Ayah tirinya itu memang luar biasa baiknya. Mungkin karena tidak memiliki keturunan, membuat Broto teramat menyayangi Mayang seperti putrinya sendiri.
"Mama ini, lho. Buka kartu, kok, di depan anaknya! Nanti kalo Kamayang menolak gimana? Ayah nggak dicarikan rumah, malah gawat."
Widya menggeleng sambil lalu. "Mau makan apa, Yang? Bayimu rewel nggak urusan makan?" tanya wanita itu.
"Nggak rewel sama sekali, Ma. Justru makannya terlalu banyak, sampai Mayang suka bingung harus stok makanan seberapa banyak."
"Alhamdulillah kalo cucu ayah ndak rewel. Masak yang banyak, Ma. Cucu dan mbah kakungnya doyan makan, lho, ini!"
Mayang kembali tertawa bahagia. Mendengar ada kesamaan antara calon anaknya dan ayahnya. Meski ayah tiri, tidak ada hal yang lebih nikmat selain merasa mengalir darah yang sama. Tidak ada batasan.
Sepeninggalnya Widya, Broto mulai menatap serius pada putrinya. "Ayah boleh bicara sama suamimu, Kamayang?" tanya pria itu.
Mayang tidak langsung menjawab.
"Nggak sekarang juga nggak apa-apa. Tapi ayah nanya lebih dulu. Boleh nggak? Biar ayah bisa silaturahmi sama dia juga."
Mayang memberikan jawaban yang mengejutkan Broto. "Jevi sebenarnya nggak tahu kalo aku hamil, Yah."
Meski terkejut, Broto tetap bersikap tenang. "Kenapa? Jevi bapaknya anak kalian, Kamayang. Kalo kamu memutuskan untuk menjauh dan menyembunyikannya, apa yang salah diantara kalian?"
Mayang menghela napasnya. Dia memilah jawaban yang sudah pasti tidak bisa dia jabarkan seluruhnya.
"Ini soal perasaan, Yah. Juga beberapa hal lain yang nggak bisa Jevi dan aku kompromi."
Broto mengangguk, dan berusaha mengerti. "Nggak ada yang mengerti perasaan seseorang, Kamayang. Dan tidak ada yang bisa memaksakannya. Ada yang bisa menerima cinta sebelah tangan, ada yang tidak. Ada yang bisa menemukan cinta sejalan dengan jalan cerita, ada yang tidak. Nggak masalah, itu semua pilihan. Jika kamu menjadikannya masalah, itu juga pilihan. Ayah hanya mau yang terbaik untuk kamu dan cucu ayah."
Mayang kembali menangis. Dia rindu papanya, dan untung saja ada Broto yang bisa memenuhinya dikala Mayang sedang bimbang dengan keputusannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top