47
"Raffa nungguin siapa tuh? Loe? Kalian janjian? Loe pacaran sama Raffa, Lyn?"
Evelyn tak menggubris pertanyaan demi pertanyaan yang keluar dari bibir Hana, yang lebih mirip gerbong kereta. Panjang!
Gadis itu tertegun menatap ke tepi jalan di mana ia biasa berdiri menunggu angkot. Di sana sudah ada Raffa yang sedang nangkring di atas sepeda motornya. Ia benar-benar sedang menunggu Evelyn? Oh, sulit dipercaya.
"Gue duluan, Han!" pamit Evelyn cepat dan setengah berlari meninggalkan Hana yang terbengong-bengong di tempatnya.
Sikap Evelyn benar-benar mencurigakan, batin Hana seraya tak lepas menatap punggung sahabatnya yang bergerak ke tempat Raffa. Besok ia akan menginterogasi Evelyn habis-habisan sampai gadis itu menyerah dan mengaku apa yang sebenarnya terjadi dengannya dan Raffa.
Evelyn menarik napas dalam-dalam sebelum menghampiri tempat Raffa berada. Gadis itu perlu pasokan oksigen lebih banyak agar saat berada di dekat Raffa, dadanya tak sesak.
"Raf."
Raffa menoleh begitu mendengar seseorang memanggil namanya. Cowok itu mengangsurkan sebuah helm ke tangan Evelyn.
"Loe bawa helm dua?" tanya Evelyn seperti orang linglung. Terkadang seseorang bertanya padahal apa yang ia tanyakan, jawabannya sudah dilihat di depan matanya.
"Iya."
Cowok itu masih sejutek biasanya, batin Evelyn sambil memungut helm dari tangan Raffa dengan malas. Ini jelas-jelas bukan gejala orang jatuh cinta! Evelyn saja yang terlalu besar kepala.
"Loe disuruh Kak Leon buat nganter gue pulang?" tanya Evelyn bersiap naik ke atas motor Raffa.
"Nggak."
"Terus?" cecar Evelyn tak sabar. Gadis itu mengurungkan niat untuk naik ke boncengan motor Raffa. Ia butuh penjelasan tentang banyak hal. "kenapa loe mau nganterin gue pulang? Terus kenapa juga kemarin loe bilang sama cowok-cowok itu kalau gue cewek loe?"
Raffa mendesah panjang. Gadis itu masih menyimpan bakat bawelnya.
"Loe marah kalau gue bilang, loe cewek gue?" tanya Raffa.
Kali ini Evelyn benar-benar tertohok. Sungguh, pasokan oksigen di dalam paru-parunya seperti habis tak bersisa. Siapapun juga tolong beri napas buatan!
Tidak. Evelyn hanya sesak napas. Tapi, ia belum sekarat. Gadis itu menarik napas dalam-dalam dan mencoba menjernihkan pikirannya.
"Nggak," sahut Evelyn gagap. Pipinya terasa panas. Tapi, gadis itu tidak mau serta merta salah mengartikan ucapan Raffa.
"Terus?" pancing Raffa.
"Ya... itu kan buat nyelametin hidup gue," ucap Evelyn lirih. Bola matanya memutar tak tentu arah.
"Ya, udah. Yuk," ucap Raffa sejurus kemudian.
Tapi, gadis itu masih bergeming di tempatnya. Masih ada beberapa penjelasan lagi yang ingin diketahuinya. Tapi, pantaskah ia bertanya perasaan Raffa, sementara cowok itu pernah bilang, jika mendengar nama Evelyn saja ia sudah merasa risih?
"Jane!"
Evelyn tersentak. Gadis itu membelalakkan matanya demi mendengar Raffa menyebut nama panggilannya.
"Bisa nggak, loe nggak manggil gue dengan sebutan itu?" protes Evelyn dengan bersungut-sungut.
Raffa tersenyum kecil.
Ya, ampun! Raffa tersenyum, batin Evelyn memekik. Dan sesuatu sedang mengetuk dadanya perlahan.
"Kenapa? Gue suka nama itu, kok." Raffa tergelak menatap ekspresi wajah Evelyn. "udah, cepetan naik. Mau hujan tuh," tunjuk Raffa ke arah langit yang sudah menampilkan hamparan warna kelabu.
Evelyn mendesah. Gara-gara Raffa ia bisa melupakan kebiasaannya menatap langit sepulang sekolah. Gadis itu segera naik ke atas boncengan motor Raffa sejurus kemudian. Kali ini tanpa komentar. Rasanya sulit untuk memancing pengakuan Raffa soal perasaannya.
Evelyn mencengkeram ujung jaket cokelat yang membungkus tubuh Raffa ketika motor yang mereka tumpangi mulai melaju di atas jalan raya. Ini adalah kesempatan yang ke-sekian kali bisa duduk di belakang punggung Raffa dan menghirup harum tubuh cowok itu. Mungkin masih ada kesempatan-kesempatan lain seperti ini yang menunggunya kelak.
Belum separuh perjalanan, titik-titik air mulai berjatuhan. Hujan. Raffa memperlambat laju motornya saat intensitas curah air hujan mulai meningkat dan jalanan tampak cukup basah. Ia harus berhati-hati agar ban motornya tidak tergelincir karena jalanan yang licin. Momen seperti ini nyaris sama dengan kemarin. Hujan dan Raffa. Dan ini sangat menyenangkan.
"Gue suka sama loe, Raf."
Ya, ampun! Evelyn baru saja melakukan kebodohan terbesar dalam hidupnya. Tanpa sadar bibirnya bergumam di tengah derasnya hujan. Ah, bagaimana ini? Apa Raffa mendengar suaranya?
Tubuh Evelyn menegang. Ia hanya berharap Raffa tidak pernah mendengar suaranya. Semoga hujan menyamarkan suaranya dengan baik.
Beberapa detik, menit Evelyn menunggu, tapi, Raffa tak menunjukkan reaksi apapun. Gadis itu sedikit merasa lega. Setidaknya perasaan dan rahasianya masih terjaga sampai sekarang. Kalau saja tadi Raffa mendengar suaranya pasti cowok itu akan menunjukkan sebuah reaksi, kan? Nyatanya semua baik-baik saja. Raffa masih menatap ke depan, fokus pada track yang harus ditempuhnya menuju rumah Evelyn.
"Thanks, Raf." Evelyn mengucapkan terima kasih setelah berhasil turun dari motor Raffa. Kemarin ia tidak sempat mengucapkan sepatah kata itu karena Raffa buru-buru menyuruhnya untuk segera masuk.
"Bawa aja helmnya," suruh Raffa saat Evelyn hendak melepaskan helm dari kepalanya. Raffa tampaknya ingin agar kepala gadis itu tidak tersentuh air hujan. "oh, ya. Loe ngomong apa tadi?" tanya Raffa tiba-tiba.
Evelyn terenyak. Kaget setengah mati. Ia hanya ingin pingsan di tempat saat itu juga agar lepas dari kewajiban menjawab pertanyaan Raffa.
"Ngomong apa? Gue nggak ngomong apa-apa, kok. Loe aja kali yang salah denger," cengir Evelyn seraya menyembunyikan rasa malu yang perlahan-lahan menggerogoti percaya dirinya. "gue masuk dulu ya... "
"Gue sayang loe!"
Evelyn memutar kembali tubuhnya menghadap Raffa, padahal ia sudah melakukan aksi 'balik kanan' dan bersiap kabur dari depan cowok itu. Tapi, telinganya mendengar sebaris kalimat di tengah rintik hujan yang mulai mereda.
"Loe... " Evelyn merasa bibirnya sulit untuk digerakkan. Bukan, ini bukan gejala stroke seperti yang ia pikirkan. Ia hanya kehilangan seluruh kosakata dalam kamus otaknya.
"Apa?"
Ya, ampun, Raffa! Sudah bilang sayang masih juga bersikap jutek. Apa dia tidak sadar jika sikapnya sangat menyebalkan?
Evelyn mendengus kesal. Haruskah ia melayangkan sebuah hantaman ke wajah Raffa, agar cowok itu bersedia mengulangi kalimatnya kembali.
"Loe bilang apa tadi?" tanya Evelyn pelan. Ia harus bersikap sabar di depan Raffa. Tapi, kali ini saja.
"Nggak ngomong apa-apa. Loe aja yang salah denger," jawab Raffa mengeluarkan 'jurus jutek' andalannya.
"Loe mau ikut gue nggak?"
"Ke mana?"
"Ke dokter THT," jawab Evelyn ketus. "bukannya kita sama-sama punya gangguan pendengaran?" selorohnya dengan cemberut.
Raffa seketika meledakkan tawa mendengar banyolan Evelyn.
"Iya, gue sayang loe. Puas sekarang?" ucap Raffa seraya melebarkan kedua matanya. "udah. Cepet masuk, ganti baju. Gue nggak mau, cewek gue sakit," ucap Raffa seraya meraih tangan Evelyn dengan lembut.
Senyum manis langsung terkembang di bibir Evelyn. Gadis itu tak mengomel lagi dan menganggukkan kepalanya yang masih terbungkus helm.
"Gue masuk dulu," pamit Evelyn setelah Raffa melepaskan genggaman tangannya pada gadis itu dengan sukarela.
Raffa mengangguk dan hanya menatap Evelyn yang dengan lincah membalikkan badan lalu setengah berlari menuju ke teras rumahnya.
"Gue juga sayang loe, Raf! Sayaaaaang banget!" teriak Evelyn yang tiba-tiba memutar tubuhnya kembali hanya untuk meluapkan perasaannya pada cowok itu.
"Gue juga!" balas Raffa dengan volume kencang, berlomba dengan suara deras hujan.
Senyum di bibir Evelyn merekah sempurna begitu telinganya menangkap teriakan Raffa.
Ada perasaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata memenuhi ruang di hatinya. Perpaduan antara hujan, cinta, dan Raffa...
Selesai
6 November 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top