45

Evelyn menghembuskan napas kuat-kuat sembari membuang tatapan ke arah langit. Padahal sesaat yang lalu ia masih menekuri kedua ujung sepatunya yang tampak keruh berdebu. Langit tampak berbeda siang ini. Segumpal awan hitam tampak bergelayut berat di atas sana. Menutupi sang matahari yang biasa bersinar dengan terik. Mendung.

Angin bertiup menerpa wajah gadis itu. Memberi sensasi sejuk ke tubuhnya. Sepertinya ini adalah gejala musim kemarau yang panjang akan segera berakhir. Dan musim penghujan akan segera datang menggantikannya.

"Hei, cantik. Bareng, yuk!"

Suara asing itu berhasil membuat Evelyn kembali menurunkan pandangannya ke bawah. Sapaan seperti ini sudah sering didengarnya dan tak membuatnya kaget. Eh, tapi siapa mereka? batin Evelyn terkesiap.

Tiga cowok berseragam SMK menghentikan motornya persis di depan tempat Evelyn. Gadis itu tahu betul di mana ketiga cowok itu bersekolah, tapi ia tidak mengenal salah satu atau ketiganya. Mereka hanyalah cowok-cowok iseng yang suka menggoda gadis-gadis.

Evelyn tak menyahut. Biasanya cowok-cowok seperti mereka akan pergi sendiri jika tak ditanggapi.

"Jutek banget, sih? Bisu, ya?"

Salah seorang dari mereka melontarkan kata-kata kasar dan disambut deraian tawa dari kedua rekannya. Menyinggung perasaan memang. Tapi, apa daya Evelyn hanyalah seorang gadis yang tak punya kekuatan dan keberanian untuk melayangkan sebuah hantaman keras ke wajah mereka. Gadis itu bergeming sembari berdoa agar angkot yang sedang ditunggunya segera muncul dan kejadian itu cepat berlalu.

Sial. Evelyn ternyata sendirian di tempat itu. Sudah tidak ada segelintir siswa atau siswi yang berdiri di sana menunggu angkutan. Hanya Evelyn seorang. Padahal pintu gerbang sekolah masih terbuka dan di dalam sana pasti masih ada seseorang, siswa atau guru yang belum pulang. Pak Suryono juga. Haruskah Evelyn kembali ke sana, sekedar mampir ke pos satpam dan meminta perlindungan Pak Suryono?

"Lama amat mikirnya? Udah, bareng kita aja. Kita-kita nggak jahat, kok."

Salah seorang dari mereka berkata lagi. Tapi, siapa sih, yang bersedia diantar oleh anak sekolah tapi mirip berandalan seperti mereka. Yang pasti Evelyn tidak akan pernah mau.

"Nggak usah, makasih." Akhirnya Evelyn mengeluarkan suaranya. Sesopan mungkin agar mereka berubah pikiran dan segera melesat pergi meninggalkan tempat itu.

"Ayolah. Kita cuma mau nganter loe pulang. Rumah loe di mana sih, jauh nggak?"

Evelyn menahan napas geram. Salah satu dari mereka ngotot dan gadis itu merasa jengah. Tiba-tiba saja ia sangat merindukan Kak Abby. Andai saja mereka tahu soal kakak Evelyn, mereka akan berpikir seribu kali jika akan menggoda gadis itu.

Evelyn tercengang saat tiba-tiba sebuah motor berhenti di dekat tubuhnya. Raffa! Hatinya memekik kegirangan sejurus kemudian demi mengetahui cowok itu datang menghampirinya.

Raffa turun dari atas motornya lalu menatap ketiga cowok sialan itu.

"Kalian mau apa?!" hardik Raffa lantang. Nada suaranya terdengar keras dan marah. "kalian mau mati, ya? Berani-beraninya gangguin cewek gue!"

Evelyn terperangah mendengar kalimat yang baru saja dilontarkan Raffa dalam kemarahannya. Cewek gue?

Ketiga cowok itu tak menyahut. Mereka saling memberi kode satu sama lain dan tak lama kemudian tancap gas. Kabur tanpa perlawanan berjenis apapun. Padahal Evelyn sempat membayangkan ada perkelahian di depannya. Raffa versus ketiga cowok itu. Raffa menghajar mereka satu persatu sampai babak belur. Dan di akhir adegan Evelyn akan menghambur ke arah Raffa lalu memeluk cowok itu. Apaan sih?

"Loe nggak pa pa?"

Terima kasih, batin Evelyn. Bukan untuk hardikan yang Raffa lontarkan pada ketiga siswa SMK yang lebih mirip brandalan itu, tapi, untuk mengoyak lamunan macam drama yang melintas di pikiran gadis itu. Ternyata ekspetasi lebih indah dari realita.

Evelyn mengangguk pelan. Ia masih harus mengumpulkan segenap kesadaran dalam dirinya soal kata-kata 'cewek gue' barusan. Raffa mengucapkan kata-kata itu atas dasar apa kalau boleh tahu? Sebagai gertakan untuk mengusir cowok-cowok SMK itu? Atau ia mengucapkannya secara tak sadar karena kata-kata itu datang dari lubuk hatinya yang paling dalam? Mungkinkah kata-kata itu mempunyai makna khusus untuknya? Karena bagi Evelyn ini sangat penting untuk dijelaskan. Ia bisa pingsan karena terlalu penasaran.

"Yuk, gue anterin," ucap Raffa seraya kembali naik ke atas motornya.

Evelyn menuruti perintah Raffa. Gadis itu naik ke boncengan motor Raffa tanpa bicara sepatahpun. Terlalu banyak pertanyaan yang memenuhi kepalanya sehingga ia bingung untuk memulai dari mana. Sedangkan Raffa juga tak mengeluarkan kata-kata yang semestinya ia ucapkan mengingat cowok itu juga terlibat dalam kejadian tidak menyenangkan tadi. Harusnya ia berkata sesuatu selain bertanya, loe nggak pa pa. Ternyata tingkat kepedulian Raffa hanya terbatas sampai di situ dan itu menyebalkan. Sungguh!

Ya, Tuhan.

Tetes-tetes air tiba-tiba berjatuhan ke atas kepala Evelyn. Hujan pertama, batin gadis itu girang. Bukankah semua orang selalu menantikan tetesan hujan pertama setelah sekian lama didera musim kemarau panjang? Lalu akan mengabaikan hujan setelah mereka turun dengan seringnya.

Hujan pertama. Cinta pertama.

Tanpa sadar gadis itu menyunggingkan senyum di ujung bibirnya. Tentu saja ia menyembunyikannya di balik punggung Raffa. Ia tak ingin ketahuan senyum-senyum sendiri saat Raffa melirik kaca spionnya. Ia menghirup napas dalam-dalam dan menikmati guyuran air hujan di atas kepalanya. Aroma hujan menyamarkan harum tubuh Raffa.

"Cepet masuk," suruh Raffa begitu motornya berhenti tepat di depan rumah Evelyn. "ganti baju dan minum obat. Ntar loe bisa sakit," pesan Raffa dengan nada datar. Perhatian atau sok perhatian? Entahlah.

Evelyn mengangguk. Gadis itu segera berlari ke teras tanpa berusaha melindungi kepalanya dari guyuran air hujan. Toh, kepalanya sudah kepalang basah.

"Sudah pulang, Lyn?" Oma membuka pintu saat gadis itu hendak meraih pegangannya. Wanita tua itu sedikit kaget melihat tubuh cucu perempuannya yang basah kuyup. "dianter siapa?" tanya Oma. Sesaat tadi ia mendengar suara motor berhenti di depan rumah dan sesaat kemudian Evelyn muncul.

"Raffa, Oma. Adik temennya Kak Leon," jawab Evelyn dengan jelas.

"Ya, udah. Cepet ganti baju sana. Keringkan rambut kamu. Oma ambilin obat masuk angin."

Ah, ternyata Oma dan Raffa nyaris sama bawelnya. Tapi, gadis itu mengangguk. Ia mengulum senyum saat melangkah ke kamar. Ada sejumput rasa bahagia merebak dalam hatinya. Sejumput tanda tanya juga bersarang di sebelahnya. Masih tentang Raffa. Juga kata-kata 'cewek gue' yang belum sempat ia tanyakan langsung pada cowok itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top