11. (b) SUNSHINE
Mayang tidak ingin untuk langsung percaya pada tebakan Amore mengenai kemungkinan bahwa dirinya sedang hamil. Perempuan itu adalah makhluk yang tidak bisa ditebak dengan mudah. Hormon yang berubah-ubah sudah menjadi sahabat tercinta bersama dengan mood yang akan lebih banyak kacaunya ketimbang baiknya. Perempuan juga makhluk yang lebih suka menerka-nerka ketimbang mencari tahu langsung tanpa drama. Memang begitulah sejatinya perempuan, hingga sesama perempuan saja bisa saling menyalahkan karena begitu bervariasinya ciptaan Tuhan yang dinamakan kaum hawa itu.
"Yang? Baju tidur aku belum kamu siapin?" tanya Jevi yang heran kemana pakaian tidur yang biasanya sudah disediakan sang istri di atas ranjang mereka. Tapi kini, Mayang malah sibuk melamun di atas ranjang dengan tablet yang menayangkan serial yang sedang banyak dibicarakan itu.
"Ada." Balas Mayang sembari melamun.
Jevi berdecak dengan menepuk keningnya. "Iya. Emang ada. Maksudku, tumben kamu nggak siapin baju tidurku? Biasanya aku keluar kamar mandi udah ada di atas kasur."
Jevi berdiri dengan handuk yang masih bertengger di pinggang. Dengan kedua tangan berada di pinggang, Mayang tidak merasa dihakimi. Justru perempuan itu membayangkan hal lain di kepalanya.
"Malah bengong! Yaudah, aku ambil sendiri—"
"Stop! Berhenti! Jangan pake baju dulu!" seru Mayang cepat.
Jevi tidak mengerti kenapa dirinya harus berhenti untuk bergerak. Tubuhnya hanya terbalut handuk, pendingin menyala, jelas akan menusuk kulit Jevi dan membuatnya menjadi gerakan menggigil.
"Kenapa, Yang? Aku nanti kedinginan."
Selimut yang semula menaungi kaki Mayang kini disibak oleh perempuan itu. Baju tidur satin yang jatuh dan tidak sampai menutupi paha Mayang membuat mata Jevi bergetar.
"Jev, kita pernah nggak saling muasin diri sendiri sebelumnya?"
Pertanyaan itu membuat Jevi mengerutkan dahinya dengan kuat. "Maksudnya apa, nih? Muasin diri sendiri gimana?"
"Ya, kamu dan aku sentuh diri sendiri sambil bayangin kalo kita saling sentuh."
"VS maksudnya?" sahut Jevi sekadar menebak.
Dia tidak akan menyangka istrinya bisa mengangguk dan mengatakan, "Semacam itu. Aku pengen begitu, Jev."
Sepertinya Jevi sedang mabuk mendengar penuturan istrinya yang satu ini.
*
Jevi terengah dengan tubuh yang masih bergemetar kecil karena ulah Mayang. Mereka berakhir memuaskan diri satu sama lain dengan cara yang tidak biasa. Mayang duduk di ranjang dan Jevi di sofa yang ada di ujung dekat jendela. Semula sofa untuk dua orang itu menghadap jendela, kini menghadap ranjang karena kemauan Mayang tentu saja. Menyentuh tubuh masing-masing dengan kondisi saling dekat dan dipaksa berjarak memang luar biasa. Ada sensasi menyiksa sekaligus menegangkan. Memang awalnya aneh, tapi lama-lama mereka terbiasa dengan mendengar desah yang langsung. Jevi semakin terpacu, begitu juga Mayang.
"Gara-gara kamu aku harus bersih-bersih lagi." Kata Jevi sembari mengambil handuk yang tadi sudah dibuangnya ke lantai.
Tubuh telanjangnya terpampang dan keperkasaannya tidak ditutupi apa pun lagi. Mayang tersenyum, dia senang mendapatkan pelepasan dengan cara baru.
"Bareng aja, Jev." Tawar Mayang.
"Nggak, deh. Nanti aku malah kebawa suasana, besok ada meeting pagi aku, Yang."
Mayang tidak memaksa lagi. Karena memang keinginannya sudah terpenuhi tadi. Begitu mendapatkan pelepasan, Mayang tidak menuntut apa-apa lagi.
"Mandi yang bersih, ya, Jev!"
Pria itu hanya misuh-misuh sendiri karena digoda oleh sang istri. Mayang menatap pantulan dirinya yang acak-acakan. Baju tidurnya yang seksi juga sedikit kacau karena ulah tangannya sendiri. Sungguh dia tidak mengerti, apa yang terjadi pada dirinya sendiri.
*
"Berapa kali papa bilang, papa nggak suka kamu kembali berhubungan sama laki-laki itu!"
Aurora memasang wajah tak senang. Papanya selalu saja membahas hal yang membuatnya murung, apalagi tentang Jevi.
"Pa—"
"Kamu itu nekat, Rora! Mantan kamu itu sudah menikah, bukan? Kenapa kamu nekat berhubungan dengan dia?"
"Aku dan Jevi itu rekan kerja."
"Itu alasan kamu! Pekerjaan hanya menjadi alasan supaya kamu bisa berhubungan lagi dengan lelaki itu!"
Aurora menghela napasnya. Sang papa tak pernah mau mendengar ucapannya.
"Apa salahnya Jevi, sih, Pa? Kenapa papa dan mama nggak mengizinkan aku menentukan pilihan sendiri??!"
Pria yang begitu menyayangi putrinya itu menarik napas dalam. Dia tidak mau sang putri mengetahui alasan utamanya.
"Papa yakin putri kesayangan papa bisa mendapatkan pasangan yang pantas. Dia nggak ditakdirkan menjadi pasangan kamu, buktinya, baru diuji jarak jauh saja kalian nggak bertahan. Apalagi sekarang dia sudah menikah, sudah punya istri, kamu mau merusak hubungan orang lain karena ambisi cinta buta itu??"
"Mereka nggak saling cinta. Mereka menikah karena wasiat!" balas Aurora keras kepala.
"Apa pun alasannya, dia sudah menjadi pria yang menikah. Kamu tidak boleh menjadi perusak pernikahan orang lain. Kamu anak papa yang terlalu berharga untuk hal semacam itu."
Tapi Aurora tidak akan langsung menerimanya. Karena cintanya pada Jevi lebih dari apa yang papanya larang dengan keras.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top