19

"Nggak sarapan dulu, Lyn?"

Pertanyaan Oma hanya disambut gelengan ringan dari kepala Evelyn. Gadis itu melanjutkan langkah ke teras depan seraya menenteng sepasang sepatu miliknya. Hari masih pagi. Masih ada banyak menit tersisa andai saja ia mau menyempatkan diri untuk sarapan.

Leon meletakkan cangkir tehnya ke atas meja. Laki-laki itu tertegun menatap punggung adiknya lalu beralih ke arah Oma yang sedang mengangsurkan sebuah piring berisi nasi goreng ke hadapannya. Lipatan di keningnya terlihat tajam.

"Apa dia jarang sarapan, Oma?" tanya Leon. Dari ruang makan ia masih bisa melihat punggung Evelyn dari balik kaca yang terletak di samping pintu depan. Gadis itu sedang sibuk mengenakan sepatu.

"Kadang-kadang," jawab Oma.

Leon menghela napas panjang. Ia akui tak begitu banyak tahu tentang adiknya beberapa tahun belakangan. Ia sudah kehilangan beberapa tahun kebersamaan dengan Evelyn hingga terciptalah sebidang kabut tipis di antara mereka berdua. Evelyn juga tak sehangat dulu lagi.

Leon bangkit dari tempat duduknya lalu melangkah ke teras depan untuk menemui Evelyn. Ada sesuatu yang mesti ia lakukan untuk menghangatkan kembali suasana di antara mereka.

"Udah mau berangkat?"

Evelyn sudah selesai dengan ikatan sepatunya dan mendongak ketika terdengar suara Kak Leon. Gadis itu mengangguk pelan lalu bangkit dari kursi kayu penghuni teras depan.

"Lyn berangkat, Oma!" Gadis itu melongokkan wajah seraya menggaungkan suaranya di sekitar ruang tamu. Ruang tamu, ruang tengah dan ruang makan yang bersambung dengan dapur terletak pada satu garis lurus. Harusnya Oma bisa mendengar suara teriakan Evelyn.

"Apa kamu selalu pamit pada Oma dengan berteriak seperti itu?" tegur Kak Leon. Ia menatap adiknya dengan serius. Hatinya merasa aneh melihat mimik wajah Evelyn pagi ini. Dari kemarin ia baru bisa melihat wajah itu sekarang. Sepulang sekolah kemarin Evelyn mengurung diri di dalam kamar. Saat ia pulang dari rumah teman, Evelyn juga masih bersembunyi di dalam kamar. Apa ia sengaja menghindari Kak Leon ataukah latihan drama itu penyebabnya? Selelah itukah Evelyn?

Evelyn melenguh. Tampaknya ia tidak suka saat seseorang menyinggung hal itu. Termasuk kakaknya sendiri.

"Aku berangkat dulu."

"Jane!"

Evelyn mendengus dengan keras. Ia hendak pergi dari hadapan kakaknya. Tapi, teriakan Kak Leon dan cekalan tangannya memaksa Evelyn untuk tetap bertahan di tempatnya. Ia sama sekali tidak sempat kabur sebelum Kak Leon berhasil menahan langkahnya.

"Jangan sebut nama itu!" Evelyn berteriak.

Kak Leon terperangah. Gadis itu berteriak? Marahkah ia dengan panggilan kesayangannya?

"Ada apa denganmu?" Sepasang mata Kak Leon tak bisa menyembunyikan kegusarannya. Jane yang ia kenal dulu bukanlah seseorang yang sedang berada di hadapannya sekarang. Ia sudah berubah menjadi orang lain. Dan kenapa? Karena dirinya.

Evelyn bergeming. Hanya deru napasnya yang terdengar berpacu dengan amarah yang siap meledak kapan saja.

"Kak Leon minta maaf, Lyn." Akhirnya Kak Leon melepaskan cekalan tangannya dan mengakui kesalahannya. Tak seharusnya ia bertanya 'ada apa dengan Evelyn'. Ia tidak menutup mata jika semuanya terjadi karena dirinya. Karena kepergiannya ke Singapura beberapa tahun lalu. Tepat di saat Evelyn membutuhkan kehadirannya, Kak Leon malah pergi. "nggak seharusnya Kak Leon bersikap seperti ini sama kamu."

Kak Leon menyesali perbuatannya. Menahan Evelyn dengan cara kasar seperti ini bukan pilihan yang tepat. Gadis itu tidak bisa diperlakukan dengan kasar.

"Pergi aja kalau Kak Leon ingin pergi," gumam Evelyn selanjutnya.

"Apa?" Kak Leon spontan membelalakkan matanya. Ia butuh beberapa detik untuk mencerna maksud perkataan adiknya. Pergi? batinnya. Jadi, Evelyn mendengar rencana keberangkatannya ke Singapura?
"Bukannya Kak Leon ingin kembali ke sana?" tanya Evelyn dengan wajah ditekuk.

Kak Leon bergeming. Laki-laki itu melihat kemarahan tersembunyi di balik sorot mata tajam Evelyn. Gadis itu marah. Sesungguhnya ia tak ingin kakaknya pergi, tapi ia terlalu marah dan mengatakan hal sebaliknya.

"Lyn... "

"Kenapa?" Evelyn memutus kalimat Kak Leon sebelum ia berhasil menyelesaikannya. "bukan kali ini aja kan, Kak Leon pergi. Toh, ada atau nggak ada Kak Leon di sini, semuanya baik-baik aja kok. Lyn dan Oma bisa menjalani hidup kami dengan baik. Jadi, Kak Leon nggak usah khawatir. Pergi aja. Kalau perlu nggak usah kembali!"

Sungguh, Kak Leon tak bisa menahan diri untuk tidak melayangkan tangan kanannya ke arah wajah Evelyn usai gadis itu mengakhiri kalimatnya. Sebuah tamparan yang akan disesali seumur hidup Leon.

Tak usah kembali? Benarkah ia tak mengharapkan kakaknya lagi?

Evelyn terperangah mendapat sebuah hantaman keras di wajahnya. Sakit. Melebihi rasa sakit paling sakit yang pernah ia rasakan sebelumnya.

"Aku benci Kak Leon!"

Evelyn berlari dari hadapan kakaknya secepat yang ia bisa. Membawa rasa sakit yang entah kapan akan menghilang bekasnya. Bukan tentang rasa sakitnya, melainkan rasa kecewa yang ia rasakan.

Teriakan Kak Leon samar-samar ia dengar. Tapi, sama sekali tidak ingin ia gubris. Ia terus berlari dan berlari sejauh yang ia bisa. Meninggalkan kakaknya yang kini dihantam perasaan bersalah yang teramat dalam.

Kenapa Kak Leon bisa melakukan itu? Apa ia sudah tidak punya perasaan?

Batin Evelyn didera banyak sekali pertanyaan tentang Kak Leon. Laki-laki itu bukanlah laki-laki yang pernah ia kenal dulu. Ia sudah berubah. Jarak dan tempat yang berbeda-lah yang patut dipersalahkan. Karena keduanya telah mengubah Kak Leon menjadi orang lain.

Evelyn merindukan sosok Kak Leon yang dulu. Yang ramah dan hangat. Yang akan memeluknya saat Evelyn merasa sedih dan kesepian. Tapi, ke mana Evelyn harus mencari sosok Kak Leon yang dulu?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top