46
Evelyn tercekat begitu mengangkat wajah dari lantai koridor yang saat ini tengah dipijaknya. Untuk sesaat ia menghentikan pergerakan sepatunya lalu melangkah kembali dengan ritme lambat. Pandangannya terarah lurus ke depan seolah ada sebuah benang tak kasat mata yang mengikat jalur penglihatannya. Benarkah itu Raffa? batinnya gamang. Cowok itu tampak sedang berdiri bersandar pada tembok di dekat pintu masuk kelas Evelyn. Dengan kedua tangan tersembunyi di dalam saku celana, memasang gaya cuek bebek. Dan gadis itu tak terbiasa mendapati seseorang berdiri di ujung pandangannya, sepagi ini.
"Raf?"
Evelyn menegur begitu sampai di dekat tubuh Raffa. Dan cowok itu seketika memutar tubuh begitu suara Evelyn memanggilnya dengan nada pelan. Ia tak sadar jika gadis itu telah sampai di dekatnya.
"Nungguin siapa?" tanya Evelyn hati-hati. Ia ingin menebak jika Raffa sedang menunggunya. Tapi, kepercayaan dirinya melarang untuk berbesar kepala.
"Loe." Raffa menjawab dengan singkat. Dan Evelyn hanya bisa membeku di tempatnya manakala tiba-tiba Raffa mengulurkan tangannya ke dahi gadis itu.
"Loe sedang apa?" tanya Evelyn tampak bodoh.
"Ngecek suhu tubuh loe," jawab Raffa sambil menurunkan tangannya dari dahi Evelyn. Gadis itu baik-baik saja setelah kehujanan kemarin. Suhu tubuhnya normal. Daya tahan tubuh Evelyn ternyata cukup bagus.
"Emangnya tangan loe termometer?" gerutu Evelyn sembari melebarkan kedua matanya. "jangan bilang kalau loe nungguin gue hanya untuk ini."
"Bodoh." Raffa menggumam pelan. Tapi, telinga Evelyn selalu terpasang dengan baik dalam kondisi apapun sehingga ia bisa mendengar ucapan Raffa. "gue cemas tahu nggak?"
Evelyn mengerutkan dahi. Cemas? batinnya tidak yakin. Karena hujan kemarin? Dan sebanyak apa cowok itu mencemaskan diri Evelyn?
"Itu cuma hujan, Raf. Dan gue nggak selemah yang loe bayangin," tandas Evelyn diselipi sebuah sunggingan senyum di bibirnya.
Raffa melenguh melihat reaksi gadis itu.
"Gue cemas dan loe ngetawain gue?" protes Raffa dengan suara kalem. Tapi, ia menyimpan sejumput kemarahan di balik kalimatnya.
Evelyn tercekat dan segera mengusir senyum yang menghias bibirnya. Tatapan dingin Raffa seperti ingin mengoyak wajahnya. Sungguh, kemarahan semacam ini pernah Evelyn lihat sebelumnya. Kemarin saat ia menghardik ketiga cowok SMK yang mengganggu Evelyn.
"Gue nggak ngetawain loe, Raf." Evelyn mengalihkan tatapan ke atas lantai. Ia bukan tandingan tatapan bersalju milik Raffa. Ia bahkan tak akan sanggup menatap mata Raffa lebih dari satu menit.
"Karena gue, loe jadi kehujanan kemarin. Wajar kalau gue cemas," ucap Raffa sedikit memperbaiki situasi yang kaku.
"Bukannya loe pernah bilang kalau nggak suka deket-deket sama gue?" Evelyn sedikit terbata saat mengucapkan kalimatnya.
"Iya," sahut Raffa tak menyangkal.
"Lalu?" pancing Evelyn dibalut rasa penasaran level tinggi.
"Apa gue nggak boleh peduli sama loe?" serang Raffa seolah ingin membuat gadis di hadapannya mati kutu. Ia sedang berbelit-belit atau apa, sih? Kenapa membuat Evelyn menjadi bingung? Kepedulian macam apa yang ingin ditunjukkan Raffa pada gadis itu? Semacam kepedulian sosial-kah? Karena Raffa baik pada siapa saja dan Evelyn masuk dalam kategori 'siapa saja' itu? Begitukah?
"Boleh. Tapi sejak kapan loe peduli sama gue? Bukannya loe bilang, loe risih kalau denger temen-temen loe ngomongin gue?" Tiba-tiba saja Evelyn meluapkan kekesalan yang selama ini menumpuk dalam hatinya.
Evelyn memang menyukai Raffa bahkan sampai detik ini. Ia senang mendapat sedikit perhatian dari cowok itu, seperti halnya kemarin. Tapi, ia tidak mau salah mengartikan perhatian dan kebaikan hati Raffa padanya. Ia tak mau melambungkan harapannya seperti balon yang membumbung tinggi di udara kemudian jatuh begitu saja, dan itu sangat menyakitkan. Harus berapa kali lagi ia menambal hatinya yang patah?
Raffa bergeming. Tak ada indikasi ia ingin mengatakan sesuatu pada gadis itu. Ia hanya menatap Evelyn dengan tajam. Sedang gadis itu menunggu penjelasan dari bibir Raffa.
Bel berbunyi. Padahal Raffa belum mengatakan sepatah katapun untuk menjawab segala pertanyaan Evelyn. Ia hanya membiarkan gadis itu bergelut dengan galau.
"Ntar pulangnya gue anterin. Loe nggak mau kan, kejadian kemarin terulang lagi?"
Evelyn tertegun menatap tubuh Raffa yang tiba-tiba berbalik memunggunginya kemudian bergerak menjauh menyusuri koridor menuju kelasnya. Drama macam apa ini? Di mana letak keromantisannya?
Huh.
Evelyn mendengus kuat-kuat. Kepalanya seperti berdenyut. Gara-gara Raffa! Otaknya terlalu tumpul untuk mengartikan sikap dan ucapan Raffa. Cowok jutek itu, apa ia menyukai Evelyn? Oh, tidak mungkin. Hati Evelyn menolak untuk mengiyakan. Itu bukan sikap orang yang sedang jatuh cinta. Tatapan matanya juga tidak mengatakan hal yang sama. Ah, jangan-jangan ia disuruh Kak Leon untuk menjaga Evelyn selama di sekolah. Dan bisa saja Raffa mendapat sejumlah bayaran dari kakaknya. Bisa dan mungkin! Hal ini lebih masuk akal ketimbang prediksi yang pertama. Dan ini lebih mengerikan dari sekadar ulangan Matematika!
"Raffa ngapain?"
Teguran Hana kembali memaksa Evelyn untuk mendengus. Rupanya gadis itu tahu jika Raffa dan Evelyn sempat ngobrol di luar kelas.
Evelyn meletakkan tas dan mengambil tempat duduk di sebelah Hana. Wajahnya masih ditekuk karena efek sikap Raffa yang super menyebalkan itu.
"Gue sebel sama Raffa." Evelyn bersungut-sungut menunjukkan kekesalan hatinya.
"Sebel kenapa?" tanya Hana dengan kedua alis terangkat. Setahunya Raffa yang jutek itu memang menyebalkan. Dan ia tahu jika Evelyn dan Raffa memiliki sebuah hubungan yang tidak terlalu dekat, tapi sulit untuk dijelaskan karena kedua kakak mereka saling berteman.
"Dasar cowok nggak jelas," desis Evelyn mengomel.
"Ada Bu Nat," bisik Hana seraya memberi kode dengan gerakan dagunya pada Evelyn. Padahal gadis itu sudah bersiap melanjutkan omelannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top