13. (b) SUNSHINE

Jevi menatap tempat bekal yang tidak asing di matanya. Tidak dia dapati kotak bekal itu di rumahnya, melainkan di meja kerja sekretarisnya.

"Luluk."

Luluk yang sedang menyiapkan dokumen untuk Jevi esok pagi langsung menoleh. "Ya, Pak?"

"Itu kotak bekal kamu? Kamu bawa bekal?"

"Oh. Ini bukan punya saya, Pak. Ini tadi dikasih bu Kamayang. Beliau bilang untuk saya."

Terkejut dengan penuturan Luluk, pria itu mencoba membuat reka adegan yang terjadi tanpa dirinya ketahui.

"Tadi istri saya ke sini?" Luluk mengangguk, meski ada keraguan yang menyapanya.

Apakah salah jika Luluk mengatakan yang sejujurnya pada sang atasan?

"Kenapa kamu nggak bilang? Kenapa istri saya nggak masuk ruangan kalo ke sini?"

Pertanyaan kali ini sungguh tidak bisa Luluk jawab dengan mudahnya. Mendadak pusing sendiri harus berpihak pada yang mana.

"Eh, Pak ... tadi itu ada tamu. Saya sudah meminta bu Kamayang untuk langsung ke ruangan bapak, saya kira sudah sempat menemui bapak di dalam. Tapi ternyata malah begini kejadiannya. Mungkin bu Kamayang ingin memberikan bekal ini tadi, Pak. Tapi karena melihat tamu bapak bawa makanan, mungkin--"

"Kamu nggak perlu jelasin saya logikanya, saya paham." Sela Jevi yang menjadi kesal sendiri.

"Kalo nggak dijelasin laki-laki biasanya suka nggak sadar diri, Pak." Gumam Luluk begitu pelan. Tapi Jevi tetap bisa mendengarnya.

"Apa kamu bilang?"

Luluk langsung menggelengkan kepalanya cepat. "Nggak ada, Pak. Sudah jam lima lewat. Apa bapak nggak segera pulang? Semakin cepat semakin baik, lho, Pak. Supaya nggak banyak salah pahamnya."

Jevi mendecak dengan sindiran halus yang Luluk berikan. Tanpa membalas ucapan Luluk lagi, Jevi segera pergi dan menuju rumah. Semoga saja tidak ada kesalahpahaman yang membuat hubungannya dan Mayang semakin rumit serta canggung.

*

"Kata Luluk kamu tadi ke kantor, Yang?" tanya Jevi begitu sampai di rumah.

Mayang melirik sekilas suaminya. Dia sibuk membereskan peralatan dapur sehabis dia gunakan memasak.

"Iya."

Tahu bahwa Mayang marah. Jevi tidak membiarkan perempuan itu untuk sendiri.

"Kenapa kamu nggak masuk ke ruanganku, Yang? Aku nggak tahu kalo kamu datang tadi. Terus, kenapa kamu kasih makanannya ke Luluk? Itu buat aku, kan?"

Kamayang berhenti sejenak dari gerakan menggosok pantat wajan. Lalu, kembali fokus dengan balasan telak yang membuat Jevi meringis.

"Aku ngasih siapa aja makanan yang memang kekurangan. Buat apa aku kasih ke kamu yang udah dibawain makanan sama orang terkasih? Luluk belum makan siang, nggak ada yang perhatiin juga, apa salahnya? Aku nggak berniat ke kantor kamu, kok. Aku cuma nggak sengaja lewat."

Memejamkan mata. Jevi tahu ini akan tetap berujung pada pertengkaran, tak peduli seberapa kerasnya dia berusaha supaya tak ada adu argumen.

"Aku nggak mengundang Aurora. Dia datang sebagai klien, aku nggak bersikap diluar ranah profesional. Dia tadi bersikap baik aja, Yang."

"Oh? Dia klien kamu? Terakhir yang aku ingat kamu cerita cuma ketemu aja sama dia, bukan jadi rekan kerja."

"Astaga, Yang. Aku belum cerita soal itu karena aku nggak mau buat kamu kepikiran. Aku nggak mau kita bertengkar begini."

Mayang membalikkan badan dan menantang tatapan dengan suaminya. "Apa sekarang kita nggak akan bertengkar? Apa dengan kamu diam, aku akan selamanya nggak tahu?! Kamu udah janji untuk jujur, Jev! Sekarang apa??!"

Jevi membanting tas kerjanya dengan sembarangan. Tak peduli apa isi di dalamnya.

"Aku memang nggak tahu kalo dia bakalan datang ke kantor untuk kerjasama. Aku nggak berharap untuk bersama lagi sama dia, Yang. Aku selalu menegaskan diri bahwa aku adalah suami kamu."

"Tapi itu nggak cukup karena dia masih berharap sama kamu. Kenapa di berharap? Karena kamu nggak tegas dengan isi hati kamu! Begitu dia singgung soal perasaan, kamu diam! Itu berarti kamu memang masih nyimpan perasaan buat mantan kamu itu, kan?!"

Naiknya nada ucapan Mayang membuat Jevi juga tersulut. "Aku memangnya harus bilang apa?? Aku komit sama pernikahan kita, aku percaya kita akan menjadi pasangan yang kompak apa pun tantangannya. Jadi, aku nggak ngerasa Aurora perlu dibasmi seperti kutu."

"Kamu pikir kita ini sedang berjalan di atas kompetisi? Kamu anggap pernikahan ini perlombaan? Nggak ada tantangan bagi aku, Jev! Yang ada itu ketidaksiapan kamu soal perasaan di dalam pernikahan ini!"

"Apa?" Jevi membalas dengan terperangah. "Setelah empat tahun kamu baru bahas hal sepele ini? Sejak awal kita menikah itu karena komit, kenapa kamu bahas ini?"

"Karena aku udah melibatkan hatiku di dalam perikahan ini! Karena aku cinta kamu dan kamu nggak memiliki jawaban yang aku inginkan! Itu yang membuat aku ingin menuntut kamu yang mencintaiku, tapi ... kamu masih cinta dia."

Jevi tak bisa berkata-kata. Dia terdiam meratapi tangisan Mayang yang tak ingin disentuhnya barang sedikit.

"Aku mau kita memikirkan perasaan satu sama lain. Aku nggak akan membiarkan kamu ragu dengan pernikahan kita, dengan catatan, jauhi mantan kamu dan kita belajar saling mencintai." Mayang menatap Jevi penuh harap. "Bisa, kan, Jev?"

Pria itu hening sejenak sebelum menganggukan kepala dengan sedikit berat. "Aku akan berusaha mencintai kamu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top