10. (b) SUNSHINE

Setiap kejutan itu selalu menegangkan. Sama juga dengan keberadaan Aurora di kantornya yang bisa disebut sebagai kejutan. Jevi sukses terkejut dengan kedatangan perempuan itu. Ada apakah?

"Kamu ke sini lagi? Katanya akan ada yang mewakili kamu." Jevi tidak menahan mulutnya untuk bertanya. Selain ingin tahu, Jevi juga berharap bisa membatasi intensitas pertemuan mereka. Supaya tidak ada keraguan yang Jevi rasakan kelak.

Aurora tersenyum manis dengan rambut yang dikuncir kuda. Pakaian resminya menunjukkan betapa Rora bertumbuh dan dewasa. Perubahan fisik, dan lainnya menjadi bukti bahwa Aurora mengalami kemajuan. Meski sejak dulu Rora sudah cantik, tapi tidak sedewasa sekarang. Berbeda dengan Mayang yang lebih suka apa adanya. Penampilannya selalu ceria dan tidak memakai brand tertentu yang menunjukkan kesan seksi atau sebagainya. Itu juga karena Jevi tak mau berbagi pemandangan dengan pria diluaran sana yang bertemu dengan istrinya.

"Jev, nggak ada yang bisa nanganin projek ini selain aku. Jadi, maaf. Kita akan lebih sering ketemu."

Pria itu mengangguki saja. Tidak ingin dianggap masuk dalam nostalgia mereka. Memang, sih. Salah Jevi juga, karena bersikap baik pada Rora kemarin. Makan malam yang dia iyakan, terjadi di apartemen perempuan itu. Pakaian Jevi yang harus diganti juga karena tumpahan wine yang tak sengaja tumpah ke pakaiannya. Dan Rora yang memaksa membelikan pakaian baru untuknya. Ya, dari dulu memang Rora lebih mudah menghamburkan uang untuk Jevi. Salah satu alasannya karena Rora memang lebih kaya dari Jevi.

"Intinya ini projek kamu, kan? Alasan kamu saja memakai bisnis keluarga. Ini hotel punya kamu." Kata Jevi setelah menyiapkan laptop-nya untuk membicarakan pekerjaan dengan Aurora.

"Aku nggak mau kamu merasa terintimidasi dengan itu, Jev." Ucap Rora tiba-tiba.

Jevi menatap dengan mata memicing pada Rora. "Apa hubungannya dengan aku? Itu projekmu, nggak ada urusannya sampai harus membuat aku terintimidasi." Balas Jevi biasa saja.

"Itu, kan, yang membuat kamu memilih mundur untuk mengambil hati orangtuaku dulu. Kamu menyerah karena perbedaan 'kasta' yang menurut kamu membuat hubungan kita nggak lagi nyaman. Kamu juga mengaku nggak bisa LDR, padahal selama satu tahun setengah kita baik-baik aja untuk saling jauh."

Jevi mendesah napas lelah. "Bisa kita bahas pekerjaan? Karena aku nggak merasa hal semacam ini harus kita bahas. Kisah kita sudah selesai, Aurora."

Ada hening menyapa diantara keduanya sebelum Aurora memaksakan diri untuk mengungkap kalimat. "Aku nggak ngerasa kita udah selesai, Jev. Justru ini adalah awal dari segala yang bisa kita punya."

Jevi tidak mau memberikan argumen lagi, lelah membalas seseorang yang sedang berambisi.

*

S-thetic semakin maju. Itu yang Mayang dan Amore simpulkan begitu melihat antrian order yang membludak. Stok di market place sudah habis, dan membuat admin mereka harus membalas satu persatu bahwa untuk sementara barang harus ditunggu dan mereka harus segera meliburkan toko karena jumlah stok yang sangat berbatas.

"Gue nggak nyangka bakalan se-hits ini produk kita berjalan." Kata Amore yang meletakkan Mada di sofa kantor kecil yang sudah tak cukup untuk barang mereka.

"Ya, apalagi gue, Mo. Kayaknya kita harus melebarkan sayap. Bangun kantor yang satu tempat gitu, Mo. Nggak numpang di tower ini lagi."

Amo menggoda sahabatnya itu. "Aseeeekkkk! Yang sekarang beralih jadi wirausahawati."

"Apaan, sih, Mo!" Mereka tertawa bersamaan dan sibuk melakukan pendataan untuk mengumpulkan apa saja yang harus mereka persiapkan itu season selanjutnya.

Para pegawai yang otomatis harus ditambah, dan pembangunan kantor itu juga bukan hal main-main. Mayang akan melaksanakan rencana tersebut.

"Cari makan dulu, deh, May. Jam makan siang, nih. Anak gue bisa kelaperan kalo kita di sini terus."

Melirik pada Mada yang sudah bangun dengan mata yang masih menyesuaikan sekitar, Mayang mengangguki. Dia tak mau Anom melarang Amo sering bepergian mengurus S-thetic jika anak mereka tidak terurus.

"Ayo, deh! Nanti kalo Mada nggak gembul lagi, Anom marah lagi."

Amo menyikut temannya itu, mendekatkan bibir pada telinga Mayang. "Jangan ngomong soal gembul, gendut, atau semacamnya, May. Asal lo tahu, bapaknya yang perasa karena faktor usia itu menurunkannya ke Mada. Anaknya jadi ikutan perasa kalo disinggung terlalu gembul."

Mayang hanya bisa membulatkan mulutnya dengan menatap Mada hati-hati. Dari lirikannya, sudah bisa terlihat anak itu yang akan tersinggung dengan ucapan Mayang sebelumnya.

"Mada." Panggil Mayang.

"Ya, nte May?"

"Mada, kamu mau makan apa?"

"Selah nte May."

Mayang langsung mencubit pipi Mada dan berkata. "Kamu lucu banget, sih, Mada. Nggak kayak mama kamu."

"Heh! Ngomong sembarangan!" Amo membuat Mayang tertawa. Dia hasut Mada untuk berada di pihaknya, dan Amo semakin kesal.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top