16. (b) SUNSHINE

Sudah cukup bagi Mayang untuk meminta kepastian dengan waktu yang lama. Itu benar-benar menyesakkan dan tidak akan membaik dalam waktu yang akan datang. Mayang tidak bisa menunggu lagi, terlebih dengan keberadaan janin dalam perutnya. Jika jawaban yang diinginkannya tak kunjung datang, maka Mayang yang akan memberikan jawaban untuk Jevi.

"Kamu habis dari mana?" Jevi menodong langsung begitu Mayang sampai di rumah.

Amore sudah banyak membantunya. Untuk pulang dengan keadaan masih lemas, Mayang memutuskan pulang dengan kendaraan online.

"Mobil kamu mana? Apa yang terjadi sama kamu? Jangan buat aku cemas, Yang."

Wajah pucat istrinya sudah memberikan penjelasan bahwa perempuan itu tidak baik-baik saja. Jevi mendekat, dia peluk tubuh Mayang dengan perasaan lega yang luar biasa.

"Mayang. Please, jangan begini. Kalo ada masalah yang kamu rasakan, bagi denganku."

Mayang mendorong tubuh pria itu, memberi jarak dan membuat Jevi kebingungan sendiri.

"Jev, aku mau jawabannya, sekarang." Mayang tidak menunda sama sekali keputusannya.

Dahi pria itu mengerut. "Jawaban apa?"

"Kamu udah cinta sama aku?"

Pertanyaan itu sudah membuat Jevi seketika mematung. Tidak bisa berkata apa-apa.

"Kita bahas itu nanti. Kamu pucat banget, baiknya kamu istirahat di kamar." Jevi berniat membawa istrinya untuk segera menuju kamar, tapi Mayang dengan keras kepala menuntut jawaban.

"Jev, aku mohon jawab sekarang!"

"Apa pernyataan cinta itu penting sekarang bagi kamu, Yang?"

"Penting! Karena kau nggak mau bertahan dalam pernikahan yang nggak membawa perubahan baik untukku."

Jevi tak percaya dengan apa yang didengarnya. "Apa maksud kamu? Pernikahan yang nggak membawa perubahan yang baik itu apa?"

"Itu adalah pernikahan kita. Kamu yang masih menyimpan perasaan untuk mantan kekasih kamu. Itu perubahan yang nggak membawa kebaikan."

Jevi berusaha untuk tidak terpancing dengan pembahasan ini. Dia mengelak, "Aku udah minta waktu ke kamu. Bantu aku untuk--"

"Empat tahun sudah cukup, Jev. Aku nggak mau memberi waktu lagi untuk kamu yang nggak tahu sampai kapan meragu tentang perasaan kamu." Mayang menekan kepalanya yang pusing. "Lebih baik kamu menyimpulkan sendiri perasaan yang kamu punya, Jev. Aku nggak mau menunggu dengan terus sakit hati melihat atau mendengar mantan kekasih kamu itu."

"Terus kamu mau kita gimana, Yang??"

Mayang menahan napasnya sejenak. Dia tidak bisa langsung begitu saja mengucapkan apa yang ada di pikirannya.

"Ceraikan aku, Jev."

Jevi mendengus. Matanya mulai memerah hingga membuatnya menengadah ke atas.

"Aku akan anggap nggak pernah mendengar ini, Yang. Udah, ya? Jangan bahas hal yang nggak masuk akal begini. Aku janji nggak akan membuat kamu kecewa lagi."

"Aku nggak butuh janji-janji kamu lagi. Aku mau hal yang pasti untukku, dan itu adalah perceraian. Aku nggak akan sakit lagi melihat kamu dengan siapapun, asal kamu melepaskan aku."

Siapapun tidak akan menerima perpisahan dengan mudah. Bahkan yang putus cinta saja tidak dapat melaluinya hanya dalam sekali tangisan. Apalagi yang menjalani rumah tangga yang sudah tahu seluk beluk pasangannya satu sama lain?

"Aku nggak siap. Aku nggak mau pisah, Yang."

"Aku juga nggak akan pernah siap, Jev. Tapi kamu membuat aku kehilangan kesabaran. Ini akan lebih baik ketimbang aku semakin sakit hati. Aku mau egois, Jev. Paling nggak untuk menyelamatkan hatiku." Dan anakku.

*

Jevi mengisolasi dirinya sendiri. Dia benar-benar tidak tahu memikirkan apa, melakukan apa, dan ingin bagaimana. Sebab sekarang yang ada di pikiran Jevi adalah kosong.

Sungguh dia tak ingin berpisah dari Mayang. Bagaimanapun hubungan mereka sudah melekat semenjak menjadi sahabat. Menjadi pasangan suami istri memang mengejutkan, tapi lebih mengejutkan lagi ketika ada kata perpisahan yang Mayang ucapkan.

Ketukan pintu menyadarkan kosongnya pikiran Jevi. "Jev." Tubuh Jevi langsung menegak.

"Ya?"

"Bisa bicara sebentar?"

Jevi berharap ajakan bicara ini adalah bentuk pikiran sang istri yang berubah. Semoga saja ucapan Mayang semalam hanya bentuk emosi semata yang khilaf. Jevi sungguh berharap.

Langsung keluar dari kamar, Jevi mengikuti langkah istrinya menuju ruang televisi. Begitu Mayang duduk, Jevi yang semula akan merapatkan duduk-pun tak jadi. "Kamu di situ aja, Jev." Belum apa-apa harapan Jevi lenyap.

"Aku mau merincikan rencana kita." Mulai Mayang.

"Rencana apa?"

"Perceraian."

"Itu bukan rencana kita. Aku nggak merasa sepakat dengan itu."

Mayang menghela napasnya. "Ya, terserah. Rencanaku."

Jevi terdiam.

"Aku akan mulai pindah besok. Lalu, aku minta kamu resmi memasukkan surat gugatan saat nanti aku mengatakan siap untuk gugatan itu."

"Kalo kamu nggak siap bercerai, untuk apa kamu pergi?" Jevi dengan gemas membalas.

"Jev. Kamu bilang kamu selalu nggak bisa bikin aku bahagia, jadi tolong, kali ini aja kamu buat aku bahagia dengan semua pilihanku supaya hatiku nggak semakin sakit."

Dan Jevi kembali terdiam.

"Jangan mengatakan kabar ini ke orang-orang sebelum kita benar-benar resmi pisah. Aku ingin kita tinggal terpisah dari sekarang."

"Kamu lakukan apa pun yang kamu rencanakan, Yang. Aku akan melakukan caraku."

Inilah keputusan mereka. Tak tahu di depan apa yang menyapa lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top