15. (b) SUNSHINE
Manusia selalu bisa merencanakan. Berharap penuh. Dan berusaha mewujudkan mimpi mereka. Namun, selalu ada takdir yang menaungi hingga ekspektasi terkadang menjauh dari realita yang ada. Beberapa waktu lalu mereka ragu, mencoba yakin, lalu kembali ragu, menyelesaikan satu, lalu kini seperti tak akan berakhir, masalah kembali datang dan membuat Jevi bingung untuk menampiknya.
Bukan apa-apa. Masalah bernama Aurora itu datang saat Mayang berada di kantor Jevi juga. Mayang sengaja datang untuk memberikan kenalan untuk menggantikan posisi Luluk sebagai sekretaris suaminya. Sedangkan Aurora datang dengan alasan rekan kerja.
"Kamayang, kan? Sahabatnya Jevi yang dulu sempet ketemu waktu kuliah."
Mayang memberikan senyuman palsunya. "Iya. Masih ingat, ya? Anyway, aku bukan cuma sahabat Jevi aja. Sudah empat tahun ini aku menyandang status istri Jevi."
Drama antar perempuan memang mengerutkan ketika disaksikan secara langsung. Jevi menekan kepalanya yang terasa berat dengan pemandangan di depannya.
"Aurora." Kedua perempuan itu langsung menoleh pada Jevi. "Bisa menunggu dulu? Karena saya ada agenda dengan calon sekretaris baru."
"Apa agenda kamu yang itu nggak bisa ditunda? Karena aku nggak bersedia nunggu, Jev."
Mayang sejujurnya ingin sekali menarik rambut panjang Aurora. Kepalanya panas karena cara bicara Aurora yang berbeda dari balasan Jevi.
"Yang? Apa adik tingkat kamu bisa menunggu? Karena seperti Aurora nggak mau ditunda."
Mayang ingin sekali bersikap kekanakan dengan sama tak mau mengalahnya. Namun, dia tak ingin mempermalukan diri sendiri. Biar saja Aurora segera membicarakan urusan pekerjaan dengan Jevi dan perempuan itu segera pergi.
"Aku dan Orissa bisa nunggu. Kamu urus teman lama kamu aja, dia kayaknya nggak sabaran."
Jevi tahu jika keduanya akan terus menerus menyindir satu sama lain. Dia berada di tengah jurang yang terlihat tak dalam, tetapi mematikan. Tak dalam karena jika dia mendepak Aurora dengan mudah, dia akan baik-baik saja. Namun, nyatanya dia harus melihat Mayang kembali berang dengan sikap 'sok' professionalnya pada Aurora.
*
"Kamu yakin nggak akan berubah pikiran, Jev? Yakin kalo Mayang bisa kamu cintai?"
Jevi menatap keras pada Aurora. "Jangan bicara yang macam-macam, Rora! Kamu—sudah aku bilang kalo aku ini suami Mayang. Kenapa kamu berusaha mengingatkan aku soal perasaanku?"
Aurora berdiri di depan pria itu persis. Wajahnya mendongak dengan berani. "Aku tanya ke kamu, apa kamu udah nggak cinta aku? Apa kamu udah melepaskan perasaan untukku, Jev? Kamu yakin aku bukan perempuan yang kamu cinta?"
Jevi berteriak dengan keras dan membuat siapa saja mematung mendengarnya. "Aku masih cinta kamu-pun nggak akan mengubah apa yang sekarang aku jalani!"
Benar. Jevi masih mencintai Aurora, mantan kekasihnya. Itu berarti Jevi tidak memiliki perasaan apa pun untuk Mayang, bukan?
Mendengar semua itu secara sembunyi-sembunyi, Mayang merasa sangat terkhianati. Selama ini, untuk apa semua perjuangan mereka? Kenapa Jevi masih tak bisa menghilangkan nama Aurora dari hatinya? Kenapa Jevi tidak bisa mengubahnya dengan nama Mayang? Kenapa Jevi harus berteriak semacam itu? Kenapa Jevi tidak berteriak 'aku memang mencintai istriku!' kepada Aurora supaya berhenti mengganggunya?!
Karena semua itu. Mayang memutuskan untuk menjadi berani malam ini. Mencari cara mengalihkan pikiran di pub dan menyiksa diri dengan minuman yang jelas tidak bisa dirinya tolerir. Entah untuk apa, tapi Mayang ingin melakukannya. Sendirian.
"Eh, mbak baby?" Sapa salah satu bartender yang mengenali wajahnya.
Dulu, Amore dan Mayang sering ke tempat ini. Lebih tepatnya Mayang menjaga Amore ketika mabuk nanti. Panggilannya adalah baby, karena Mayang tak bisa menolerir alkohol seperti bayi yang polos sekali.
"Hai! Minta yang dulu sering Amo minum, dong, Din."
Dindin mengernyitkan dahi. "Buat siapa?" Dindin mencari-cari keberadaan Amo. "Amo nggak ada di sini, Beb."
"Emang bukan buat Amo. Buat gue sendiri."
Dindin mencoba santai. "Sekarang udah bisa minum? Berapa lama nggak ke sini, ya? Sampai banyak perubahan kalian."
Mayang tidak menanggapi. Dia menatap gerakan tangan Dindin yang tidak pernah meragu meracik minuman untuk para tamu yang memang mencari tempat minum dan rileks, bukan berisik.
"Nggak tahu, Din."
Dindin tersenyum. "Don't forget Amo's phone number. I'll call her for you, if something happens."
"Thanks." Dindin dan segala pengertiannya.
Segera setelah minuman yang tidak Mayang mengerti —bahkan hafal namanya saja tidak—datang, Mayang mencobanya. Pada kecap pertama Mayang meringis. Rasa aneh membakar mulutnya dan belum berefek apa-apa. Astaga, bagaimana bisa berefek jika Mayang hanya mengecap!
Lalu, pada kecapan kecil lainnya Mayang mulai merasa pusing. Kepalanya terkulai di atas meja dan terdiam. Seperti orang tertidur.
Dindin menyentuh lengan Mayang dan tidak mendapati reaksi. Dia geledah tas Mayang dan menghubungi Amore seperti ucapannya tadi.
"Halo?" Amo baru saja akan marah pada si penelepon, tapi gagal karena sudah terkejut dengan kalimat Dindin.
"Temanmu pingsan di Grinx. Bisa jemput dia sekarang?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top