40

"Jadi, Jane itu loe?"

Yes! Raffa sukses membuat Evelyn tersedak. Air mineral dingin yang baru saja ia teguk dari botol berhasil muncrat ke depan dan untungnya tak mengenai siapa-siapa atau apa-apa. Gadis itu terbatuk dan Raffa harus menepuk-nepuk tengkuknya untuk menormalkan kembali jalan pernapasannya.

Evelyn menghirup napas dalam-dalam setelah mengusap wajah dan bajunya yang terkena cipratan air.

Seberapa banyak yang Raffa tahu tentang dirinya? batinnya sembari menoleh ke samping. Angin sore berhembus sejuk ke teras di mana mereka sedang duduk melepas lelah. Membuat bulir-bulir keringat di pelipis Raffa mengering perlahan dan sedikit menguarkan wangi dari kaus yang ia kenakan. Harum khas pewangi pakaian.

"Kak Leon yang cerita?" tanya Evelyn dibalut rasa penasaran yang teramat sangat. "loe nggak nguping percakapan mereka, kan?" Di balik nada suaranya ada sedikit kekhawatiran yang setengah mati Evelyn tahan.

Raffa menggeleng pelan. Cowok itu meneguk minumnya sebelum menjelaskan apa yang sangat ingin diketahui Evelyn.

"Kak Romi yang cerita," ungkapnya.

Hah? Tanpa sadar mulut gadis itu ternganga. Sekarang siapa yang tidak bisa menjaga mulutnya dengan baik? Kak Leon atau Kak Romi? Jawabannya kedua-duanya. Titik.

"Seberapa banyak yang Kak Romi ceritain tentang gue?" tanya Evelyn terbata. Keningnya agak berkerut saat menatap cowok di sampingnya.

"Ummm." Raffa bergumam seraya membuang pandangan ke atas. Mungkin sedang mencari ingatan yang hilang. Yang pasti ia sedang menyusun kalimat untuk menjawab pertanyaan Evelyn.

"Banyakkah?" pancing Evelyn. Rasa tak sabar membuatnya melontarkan pertanyaan.

"Lumayan."

Lumayan? batin Evelyn sedikit jengkel. Lumayan adalah kata yang tidak pernah pasti. Mungkin bisa diartikan tidak banyak dan tidak sedikit. Tapi, selama ini yang Evelyn tahu, kata lumayan berarti cenderung banyak.

Gadis itu melenguh. Entah seberapa banyak yang Raffa tahu tentangnya, tetap saja tak bisa dirubah. Apa ia bisa bersikap masa bodoh kali ini?

"Kak Leon sangat menyayangi loe. Itulah kenapa dia selalu cerita tentang loe kalau main ke sini," tandas Raffa mengisi jeda. Karena Evelyn terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri dan membiarkan hening menjadi jarak percakapan mereka. Cowok itu menatap Evelyn seolah ingin menyatakan kesungguhan lewat tatapan matanya. Jika Kak Leon sangat menyayanginya.

Evelyn tersenyum tipis.

"Gue tahu." Gadis itu berucap pendek. Kak Leon selalu menyayanginya sejak dulu. Dan Evelyn sering memanfaatkan rasa sayang Kak Leon untuk merengek manja saat meminta sesuatu darinya. "eh, gue lupa ngucapin selamat buat loe atas kemenangan tim basket sekolah kita." Mendadak Evelyn merubah topik pembicaraan. Sudah saatnya ia harus melepaskan dirinya dari bahan perbincangan mereka.

"Thanks."

Raffa. Bahkan saat mereka sudah duduk berdampingan seperti inipun, Evelyn masih merasa sedikit canggung. Cowok itu masih juga membentengi diri dengan sikap juteknya meski kadarnya sudah agak berkurang.
"Gue pikir loe nggak suka basket," ucap Raffa membuat Evelyn urung menyandarkan punggung ke sandaran kursi kayu yang sedang menyangga berat tubuhnya kini.

Gue nonton karena ada loe, Raf.

"Temen gue yang suka," sahut Evelyn sembari nyengir. Dan sedetik kemudian ia menyesali kejujurannya. Demi pedekate dengan Raffa sedikit berbohong rasanya tidak terlalu buruk, bukan?

"Oh." Cowok itu bergumam. "jadi, loe terpaksa nonton, gitu maksudnya? Karena diajak temen loe?" tebak Raffa.

"Nggak, nggak." Evelyn menggeleng berulang-ulang. Sekadar meyakinkan Raffa jika ia tidak sebenci itu pada basket. "sebenernya nggak begitu suka, sih. Gue paling nggak bisa kalau disuruh olahraga apapun, makanya nggak terlalu suka basket." Wajah gadis itu setengah tertunduk saat mengakui kekurangannya.

"Pantes aja lengan loe nggak ada tenaganya."

Raffa! jerit Evelyn dalam hati. Bisa nggak bersikap manis ke gue sekali aja?

"Gue emang nggak punya stamina yang bagus. Otak juga pas-pasan," ucap Evelyn nyaris tak terdengar. Gadis itu membuang tatapan ke arah tembok yang mengelilingi halaman samping rumah Raffa. Menatap bidang itu sedikit menenangkan ketimbang melihat ekspresi wajah Raffa yang pasti sedang menertawakannya.

"Loe nggak seburuk itu, kok."

Jangan menghibur gue.

Evelyn tak tertarik mendengar kalimat ralat yang baru dilontarkan Raffa. Bagaimana jika ia membahas topik lain?

"Orang tua loe ke mana?" Evelyn menemukan sebuah topik garing untuk ditanyakan pada Raffa.

"Lagi ke rumah saudara," jawab Raffa. "jadi, kenapa Kak Leon manggil loe dengan nama Jane?"

Ya, ampun Raffa! Kenapa kembali pada topik itu?

"Sebenernya nama itu diambil dari komik. Kayaknya Kak Leon sangat suka dengan tokoh itu dan dia bilang mirip gue. Padahal nggak mirip sama sekali. Dia aja yang mirip-miripin... "

Raffa mengembangkan senyum mendengar ocehan Evelyn. Gadis itu terlalu panjang bercerita dan di mata Raffa terlihat lucu.

"Ternyata loe bawel juga ya," olok Raffa setengah tersenyum. Dan cowok itu tidak pernah tahu jika senyum yang baru saja dibuatnya sanggup menggetarkan jantung Evelyn lebih keras dari sebelumnya.

"Gue juga baru tahu loe bisa tersenyum," cetus Evelyn tanpa sadar.

"Oh." Raffa menghentikan senyumnya seketika. "emang kenapa? Gue juga manusia normal kok," ucapnya seolah sedang membela diri.

"Ya, bukan gitu."

"Sejujurnya gue nggak suka terlalu deket sama cewek populer di sekolah," ungkap Raffa jujur. Di matanya terlukis jika ia serius dengan kata-katanya. "loe tahu, saat tim basket sedang ngumpul, mereka selalu membahas loe. Dan gue merasa risih dengernya."

Evelyn terenyak mendengar pengakuan Raffa. Jadi, itukah sebabnya Raffa selalu melihatnya dengan tatapan dingin, seolah-olah sedang menyimpan kebencian padanya? Selalu bersikap jutek dan berkata kasar pada gadis itu. Yang jelas, Raffa memang tidak pernah menyukainya dari awal. Bagaimana ia bisa jatuh cinta pada Evelyn jika dari awal ia sudah merasa risih mendengar nama gadis itu? Tapi, kenapa saat ini ia mau duduk di samping Evelyn dan berbagi cerita dengannya? Seolah ia adalah pribadi berbeda dari yang ia kenal selama ini.

"Lalu?" pancing Evelyn nyaris tanpa suara. Harapan yang sempat ia bangun beberapa menit lalu hancur seketika seperti tersapu ombak dari lautan.

"Ya, sebenernya loe nggak seburuk itu." Raffa menoleh dan melempar senyum manis.

Apa arti senyum itu, Raf? Evelyn membatin. Tolong simpan senyum itu jika hanya untuk mengejek Evelyn!

Evelyn tersenyum pahit. Ternyata beberapa kali pertemuan mereka dan perbincangan singkat mereka hari ini sama sekali tidak menimbulkan kesan di hati Raffa. Juga latihan basket tadi, tidak berarti apa-apa bagi Raffa. Maaf, kalau gue salah sangka, Raf.

"Gue balik dulu," pamit Evelyn seraya mengangkat pantatnya dari atas kursi kayu. Atmosfer di sekitar tubuhnya juga mulai membuatnya tidak nyaman. Gadis itu melangkah masuk untuk menemui Kak Leon dan mengajaknya pulang. Ada hati yang mesti ia plester setelah pulang dari rumah Raffa nanti.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top