23

Tubuh Evelyn kian menegang di belakang panggung. Jantungnya berdetak tak berirama, tidak stabil. Keringat dingin juga perlahan turun di pelipis dan membasahi kedua telapak tangannya. Inikah yang mereka sebut sebagai sindrom demam panggung?

Waktu berjalan begitu cepat dan tidak terasa bagi Evelyn. Dan hari ini adalah hari H. Festival ulang tahun sekolah sekaligus hari di mana ia harus melepaskan identitas dirinya sebagai Evelyn sejenak. Ia harus menjadi seseorang yang lain, Julietta. Dengan mengesampingkan segala permasalahan yang sedang mendera hidupnya, Evelyn harus memerankan Julietta. Tak ada seragam abu-abu putih yang membalut tubuhnya. Hanya sebuah gaun merah jambu bak princess menempel di tubuh kurusnya saat ini. Dan pertunjukan akan dimulai sebentar lagi. Tinggal menunggu hitungan menit.

Perdebatan dengan Kak Leon belum selesai. Kakaknya bersikukuh dengan pendiriannya untuk pergi ke Singapura demi pekerjaan. Bahkan kemarin ia sudah mempersiapkan segala sesuatunya, koper dan surat-surat. Laki-laki itu akan pergi, sama seperti beberapa tahun lalu. Dan Evelyn tidak akan peduli lagi padanya. Pergi atau tidak, sudah bukan menjadi urusannya lagi. Kak Leon sudah terlalu dewasa untuk ditangisi.

Kertas undangan dari sekolah untuk wali murid guna menghadiri festival hari ini berakhir di tempat sampah di bawah kaki meja belajar milik Evelyn. Padahal Kak Leon sempat antusias ingin menonton pementasan drama yang melibatkan Evelyn di dalamnya. Tapi, semua itu tidak penting lagi sekarang. Ia harus belajar mandiri. Toh, ia bermain drama bukan untuk Kak Leon.

"Nervous?" sapa Doni, lawan mainnya. Cowok itu terlihat tampan menggunakan kostum Romeo. Ia tampak lebih rileks ketimbang Evelyn karena masih bisa menyunggingkan senyum lebar di bibirnya. Tak seperti Evelyn yang berdiri kaku dengan kedua tangan mengepal. Padahal ia sudah tampil sempurna baik wajah maupun kostum.

Evelyn mengangguk pelan. Siapapun pasti akan merasakan hal yang sama dengannya di situasi seperti ini. Lagipula ini adalah kali pertama ia naik panggung. Tidak mudah mengatasi rasa gugup yang kini melanda dirinya.

"Loe pasti bisa, Lyn," ucap Doni sembari menggenggam kedua tangan Evelyn yang dibalur keringat dingin. Cowok itu berusaha memberi dorongan mental pada lawan mainnya. "loe rileks aja. Kita main bukan untuk dinilai kok," kekeh Doni seketika.

"Ya, gue tahu," jawab Evelyn lirih. Satu semangat dari Doni dan dukungan teman-temannya yang sudah duduk rapi di barisan penonton sangat dibutuhkan Evelyn saat ini. Setidaknya mereka ada untuk melihat pementasan drama itu. Meski tak ada Oma ataupun Kak Leon di sana.

Angga sebagai sang sutradara tampak sibuk mondar mandir di belakang panggung. Ia-lah orang yang tampak paling sibuk di hari ini. Kerja kerasnya selama dua minggu terakhir akan ditentukan beberapa menit lagi.

"Loe udah siap, Lyn?" teguran itu sampai juga ke telinga Evelyn yang masih berdiri di sebelah Doni. Gadis itu mulai bisa mengatasi rasa gugupnya berkat Doni. Yeah, meski cuma secuil kecil. "setelah dua penampilan lagi kalian naik panggung."

"Ya," sahut gadis itu pendek.

"Keluarga loe nonton?"

Pertanyaan Doni memaksa kepala gadis itu menoleh padanya. Keluarga? batinnya getir. Bahkan ia tak pernah menyerahkan kertas undangan itu pada siapapun.

"Nggak ada."

Doni terkekeh.

"Sama dong. Gue juga," ucapnya masih dengan senyum menghias wajah. "kedua orang tua gue lagi di rumah sakit nungguin adik gue yang sakit demam berdarah. Sebenernya nggak pa pa juga sih, mereka nggak nonton. Ntar takutnya malah gue nggak bisa konsen main. Kalau akting gue jelek, mereka juga yang malu," papar Doni panjang. Sekelumit curahan hati yang teramat jujur.

Evelyn tersenyum pahit. Ia tidak sedang mengasihani Doni yang kedua orang tuanya tak bisa hadir karena harus menjaga adiknya yang sakit, tapi gadis itu sedang mengasihani dirinya sendiri. Harusnya ada salah satu dari anggota keluarganya yang datang hari ini, tapi Evelyn memilih untuk tidak memberikan kertas undangan itu pada siapapun. Dan setidaknya Doni lebih beruntung karena masih memiliki orang tua yang menyayanginya. Tidak ada satupun orang yang suka jatuh sakit, bukan?

Setidaknya orang tua Doni masih ada untuk mengurusi adiknya yang sakit. Tapi, saat Evelyn sakit hanya Oma yang selalu tinggal di sisinya. Padahal ia juga harus menjaga kesehatan dirinya sendiri.

Beberapa siswi yang mengenakan kostum penari daerah tampak bersiap-siap di belakang panggung. Mereka akan tampil setelah pertunjukan band musik berakhir. Dan setelahnya adalah giliran Evelyn. Di sudut lain juga tampak para penampil yang tengah bersiap-siap. Mereka tampak gembira dan sesekali sibuk mengambil gambar lewat ponsel.

Semua sibuk.

Evelyn memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. Ia butuh lebih banyak oksigen ketimbang sebelumnya.

"Lima menit lagi kalian akan tampil, guys!"

Angga berteriak. Memperingatkan jika momen itu akan segera tiba. Ya, apapun yang terjadi, Evelyn sudah siap. Anggap saja para penonton itu hanya anak-anak kecil yang butuh hiburan.

"... dan marilah kita sambut pementasan drama berjudul Romeo dan Julietta yang dipersembahkan oleh kelas XIB. Beri applause yang meriah untuk mereka!"

Tepuk tangan menggema di seluruh gedung aula sekolah. Juga di telinga Evelyn. Gadis itu melangkah maju ke atas panggung setelah Angga memberi kode.

Di sinilah Evelyn sekarang. Di atas panggung. Menjadi seorang Julietta selama beberapa saat. Mengabaikan segala yang ia miliki sejenak. Perasaan, cinta, benci, dan kesepian. Karena di barisan bangku penonton ada kepala sekolah, jajaran staf guru, teman-teman, dan barang kali ada Raffa di sana. Apa ia sedang duduk di salah satu bangku penonton sekarang dan sedang menatap ke arah panggung?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top