14. (a) SUNSHINE

Ternyata patah hati itu memiliki banyak variasi. Tidak hanya satu, dimana ketika diputuskan pacar maka akan dirasa banyak kesakitan dan kekecewaan. Patah hati di dalam pernikahan jelas lebih banyak dirasakan, dan tidak bisa dihindari dengan kata putus. Menjalaninya lebih rumit, complicated. Tidak terhitung berapa kali jumlah patah hati yang Mayang rasakan selama empat tahun ini. Belum lagi belakangan ini, dia semakin sering merasakan patah hati dengan sikap sang suami.

"Gue nggak paham sama kalian. Kenapa, sih?" Amore sengaja tidak membawa putranya dan meminta Anom mengurusi Mada sendirian. Demi Mayang yang sedang kacau kondisi hatinya.

Mayang menggeleng. "Gue juga nggak paham apa yang terjadi sama kami berdua."

Kondisi kalut sudah pasti terlihat dari penampilan Mayang saat ini. Dia tidak bisa mengatakan aib suaminya sendiri pada Amore. Namun, dia juga butuh teman cerita. Semuanya sungguh membingungkan.

"Terus elo maunya gimana? Katanya mau cerita, kok, malah mesen makanan banyak dan cuekin gue?"

Mayang menaikkan kedua bahunya asal. Pandangannya mengawang, seolah terlihat pada makanan, padahal tidak.

"Astaga, May! Ayo, dong, cerita sama gue! Elo tahu, kan, gue nggak bakalan ember."

Entah sudah helaan napas yang berapa kali, karena Amore juga tidak heran lagi dengan helaan napas temannya itu berulang kali.

"Mo, kalo ngurus perceraian itu--"

"Hus!!!" seru Amore menyela ucapan kacau Mayang. "Ngomong apa, sih, May!? Jangan macem-macem, deh! Di mata gue, kalian itu pasangan yang serasi. Dari awal gue kenal elo sama Jevi yang suka jadi tukang jemput, itu udah kelihatan banget muka-muka saling memuja kalian."

Mayang menangkup wajahnya dengan frustasi. Dia ingin menangis sekarang, karena membayangkan kejadian di masa itu adalah refleksi dari perasaan Mayang saja yang terlihat memuja. Sedangkan Jevi? Ah, semasa kuliah pria itu sudah memuja perempuan lain, bukan Mayang.

"May."

Amore menggenggam tangan Mayang. Menyalurkan kekuatan pada rekan sesama perempuannya. "Sabar, May. Semuanya akan ada jalan keluarnya."

"Mo ... gue nggak tahu, Mo." Rintih Mayang penuh kesakitan. "Dia nggak cinta sama gue, cuma gue yang cinta sama dia."

Amore menggelengkan kepalanya tak percaya. "Nggak mungkin, May. Jevi yang sebegitu posesif, cemburuan, dan selalu nempel sama elo nggak mungkin nggak cinta!"

Orang lain mungkin tidak akan pernah percaya bahwa memang Jevi tidak memiliki perasaan semacam itu untuk Mayang. Sebab yang terlihat, Jevi selalu memberikan perhatian yang sepadan seperti pria yang mencintai pasangannya.

"Gue nggak bakal ngomong gini kalo nggak ada buktinya, Mo! Gue sakit hati banget, kecewa banget, sedih banget, Mo. Dia nggak bisa ngasih hatinya buat gue selama empat tahun ngejalanin pernikahan ini. Selama ini, gue berusaha buat jadi perempuan sabar, ngurusin dia, perhatian sama dia, kenapa sulit buat dia kasih hatinya ke gue? Apa kurangnya gue, sih, Mo?"

Amore tidak bisa membalas dengan kalimat apa pun. Itu karena tidak akan ada yang bisa mengerti posisi Mayang selain diri perempuan itu sendiri.

"Belum lagi, mantannya dateng! Perempuan nggak tahu diri itu deketin suami gue, Mo! Dia berusaha menghasut perasaan Jevi buat perempuan itu lagi."

Amore semakin miris melihat kondisi sahabatnya yang seperti ini. Dia membiarkan Mayang menuangkan perasaannya. Diam mendengarkan dan memberikan usapan pelan pada perempuan itu.

"Gue harus gimana, Mo? Gimana? Gue pengen bertahan. Mempertahankan suami yang udah nikahin gue, berusaha untuk membahagiakan gue, berjuang bareng gue selama empat tahun ini. Tapi gue ngerasain sakitnya sendiri! Gue yang bakalan kecewa sendiri karena jalanin hubungan dengan perasaan bertepuk."

Amore merasa tepat dengan pemilihan tempat yang mereka datangi. Setidaknya tidak ada orang lain yang bisa mendengar mereka dengan fasilitas tempat yang menjaga privasi itu.

"Gue pengen nyerah, Mo. Gue nggak mau nyakitin perasaan gue sendiri. Mumpung belum ada anak diantara kami. Itu akan lebih mudah."

"May, nggak pernah ada perpisahan yang mudah. Semuanya akan berujung sulit dan menyakitkan untuk dijalani."

Tangisan Mayang semakin keras. Amore turut merasakan sakit mendengarnya. Menitikkan airmata, Amo segera menyusutnya karena tak ingin membuat Mayang semakin sedih.

"Gue pengen banget bersikap culas dengan jambak si mantan itu, Mo. Tapi gue sadar, itu cuma jatuhin harga diri gue. Bagusnya lebih elegan, tapi gue emosi!"

"May, udah, May. Ambil jeda dulu kalo emang elo nggak sanggup selesaiin sekarang."

"Gue bisa!" sahut Mayang dengan nada yang sarat akan emosi. "Gue bisa ngatasin semua ini, Mo. Gue bakalan konfrontasi Jevi terus. Mendesak dia terus, supaya dia memilih gue atau perempuan itu."

Amore menggeleng kembali. "Jangan, Mo. Kalo jawabannya nggak sesuai dengan apa yang elo mau. Justru nantinya yang sakit hati malah elo sendiri."

Lalu Mayang harus bagaimana?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top