17. (a) SUNSHINE
Rasanya Jevi ingin bertindak jahat dengan memperkosa istrinya sendiri agar perempuan itu tidak bisa pergi kemanapun. Mengikat Mayang dan berakhir ditakuti perempuan itu. Namun, bagian kewarasannya tidak bisa membiarkan hal semacam itu terjadi. Mana sanggup dia melihat Mayang melihatnya dengan wajah penuh ketakutan dan menyebabkan hubungan mereka justru semakin kacau.
"Aku boleh tahu kamu mau ke mana?" tanya Jevi yang bukannya membantu Mayang memasukkan satu persatu baju perempuan itu, malah mengeluarkannya kembali dari koper yang dipersiapkan oleh sang istri guna kepergiannya yang sudah bulat itu.
"Aku nggak perlu kasih tahu kamu, Jev. Kalau nanti sudah saatnya, kamu pasti tahu dengan sendirinya."
Jawaban yang bijak. Tidak menolak menjawab secara terang-terangan, tetapi memberi indikasi bahwa Mayang keberatan dengan pertanyaan Jevi itu.
"Aku mau tahu sekarang, Yang."
Sejujurnya Mayang merasakan bulu kuduknya naik dengan panggilan Jevi yang tidak berubah itu. Rasanya asing sekali bicara semacam ini; membicarakan tempat tinggal salah satu dari mereka. Sedangkan selama empat tahun ini mereka selalu pulang ke rumah yang sama tanpa perlu bertanya dimana letak alamatnya.
"Kamu akan tahu, nanti. Jangan membuat aku malah nggak mau bicara sama kamu."
Jevi diam. Dia menatap seluruh aktivitas istrinya yang tidak Jevi pahami mengapa harus seperti ini pada akhirnya. Mereka bahkan bisa bicara berdua seperti ini, kenapa harus saling berpisah?
"Aku berharap kamu akan berubah pikiran dengan keputusan kamu ini, Yang."
Mayang hanya bisa menghela napasnya berulang kali. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Tidak ada yang perlu dia pikirkan secara berat sekarang. Anak dalam perutnya adalah prioritas utama. Stres dan beban tidak boleh menjadi batu halangan agar bayinya lahir.
Itulah mengapa Mayang enggan tinggal di sana dan semakin membuat kondisi bayinya tertekan karena stres.
"Aku udah pesen taksi." Kata Mayang pada akhirnya.
Jevi tidak beranjak dari tempatnya. Ranjang yang biasa mereka gunakan untuk banyak hal sungguh membawa banyak kenangan.
"Aku aja yang anter."
Mayang menggeleng dengan keras. "Nggak. Kalo kamu yang anter, kamu bakalan tahu tujuan aku dengan mudah."
Jevi mengusap wajahnya dengan frustasi. "Jadi kamu maunya aku nggak tahu dengan mudah? Kamu mau aku nggak tahu apa-apa soal keberadaan kamu?"
"Ya. Aku ingin kamu fokus dengan perasaan kamu, aku juga fokus dengan semua yang membuat aku marah dan kecewa ini."
"Itu nggak ada hubungannya dengan semua masalah kita, Yang! Alamat kamu itu biar aku bisa langsung ke kamu kalo aku cemas dengan keadaan kamu."
Sekali lagi Mayang dengan keras menggelengkan kepala. "Aku sudah meminta banyak pihak untuk menjaga aku di sana, Jev. Jadi kamu nggak perlu cemas soal aku. Justru yang harus kamu cemaskan adalah perasaan kamu. Kalo kamu nggak berjuang apa pun, maka nggak akan ada yang berubah dengan hubungan ini."
*
Perjalanan cinta mereka memang tidak mudah. Sekalipun sudah saling mengenal lama, bukan berarti akan lebih mudah. Justru semakin tak mudah karena Mayang sudah mengetahui banyak hal mengenai masa lalu Jevi. Di awal, itu mudah untuk Mayang terima. Lalu, di masa yang tidak mereka ketahui akan menjadi seperti ini ternyata mengetahui menjadi hal yang tidak menyenangkan.
"Ma. Aku boleh minta tolong?" sambut Mayang dengan pertanyaan pada sambungan telepon dengan mamanya.
"Ya, Ayang. Kenapa?"
"Aku pindah ke Bandung, Ma." Ada jeda yang sang mama berikan. Seorang ibu pasti bisa merasakan ketidakwajaran yang terjadi.
"Apa ada sesuatu yang terjadi, Ayang?"
Mayang menahan tangisnya yang ingin keluar. Dia harus menjaga emosi, karena kini dirinya masih berada di dalam kereta menuju Bandung dan akan menggunakan transportasi lagi untuk sampai ke rumah yang jelas jauh dari kota.
"Aku nggak tahu, Ma. Tapi aku mohon sama mama untuk nemenin aku di Bandung. Aku butuh mama."
"Tapi ayah kamu juga pasti membutuhkan mama di sini, Ayang."
"Aku mohon, Ma. Kalo ayah Broto bersedia tinggal sama kita juga nggak masalah. Aku butuh mama."
"Kenapa, Yang? Apa yang terjadi?"
"Aku hamil, Ma. Dan aku nggak bisa sendirian jaga diri, ini kehamilan pertamaku."
Tidak ada nama Jevi yang disebutkan oleh Mayang. Maka sang mama mencoba mengelitiknya. "Jevi kemana? Kenapa dia malah biarin kamu pindah ke Bandung sendiri?"
"Aku ceritakan ketika mama udah sampai, ya? Ayang masih di kereta, nggak mungkin cerita soal aib keluarga di sini, Ma."
Mau tak mau wanita di sambungan telepon itu menarik napas dan berkata bersedia. "Iya. Mama akan temani kamu. Baik-baik di tempat baru, jaga diri sampe mama dan ayah sampai di sana."
"Makasih, Ma. Salam buat ayah Broto."
Mayang akan memulai petualangan barunya tanpa diketahui Jevi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top