13. (a) SUNSHINE

Mayang memang tidak baik-baik saja setelah pernyataan cintanya tidak ditangkap dengan Jevi dengan benar. Kecewa? Itu sudah pasti. Namun, bukan itu yang ingin Mayang besarkan. Jika menuntut rasa kecewa dan marahnya, Mayang tidak akan pernah bisa maju untuk menyadarkan Jevi mengenai perasaan pria itu sendiri yang mungkin saja sebenarnya sudah terisi oleh nama Mayang, bukan?

Dia akan mulai berusaha, tidak menunggu Jevi bergerak lebih dulu. Bukankah prinsip kerja seorang wanita tidak sesempit zaman dulu dimana perempuan selalu menunggu lelaki lebih dulu untuk bergerak. Sekarang bukan lagi meninggikan hal semacam itu. Apalagi dalam kamus Mayang, ini menyangkut dengan pernikahannya yang perlu dipertahankan.

Meski sejak awal dia tahu Jevi akan gamang dengan hatinya sendiri. Bersiap akan segala sesuatu, tetap saja Mayang ingin rumah tangganya tidak ambruk dengan badai yang hanya datang sekali tanpa bisa ditebak kapan tepatnya kedatangannya. Mayang ingin semuanya bertahan. Bukan pernikahan yang akan berhenti begitu tahu perasaan salah satunya tak teguh untuk pernikahan mereka.

Sedia payung sebelum hujan memang bagus. Memertahankan apa yang sudah menjadi kepemilikannya juga tak kalah bagusnya. Apalagi perasaannya sudah terang, jelas, bahwa cinta untuk Jevi memang benar adanya. Mayang tak ragu untuk mengucapkannya, walau tahu tak akan ada jawaban yang diharapkannya muncul. Ya, manusia. Hatinya akan tetap merasakan sakit dengan ekspekstasi yang keliru.

"Bu Kamayang."

"Hai, Luluk. Suami saya kosong, kan? Saya mau ketemu."

Mayang memang sengaja datang ke kantor suaminya untuk membangun hubungan yang tidak berjarak lagi. Menyiapkan masakan dan menentengnya dengan percaya diri guna menikmatinya bersama sang suami di kantor pria itu.

"Ada, Bu. Tapi...."

"Ada tamu?"

Luluk menatap Mayang dengan bingung. Menggaruk pelipisnya, dengan segera Luluk mengatakan agar Mayang berjalan saja ke koridor ruangan suaminya dan melihat sendiri saja apa yang tidak bisa Luluk jelaskan itu.

"Yaudah, makasih, ya."

Dengan percaya diri Mayang membawa langkahnya dengan ringan menuju ruangan suaminya. Kegugupan memenuhi diri Mayang. Dia sampai di depan pintu ruangan Jevi yang jauh dari meja Luluk. Mengatur napas, Mayang yang bingung kenapa pintu ruangan suaminya tidak tertutup rapat menyadari suara seorang perempuan.

Motivasinya berhenti. Tidak bisa memikirkan tujuan utamanya, karena kini dia ingin mendengarkan suara itu berbicara. Suara yang tidak asing, karena dulu semasa Jevi berkencan, sesekali Mayang sempat menjadi 'obat nyamuk' dan mengetahui suara siapa yang bicara itu.

Dari yang Mayang tangkap, Jevi tak banyak bicara dengan Aurora yang meyakini bahwa perasaan pria itu masih begitu lekat untuk perempuan itu.

Tak tahan untuk mendengarkannya lagi, Mayang segera berjalan pergi dari sana. Kacau sudah niatannya yang ingin mendobrak dinding kebekuan diantara dirinya dan Jevi.

"Bu--"

"Buat kamu. Makan kamu aja, Luk. Jangan bilang Jevi kalo saya datang, saya pergi dulu."

Dalam posisi seperti ini, Luluk yang tidak tahu apa-apa jadi serba salah. Tidak beruntungnya orang-orang semacam Luluk, yang tanpa sengaja menjadi tahu.

*

Memutuskan untuk mengalihkan diri atas apa yang didengarnya di kantor Jevi tadi. Mayang memutuskan untuk menemui seseorang yang memiliki rumah di Bandung dan berniat menjualnya karena terdesak.

"Bu Kamayang?" tanya salah seorang pria yang memastikan apakah wanita yang dilihatnya kini benar orang yang dituju.

"Oh. Iya. Mas Banu?" sahut Mayang yang menyadari wajah pria yang foto profil WhatsApp-nya juga mirip.

"Iya, Bu. Saya Banubiru."

"Silakan duduk, Mas Banu. Pesan dulu saja. Kita bicara setelah makan, maaf saya mendahului pesan, ya. Saya lapar soalnya."

Mayang adalah tipe orang yang tidak sulit untuk berbaur dengan orang lain. Banu sampai takjub mendapati Mayang begitu tak canggung berbicara dengannya begini.

"Ini yang ibu pesan?" tanya Banu. Sebenarnya pria itu terheran karena jumlah makanan di sana seperti untuk lebih dari satu orang.

"Iya. Maaf, ya, Mas Banu. Saya memang makan banyak, ini bukan dipesan untuk berdua. Mas Banu pesan saja. Saya yang traktir."

"Eh, jangan, Bu Mayang!" seru Banu panik. Belum apa-apa sudah berniat dibayari makan.

"Nggak apa. Saya berterima kasih karena saya bisa dapet rumah yang saya mau."

Banu tertegun. "Nggak mau dipastikan dulu? Ke Bandung, saya bisa perlihatkan rumahnya. Mungkin nanti ibu Mayang ada yang nggak sreg? Saya nggak mau ada kekecewaan."

Mayang membekap mulutnya sebentar. Dia menggeleng setelah mendorong makanan dengan mineral. "Saya percaya mas Banu. Video yang mas Banu kasih itu membuat saya yakin untuk membeli rumahnya. Kalaupun mau ada yang saya ubah, itu urusan nanti setelah transaksi kita berjalan baik."

Banu mengangguki. "Saya bisa bantu jika bu Mayang membutuhkan. Saya tinggal di Bandung juga, hanya kerjaan saja yang di Jakarta."

"Iya. Terima kasih, Mas Banu."

Transaksi mereka terjadi ketika jam makan siang. Dan Mayang sedikit melupakan kegundahannya mengenai sang suami bersama sang mantan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top